Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Logika Kekuasaan dan Politik Akomodatif dalam Wacana Penambahan Jumlah Kementerian

10 Mei 2024   00:20 Diperbarui: 10 Mei 2024   00:20 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana mengenai penambahan jumlah kementerian pada kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran bukanlah hal aneh, dan sama sekali tidak mengejutkan. Bagi para peminat dinamika kepolitikan nasional, isu ini bahkan sudah dapat diduga jauh sebelum puncak perhelatan Pilpres 2024.

Tanda-tandanya mudah dibaca. Mulai dari struktur tambun koalisi yang dibangun Prabowo-Gibran, keterlibatan berbagai faksi politik elektoral didalam proses pemenangan Prabowo-Gibran, hingga ke manuver sejumlah elit partai politik pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

Makna dari semua tanda-tanda fenomenologis itu adalah bahwa Prabowo sebagai pemegang hak prerogatif penyusunan kabinet pemerintahan nampaknya memang sudah siap dengan resiko politik yang harus diambilnya kelak setelah resmi dilantik dan diambil sumpah jabatannya 20 Oktober mendatang.

Resiko politik yang dimaksud adalah mengakomodir faksi-faksi baik yang bersifat pribadi (misalnya Presiden Jokowi dan tokoh masyarakat atau intelektual berpengaruh) maupun kelompok (partai-partai anggota koalisi, relawan, bahkan juga representasi organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah) kedalam barisan pemerintahannya.

"No free lunch". Tidak ada makan siang yang gratis. Begitu dalil yang pernah diucapkan Milton Friedman yang berlaku dalam kehidupan keseharian. Terlebih di dunia politik yang semakin berwatak transaksional serta didukung oleh situasi politik yang memaksa kubu pemenang Pemilu yang berhak memerintah harus memperkuat bangunan koalisi pendukung pemerintahannya.

Norma Perundangan vs Logika Kekuasaan

Diatas sudah disinggung bahwa penyusunan kabinet pemerintahan merupakan hak prerogatif Presiden. Hak prerogatif merupakan kekuasaan atau hak yang dimiliki oleh kepala negara (dalam hal ini presiden) yang bersifat istimewa, mandiri, dan mutlak yang diberikan oleh konstitusi dalam lingkup kekuasaan pemerintahan. Bentuk-bentuk hak prerogatif Presiden ini lazimnya diatur dialam konstitusi.

Hak prerogatif Presiden terkait penyusunan kabinet pemerintahan didalam UUD 1945 diatur di dalam Pasal 17. Bahwa "Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri serta membentuk, mengubah dan membubarkan kementerian negara yang diatur di dalam undang-undang." 

Namun demikian, meski di tangan kewenangannya ada hak prerogatif, dalam menyusun kabinet pemerintahannya Presiden tetap diatur dan dibatasi oleh undang-undang. Jadi tidak bisa suka-suka atau semata-mata hanya didasarkan pada keinginan dan kepentingan pribadi semata dan/atau titipan faksi-faksi politik di tubuh koalisinya.     

Di dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, pengaturan dan pembatasan itu misalnya menyangkut jumlah kementerian yang dibentuk serta pertimbangan-pertimbangan suatu kementerian dibentuk. Terkait jumalah kementerian, UU ini menentukan paling banyak 34 kementerian (Pasal 15).

Sementara terkait pertimbangan yang harus menjadi dasar Presiden dalam pembentukan kementerian diatur didalam Pasal 13, sekurang-kurangnya meliputi aspe-aspek efisiensi dan efektivitas; cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas; kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau perkembangan lingkungan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun