Mohon tunggu...
XAVIER QUENTIN PRANATA
XAVIER QUENTIN PRANATA Mohon Tunggu... Dosen - Pelukis kehidupan di kanvas jiwa

Penulis, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Capres dan Tim Sukses Perlu Belajar dari Anak-anak

10 September 2018   10:22 Diperbarui: 10 September 2018   12:37 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat menyaksikan video kiriman temang tentang pandangan ortu terhadap anak dan pandangan anak terhadap ortu, saya terhenyak. Beberapa orang ibu ditanya tentang anak-anaknya. Mereka menyatakan bahwa anak-anaknya 'nakal', 'ngrepotin', 'sudah diatur' dan sebagainya. Ketika diminta memberi nilai, sebagian besar memberi 'rapor' sedang sampai jelek. Tidak satu pun yang memberi rapor baik.

Sebaliknya, saat anak-anak itu di-shooting secara candid, mereka rata-rata memuji ortunya. Kata-kata seperti 'mamaku baik', 'mamaku hebat' sampai 'I love you mom!' keluar dari mulut anak-anak yang masih polos itu. Ketika diminta untuk memberi 'rapor' mamanya, mereka semua memberi nilai baik bagi mamanya. Bagi bocah-bocah yang masih lugu ini, mama mereka 'is the best'.

Ketika candid video itu ditunjukkan kepada mama mereka, banjir airmata terjadi. Air tuba yang mereka berikan kepada anak-anak ternyata justru dibalas dengan air susu yang melimpah. Bukankah suatu ironi? Seharusnya mamalah yang memberi susu kepada anak-anaknya. Kini justru anak-anaknyalah yang memberi susu kepada mamanya. Bukankah pujian merupakan susu alami untuk pertumbuhan?

Apa saja kelebihan anak dibandingkan orang dewasa? Bagaimana capres dan tim sukses bisa belajar dari mereka?

1. Polos

Seorang anak mendekati ibunya yang sedang memasak di dapur dan bertanya, "Ma, mengapa rambut Mama mulai ada yang putih?"

"Setiap kali kamu berbuat nakal, sehelai rambut mama berubah menjadi putih," ujar ibunya sambil menyembunyikan senyum penuh arti.

Senyuman itu langsung menghilang saat anaknya bertanya lagi, "Kalau begitu mengapa rambut Nenek jadi putih semua?"

Bagi tim sukses, ketimbang terus menerus menyerang tim lawan, bukankah jauh lebih elok jika masing-masing melakukan introspeksi? Cara-cara seperti black campaign, hoax dan hate speech seharusnya disudahi.

2. Pengampun

Pernah melihat anak berkelahi? Apa yang terjadi setelah itu? Seringkali kedua ortu anak itulah yang berkelahi karena merasa anaknyalah yang paling benar. Saya mendengar kisah seorang sahabat yang menceritakan kegagalannya menjadi ortu. 

Ketika anaknya pulang dalam kondisi lebam bekas pukulan, tanpa cross check mereka langsung melabrak ke sekolahan bahkan menghajar anak yang memukul anaknya.

"Sudah, Pak. Anak itu bisa mati," ujar seorang guru menyadarkannya.

Mereka menceritakan kebodohan mereka dulu. Seharusnya, kita tanya dulu apa yang terjadi pada anak kita sebelum melakukan balas dendam.

Anak-anak itu gampang mengampuni. Saat ortunya masih mendendam, anak-anak yang tadinya berkelahi sudah saling rangkul dan makan es bersama.

Mengapa hajatan lima tahun sekali ini merusak persahabatan yang sudah terjalin puluhan tahun? Mengapa kerukunan tetangga terusik gara beda pilihan?

3. Tidak Senaif yang Orang Dewasa Bayangkan

Seorang anak tampak menundukkan kepala dan komat-kamit sebelum bertanding. Seorang temannya yang melihatnya khusus berdoa berbisik, "Kamu berdoa supaya menang ya?"

"Oh tidak," jawab yang ditanya, "Saya berdoa agar kalau kalah tidak menangis."

Begitu wise, bukan? Mengapa kita orang dewasa kehilangan kesadaran itu? Saat para kontestan dipertemukan, mereka berjanji untuk saling menghormati keputusan apa pun yang rakyat pilih. Menang kalah oke oce. Namun, mengapa saat kalah ternyata tidak terima dan menunduh lawannya curang? Dari oke oce menjadi okeh ngoceh!

Saatnya bagi kita untuk belajar dari kepolosan dan ketulusan anak-anak. Mereka, kata Sang Guru Agung, adalah empunya Kerajaan Surga. Setuju?

* Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun