Puasa sudah berjalan di hari ke-5, namun aku masih tetap diam di tempat tak melakukan apa-apa. Aku sibuk dengan duniaku, sampai lupa dengan tujuan yang hakiki.Â
Aku iri dengan Markidi. Walau pun dia bukan santri, dan di juga tidak pernah mondok, namun dia ajeg melakukan ibadah sunnah: setiap pagi baca Al Qur'an, sholat dhuha sebelum ke kampus, malam tadarus, dan lain sebagainya. Dan aku bukan siapa-siapa dibanding dirinya.
"Ben," seseorang memanggil namaku.
"Iya, Di," aku tahu kalau yang memanggilku adalah Markidi, "onok opo?" tanyaku.
"Besok aku mau ziarah ke makam Sunan Ampel. Kamu mau ikut atau tidak?"
"Eh,.. Iya, aku mau."
Aku ingat, setiap tanggal 21 Ramadhan ia selalu ziarah ke makam Sunan Ampel. Katanya untuk ziarah dan untuk bertemu Kyainya.
Markidi sering bercerita padaku tentang Kyainya. Katanya, Kyainya inilah yang selama ini membimbingnya. Markidi sangat menghormati kyainya, sebab ia tersanjung karena kyainya mau menerima ia sebagai santrinya, walau pun Markidi tidak mondok dan hanya bisa bertemu dalam waktu yang tidak tentu.
*******
Aku dan Markidi ziarah ke Ampel. Di sini kami membaca Surat Yasin dan tahlil. Aku terkejut, ternyata Markidi sudah hafal Surat Yasin dan tahlil. Aku semakin kagum dengan dia.
"Aku ke toilet dulu, ya, Di," kataku. Tahlil sudah selesai kami baca. Aku langsung bergegas ke belakang.