Mohon tunggu...
Eni Setiati
Eni Setiati Mohon Tunggu... -

Penulis buku Kids Writer & Kidpreneur\r\nEditor lepas\r\nGhost Writer\r\nMentor grup facebook MTK Writer (Moms Teen & Kids Writer)\r\nTrainner book writing\r\nEmail: enisetiati_tiga@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Rasanya Mimpi Jika Kami Bisa Tinggal di Sebuah Rumah Petakan"

7 Juli 2011   17:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:51 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13100603231572369038
13100603231572369038
13100594251984629742
13100594251984629742
Hari sudah menunjukkan pukul 4 sore ketika saya melewati jalan menuju Buaran, Jakarta Timur. Padahal pantat sudah tepos dan panas karena baru saja saya menuju ke sebuah desa di Ujung Babelan Bekasi membagi-bagikan paket duafa untuk anak-anak sekolah di sana. Meski hari sudah semakin sore saya tak mengurungkan niat untuk mampir ke rumah di kolong jembatan. Dengan perut lapar saya meminta pada tukang ojek yang saya tumpangi sejak dari Babelan itu agar mampir ke jembatan Kaum. "Ngapain lagi ke sana Mba?" tanya si Mamat tukang ojek langganan saya. "Ah .. gak tahu nih kok perasaan gak enak aja. Mampir sebentar ya Mat," perintah saya padanya. Dan, sampailah saya di tujuan jembatan Kaum. Dengan bergegas saya menuju rumah kolong jembatan itu. Benar saja, perasaan tak enak itu terbukti. Ternyata Pak Edi kepala keluarga yang menempati rumah kolong jembatan itu sedang sakit. "Sakit apa Pak?" sapaku mendekati Pak Edi ketika saya menuju kolong jembatan yang pengap dan gelap itu. Tak ada bau apek di sana. Entahlah mungkin karena saya sudah terbiasa turun dan masuk ke dalam rumah kolong jembatan ini sehingga hidung saya sudah akrab dengan segala macam bau yang menebar di pinggir kali di bawah kolong jembatan itu. "Ini cuma lutut pegal-pegal aja kok Mbak," sahut Pak Edi berusaha menepis ketika saya ajak berobat ke klinik 24 jam dekat jembatan. "Beneran gak sakit Pak? kalau memang saya ayo kita ke dokter dulu biar bapak dikasih obat," bujuk saya. Pak Edi menolak dengan caranya yang halus. "Beneran Mbak, ini setiap hari dikirimin macam-macam saja saya sudah terimakasih, jadi saya gak mau merepotkan Mbak lagi". Dan saya pun tak lagi memaksa Pak Edi. Tak lama masuk istrinya Pak Edi. Iseng-iseng saya tanya. "Bu, seandainya ibu dipindahkan keluar dari kolong jembatan ini mau gak?" taya saya. Istri Pak Edi hanya tertawa kecil dan berkata,"Seperti mimpi aja Mbak kalau kita bisa tinggal di sebuah rumah petakan.Karena kita sudah delapan belas tahun tinggal di sini gak ada yang peduli dan gak ada yang menawarkan kami pindah ke rumah petakan". Saya terdiam mendengarkan celoteh istri Pak Edi. Secara pribadi ini masalah besar dan cukup rumit. Jadi tidak mungkin saya menanggulangi hal ini sendirian.  Satu-satunya jalan saya hanya mencarikan solusi bagaimana caranya agar keluarga Pak Edi beserta istri dan ketujuh anak-anaknya bisa keluar dari kolong jembatan ini dan menempati rumah petakan yang layak sebagaimana mestinya. Saya hanya bisa berdoa, semoga ada yang terketuk hati untuk menolong keluarga Pak Edi berserta keluarganya bisa hidup layak di sebuah rumah petakan yang layak huni dan sehat bagi ketujuh anak-anaknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun