Dalam studi Hubungan Internasional, teori memiliki peran penting setelah banyaknya fenomena atau fakta-fakta yang beragam memenuhi dunia internasional. Fenomena seperti Perang dan Damai, Kekuatan dan Kelemahan Bangsa, Kemakmuran dan Kemiskinan, serta Aktivitas dan Apati adalah sebagian contoh dari fakta-fakta yang kini tengah terjadi di dunia Internasional.
Teori pada hakikatnya, dapat dianggap sebagai alat yang digunakan untuk menjelaskan, mendeskripsikan, memprediksikan, atau bahkan menjustifikasi fenomena-fenomena tersebut. Tanpanya, fenomena-fenomena internasional hanya akan menjadi potongan-potongan data yang tidak memiliki makna. Oleh karena itu, teori dalam studi Hubungan Internasional dapat dimaknai sebagai lensa untuk memahami fenomena-fenomena internasional, terutama terkait perilaku negara dalam sistem global.
Dalam ilmu Hubungan Internasional, hingga hari ini, terdapat empat teori besar yang paling sering digunakan yakni; Realisme, Liberalisme, Neorealisme, dan Neoliberalisme.
Pertama, Realisme adalah perspektif atau teori yang ramai diperbincangkan pada 1930-1960 usai Perang Dunia 2 pecah. Pada dasarnya, Realisme berakar dari pandangan pesimis tentang sifat manusia. Bagi Realis, manusia memiliki sifat yang egois, hanya mementingkan keuntungannya sendiri dan percaya bahwa kekuatan adalah kunci mencapai keamanan hidupnya. Sehingga, negara-pun kelak akan mewarisi sifat ataupun perilaku serupa. Tokoh-tokohnya seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hans Morgenthau memandang dalam karyanya masing-masing bahwa politik internasional suatu negara digerakkan oleh dasar kepentingan nasional dan demi kekuasaan. Dalam pandangan Realis, dunia internasional dipahami sebagai arena anarki di mana setiap negara akan berjuang mempertahankan keamanan dan kelangsungan hidupnya melalui keamanan militer dan kestabilan ekonomi. Hal-hal di luar aspek militer dan ekonomi dipandang tidak penting bagi Realisme. Karena itu, perang dan konflik dianggap alami, bukan penyimpangan.
Dilain sisi, berbeda dengan Realisme, teori Liberalisme lahir dari pandangan optimis bahwa manusia tetap memiliki sifat rasional berupa dapat diatur dan mampu bekerja sama. Liberalisme sendiri sebenarnya baru dicetuskan saat Liga Bangsa Bangsa pertama dibentuk dan ramai didiskusikan pada 1920-1940 saat sistem global tengah merapikan tatanan dunia usai Perang Dunia 1 berakhir. Filsuf-filsufnya seperti John Locke dan Immanuel Kant menekankan akan pentingnya keberadaan hukum, transparansi, moral, dan institusi internasional yang dapat berfungsi untuk menertibkan sistem dunia internasional. Liberalis percaya bahwa perdamaian dunia dapat dicapai apabila negara berfokus pada demokrasi, perdagangan bebas, dan kerja sama antarnegara. Misalnya saat perang terjadi, masyarakat dalam negara umumnya adalah pihak yang paling terkena dampak kerugian dan penderitaan, bukan pemimpinnya. Untuk itu, demokrasi hadir dengan memberikan kekuatan kepada suara rakyat agar turut diutamakan dalam membentuk jalan pemerintahan negaranya. Hal-hal yang membahas tentang Hak Asasi Manusia atau Kemanusiaan adalah hal yang lebih penting bagi Liberalis. Perdagangan Bebas yang dicetuskan-pun memiliki arti bahwa selama rakyat diberikan kesempatan untuk tidak sepenuhnya bergantung pada negara dalam menyejahterakan ekonomi dirinya sendiri, kesejahteraan yang menjadi kunci perdamaian kelak dapat tercapai. Kerja sama yang transparan secara terus-menerus juga dinilai dapat meningkatkan kepercayaan di antara negara. Dengan kerja sama, interdependensi atau ketergantungan akan tercipta di mana negara-negara akan enggan bermusuhan karena telah bergantung dengan negara lainnya.
Kemudian memasuki era Perang Dingin, Neorealisme atau Realisme Struktural kemudian muncul sebagai pembaruan atau revisi terhadap teori Realisme sebelumnya. Kenneth Waltz memperkenalkan Neorealis dalam Theory of International Politics (1979) bahwa ia menolak pandangan tentang perang disebabkan oleh sifat manusia. Menurutnya, perilaku negara ditentukan atau justru berasal dari struktur sistem internasional itu sendiri. Dalam pandangan Neorealis, bukan lagi sifat manusia yang ditekankan anarkis melainkan sistem internasional-lah yang bersifat anarkis. Oleh karena itu, negara-negara terdorong untuk berperilaku serupa demi kelangsungan hidupnya dengan melakukan ekspansi militer. Bagi Neorealis, organisasi internasional yang telah hadir tetap tidak memiliki kemampuan untuk memaksa negara patuh. Sehingga satu-satunya cara untuk menjaga perdamaian dunia adalah apabila hadirnya Hagemony Power dalam sistem internasional. Neorealisme menawarkan 3 jenis sistem internasional berupa Unipolar, Bipolar, dan Multipolar yang pada akhirnya sama-sama menegaskan bahwa tiadanya otoritas global dan distribusi hak kekuasaan justru akan mendorong negara untuk bertindak saling menyeimbangkan kekuatan.
Namun usai Perang Dingin berakhir, teori Liberalisme juga turut berkembang pada 1980-an melalui karya Robert Keohane dan Joseph Nye menjadi teori Neoliberalisme atau Liberalisme Strukturalis. Teori ini menekankan pada ide bahwa negara dapat meredam kecenderungan perang dengan menyejahterakan rakyatnya melalui kerja sama ekonomi beserta ekspansi ekonomi. Idenya ini kemudian tertuang dengan dicetuskannya Washington Consensus kepada dunia di mana individu bebas melakukan Impor, Ekspor, Investasi, dan Privasitasi Properti, pada semua produk maupun jasa usaha. Bagi Neoliberalis, negara hanya dianggap sebagai konstitusi yang membantu kelancaran kegiatan ekonomi rakyatnya dan dalam buku Power and Interdependence (1977), Keohane dan Joseph Nye juga mengembangkan teori Complex Interdependance, di mana pihak yang saling bergantung hari ini bukan lagi hanya negara namun juga organisasi internasional. Organisasi internasional menjadi lembaga yang tidak hanya membantu negara mengatasi kecurigaan namun juga untuk membahas urusan transaksi. Sehingga pada dasarnya, gagasan Neoliberalis adalah bukanlah siapa yang lebih unggul (relative gains), melainkan seberapa besar keuntungan bersama yang bisa dicapai (absolute gains).
Sekilas, perbedaan dan persamaan antara keempat teori tampak jelas dari titik fokus dan cara pandang mereka terhadap dunia internasional. Masing-masing teori memiliki garis pemisah yang kuat, namun juga menyimpan benang merah yang sama. Semua berupaya untuk menjawab pertanyaan besar yang sama: Bagaimana negara seharusnya bertindak untuk mencapai kepentingan nasionalnya di tengah sistem internasional yang penuh ketidakpastian.
Dalam sejarahnya, keempat teori ini lahir dari konteks debat klasik tentang ekspansi, perang dan perdamaian, militer, serta ekonomi. Realisme dan Neorealisme menegaskan bahwa keamanan hanya dapat dicapai melalui kekuatan dan keseimbangan kekuasaan. Dalam pandangan Realis, dominasi kekuatan militer dianggap sebagai jaminan utama kelangsungan hidup negara, sebagaimana terlihat pada politik kekuasaan selama Perang Dingin, ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet menahan konflik langsung melalui strategi balance of power. Sebaliknya, Liberalisme dan Neoliberalisme memandang dunia dengan kacamata yang lebih optimis. Keduanya percaya bahwa kerja sama antarnegara, demokrasi, dan keterbukaan ekonomi dapat menumbuhkan kepercayaan dan menciptakan perdamaian jangka panjang. Contohnya tampak pada pembentukan lembaga-lembaga seperti Perserikatan Bangsa Bangsa atau Uni Eropa, yang dibangun atas dasar kepercayaan bahwa stabilitas dapat lahir dari integrasi dan interdependensi.
Meski tampak berlawanan, keempat teori ini sejatinya saling beririsan. Realisme dan Neorealisme sama-sama berangkat dari asumsi anarki sistem internasional, hanya berbeda tingkat analisisnya. Realisme menyoroti sifat manusia dan kepemimpinan, sementara Neorealisme menekankan struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Liberalisme dan Neoliberalisme pun serupa: keduanya menempatkan kerja sama sebagai inti, hanya saja Neoliberalisme lebih realistis dengan mengakui anarki dan ekspansi, namun percaya bahwa institusi internasional dapat menekan dampaknya.
Keempat teori ini tidak berdiri sebagai kebenaran tunggal, melainkan sebagai cerminan dari dinamika pemikiran manusia yang terus berkembang. Ketika isu global berevolusi, dari perang konvensional hingga krisis iklim dan keamanan siber, teori-teori tersebut pun turut diuji relevansinya. Jika satu teori gagal menjawab realitas baru, maka sejarah intelektual Hubungan Internasional akan kembali melahirkan pembaruan teori berikutnya. Dalam siklus inilah, ilmu hubungan internasional terus tumbuh: Bukan dengan menemukan jawaban akhir, tetapi dengan mempertanyakan ulang cara kita memahami dunia.