Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Evolusi Kompor Listrik yang Inklusif: Sebuah Kritik dan Ajakan Energi Berkelanjutan

16 Oktober 2025   19:10 Diperbarui: 16 Oktober 2025   19:06 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kompor induksi  (Sumber: Cosmos)

Pemerintah Indonesia saat ini menghadapi meningkatnya beban anggaran akibat subsidi energi, terutama untuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) di sektor rumah tangga. Pada foto di bawah ini ditunjukkan oleh (Goodstats, 2020) bahwa ketika tahun 2020 pemerintah mengalokasikan Rp32,8 triliun untuk subsidi LPG 3 kg, kemudian melonjak menjadi Rp67,6 triliun pada 2021, dan mencapai puncaknya sebesar Rp100,4 triliun pada 2022 seiring naiknya harga energi global. Meski sempat disesuaikan menjadi Rp74,3 triliun pada 2023, anggaran subsidi kembali meningkat menjadi Rp87,6 triliun dalam Rancangan APBN 2025.

Anggaran subsidi LPG 3 kg 2020-2025 (Sumber: Goodstats, 2025)
Anggaran subsidi LPG 3 kg 2020-2025 (Sumber: Goodstats, 2025)

Di saat yang sama, Indonesia tengah menyelesaikan pembangunan pembangkit listrik baru dengan kapasitas mencapai 35.000 megawatt (Hakam et al., 2022). Pencapaian besar ini justru berpotensi menimbulkan kelebihan pasokan daya akibat perlambatan ekonomi dan perubahan pola konsumsi energi. Di tengah situasi tersebut, pemerintah meluncurkan program kompor induksi sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG sekaligus mengoptimalkan surplus kapasitas listrik nasional. Program ini dipandang sebagai jembatan antara efisiensi energi dan transisi menuju sumber energi bersih. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga mencerminkan arah strategis transformasi energi Indonesia.

Pada tahun 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkenalkan program konversi memasak dari LPG ke kompor induksi dengan dua tujuan utama: menekan beban subsidi dan memperluas akses masyarakat terhadap energi bersih. Jika listrik yang digunakan bersumber dari energi terbarukan, kompor induksi dapat menurunkan emisi karbon dioksida (COâ‚‚) secara signifikan dibandingkan LPG.

Selain itu, efisiensi termalnya lebih tinggi, sehingga energi yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan secara optimal. Program ini menargetkan 8,2 juta rumah tangga pada tahun 2025 dan meningkat hingga 58 juta rumah tangga pada 2050. Meski sempat tertunda pada 2022, implementasinya dijadwalkan kembali pada 2025 untuk memastikan kesiapan infrastruktur dan dukungan masyarakat (Azzahra, 2025; Setiawan, 2024).

Sayangnya, keberhasilan program konversi ini tidak hanya ditentukan oleh kesiapan teknologi, melainkan juga oleh persoalan struktural yang lebih kompleks dan bertahap bak sebuah evolusi. Rumah tangga berpendapatan rendah masih menghadapi berbagai keterbatasan: daya listrik, harga peralatan yang tinggi, serta kebijakan subsidi LPG yang secara tidak langsung mempertahankan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. 

Di sisi lain, muncul perbedaan pandangan terkait kelompok sasaran awal program. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto, menilai bahwa konversi sebaiknya dimulai dari kalangan menengah atas yang telah memiliki daya listrik memadai. Pendapat ini kontradiktif dengan sejumlah kajian yang justru menyarankan agar program menyasar rumah tangga berpendapatan rendah (Setiawan, 2024).

Strategi Pemerintah ke Depan: Dari Sosialisasi hingga Konversi Bertahap

Kajian jurnal Energy Strategy Reviews mengatakan bahwa keberhasilan program konversi dari kompor LPG menuju kompor induksi tidak hanya bergantung pada kebijakan teknis, tetapi juga pada sejauh mana masyarakat memahami dan mempercayai teknologi baru ini (Hakam et al., 2022). Faktor utama yang memengaruhi permintaan konsumen adalah tingkat pengetahuan dan persepsi mereka terhadap efisiensi, keamanan, serta kenyamanan penggunaan kompor induksi. Ketika informasi mengenai manfaat dan cara kerja kompor induksi masih terbatas, masyarakat cenderung mempertahankan kebiasaan lama menggunakan LPG. Maka dari itu, sosialisasi masif dari pemerintah sebagai aktor enabler untuk mengenalkan keunggulan kompor induksi—baik dari sisi efisiensi energi, keamanan, maupun penghematan biaya—menjadi langkah awal yang krusial. 

Rumah tangga berpendapatan rendah umumnya berada dalam dua golongan tarif listrik, yakni 450 watt dan 900 watt. Kondisi ini membuat mereka tidak memiliki daya yang cukup untuk mengakses kompor induksi karena membutuhkan peningkatan instalasi listrik sebesar 220 volt (ibid). Meskipun saat ini terdapat pilihan kompor induksi berdaya rendah sekitar 300 wattt, seperti yang diproduksi oleh brand Cosmos, akses terhadap teknologi tersebut tetap terbatas bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dan tetap memerlukan peningkatan jaringan listrik. Artinya, hal ini justru berisiko memperdalam ketimpangan akses energi jika tidak disertai dengan intervensi struktural. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun