Mohon tunggu...
Syarif Dhanurendra
Syarif Dhanurendra Mohon Tunggu... Jurnalis - www.caksyarif.my.id

Pura-pura jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Diplomasi Bisik-Bisik ala Jokowi dan Polemik Putin

4 Juli 2022   11:20 Diperbarui: 5 Juli 2022   06:52 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Rusia Vladimir Putin (MIKHAIL SVETLOV/GETTY via BBC INDONESIA)

Bagi Neumann, 3 naskah ini tidak dapat dipertemukan. Malah, 3 naskah ini wajib dilaksanakan pada prinsip juggling (satu sama lain).

Pastinya, ada beberapa kedudukan yang dapat diambil oleh seseorang diplomat. Melanjutkan 3 naskah yang disebutkan Neumann tadi, Corneliu Bjola mengatakan beberapa style kepemimpinan diplomatik dalam tulisannya yang bertajuk Diplomatic Leadership in Times of International Crisis.

Terkait diplomat ini, kita tahu kalau Indonesia telah mengirim undangan kepada Ukraina ke forum G20. Hal itu diungkap langsung oleh Zelensky via Twitter. Zelensky sebut hal itu soal ketahanan pangan. Ia pun mengapresiasi undangan Indonesia untuk ke KTT G20. Diasamping itu, ada pula yang mempersoalkan lobi-lobi Retno. Diketahui bahwa Retno keliling Eropa pada tanggal 19-22 April yang lalu. Retno kunjungi Inggris, Prancis, Belanda, dan Turki. Hal itu disebut mengenai pembahasan penyelenggaraan G20.

3 pemimpin diplomat ini terdiri dari the maverick, the congregator, serta the pragmatist. The maverick merupakan pemimpin yang mempunyai gagasan yang kokoh namun tidak dapat menginspirasi aktor aktor lain. Di sisi lain, the congregator merupakan diplomat pemimpin yang dapat membangun konsensus namun tidak mempunyai visi yang kokoh. Sedangkan, terakhir, the pragmatist merupakan diplomat pemimpin yang dapat membangun visi yang kokoh sekalian membangun ikatan yang beresonansi.

3 style kepemimpinan diplomatis inilah yang bisa jadi butuh dicermati oleh para pegiat diplomasi Indonesia. Apabila diamati, Menlu Retno--serta pula Marty--bisa jadi ialah seseorang congregator yang dapat membangun jembatan serta konsensus di antara banyak pihak--apabila dilihat dari pemakaian pendekatan diplomasi diam-diam dalam beberapa suasana semacam polemik Rusia Ukraina.

Tetapi, bukan tidak bisa jadi, Jokowi pula membutuhkan seseorang pragmatist yang dapat mempunyai visi yang kokoh guna mengalami tekanan-tekanan dari bermacam kekuatan asing.

Selaku Presiden G20, inilah peluang untuk seseorang pragmatist buat menanamkan visi yang kokoh serta mengajak negara negara lain berjalan secara bersesuaian--terlebih Jokowi sendiri mempunyai visi supaya ekonomi global dapat berjalan cocok kepentingan banyak negeri.

Boleh jadi, Indonesia sesungguhnya sempat mempunyai seseorang Menlu yang ialah seseorang pragmatist, ialah Ali Alatas yang berprofesi pada tahun 1988-1999. Kala Ali berprofesi selaku penasihat diplomatik di masa SBY, Indonesia memainkan kedudukan berarti buat mengajak negara negara ASEAN buat menyepakati ASEAN Charter--suatu konvensi yang memiliki prinsip prinsip ASEAN.

Kesuksesan diplomatik Ali Alatas pula mengantarkannya jadi calon Sekretaris Jenderal PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Tetapi, mungkin masa depan kariernya di PBB ini diucap diveto oleh Presiden Soeharto.

Terlepas dari itu, posisi Alatas yang dihormati serta dapat jadi the pragmatist ini bukan tidak bisa jadi butuh dipelajari oleh para insan Departemen Luar Negari (Kemlu) dikala ini. Siapa ketahui Retno serta para diplomat Indonesia sesuatu hari nanti wajib beraksi bak Tom Hanks di film Bridge of Spies? Bukan begitu?

Catatan: https://nuonline.or.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun