[caption id="attachment_301907" align="aligncenter" width="600" caption="Dingin pagi di Kawah Ijen"][/caption]
Tidak sekedar beruntung. Peristiwa yang dialami Alvian Acak Aldino alias Inok, 22 tahun, mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, mungkin tergolong “ajaib”. Pendaki Gunung Welirang ini ditemukan selamat setelah hilang selama Sembilan Hari (25 Desember 2012 – 3 Januari 2013) dan hanya mengalami luka di kepala dan dada. Padahal, saat mendaki dan terpisah dengan Jimmy Pragowo, logistik yang dibawa hanya sebotol air minum, sebungkus sereal dan sebungkus roti. (www. tempo.co/ Kamis, 3 Januari 2013)
Kemampuan survival pecinta alam ini benar-benar teruji. Mampu bertahan dengan asupan nutrisi yang sangat terbatas. Air sungai, hujan atau embun di Gunung Welirang mungkin yang membantu Inok tetap survive. Termasuk pula kemampuan beradaptasi yang luar biasa dalam menghadapi cuaca yang tidak bersahabat. Saya yang sehari-hari tinggal di desa terdekat dengan Gunung Welirang sering merasakan sergapan udara pagi yang menusuk tulang. Dulu, saat remaja saya juga sering mendaki G. Welirang dan G. Penanggungan. Bisa merasakan dinginnya udara di gunung/ hutan. Bisa menggigil saat basah akibat hujan, terlebih bila badai tiba-tiba menyapu.
[caption id="attachment_301908" align="aligncenter" width="500" caption="Puncak Welirang (dok pribadi)"]

[caption id="attachment_301910" align="aligncenter" width="500" caption="Welirang dan Alas Laji Jiwo "]

Nasib berbeda dialami Eko Wahyudi (29), guru SMP di Depok, Jawa Barat yang ditemukan tewas setelah sempat dinyatakan hilang saat mendaki Gunung Arjuna, tetangga Gunung Welirang. Begitu pula dengan seorang pendaki tepatnya pelancong dari Singaraja, Bali, tewas di Gunung Ijen, Banyuwangi. Korban diduga mengalami kelelahan dan mengalami sakit dada. Tapi korban memaksa terus mendaki. (Kompas.com/ Minggu, 25. Agustus 2013). Saat tiba diPos Pondok Bunder, 1 kilometer hari Kawah Ijen. Korban beristirahat karena kondisinya melemah. Korban tidak meneruskan pendakian. Saat rombongan pulang, korban terpelet sehingga tak sadarkan diri dan akhirnya dinyatakan meninggal dalam perjalanan (detiksurabaya/ 25 Agustus 2013).
[caption id="attachment_301928" align="aligncenter" width="500" caption="Jalan lebar berpasir ke Kawah Ijen"]




3. Khusus ke Kawah Ijen, mendaki malam hari adalah pilihan tepat. Termasuk summit attach ke Mahameru (puncak Gunung Semeru) juga puncak Welirang, umumnya juga berangkat dini hari. Untuk mengurangi dingin, memakai jaket adalah sebuah kewajiban. Bila perlu bawa kaos pengganti. Termasuk celana dan kaos kaki. Bisa untuk ganti saat tiba di puncak. Maka badan tetap hangat dan mencegah hipothermia. Untuk gunung lain tentu tidak harus melakukan perjalanan di malam hari.
4. Cuaca setiap saat bisa berubah. Sebaiknya sudah menyiapkan Jas Hujan dan Tenda. Termasuk alas tidur (Matras) atau Sleeping Bag. Tenda Dome sangat disarankan. Tenda pantai juga boleh. Saat saya ke Kawah Ijen, sejak di Paltuding sudah memakai jaket dibalut jas hujan. Padahal saat itu cuaca cerah. Benar saja, di tengah perjalanan hujan tiba-tiba mengguyur. Sampai di puncak hujan belum reda. Untung sudah memakai jas hujan. Maka begitu tiba di puncak, saya dan teman-teman segera buka tenda di dekat ceruk batu. Lumayan hangat. Sebenarnya trenyuh juga karena saat itu banyak rombongan yang menggigil di luar tenda karena minimnya perlengkapan. Mau dimasukkan tenda jelas nggak mungkin karena tenda sudah penuh untuk berempat.
[caption id="attachment_301919" align="aligncenter" width="500" caption="Tenda dan perapian pengusir dingin di Ijen "]

[caption id="attachment_301921" align="aligncenter" width="500" caption="Perlengkapan standar daki gunung (dok pribadi)"]


[caption id="attachment_301922" align="aligncenter" width="500" caption="Sedia jas hujan sebelum hujan beneran"]

10. Gunung Welirang-Arjuno-Penanggungan dikenal sebagai gunung yang “mistis”. Di lereng-lerengnya bertebaran puluhan situs purbakala warisan jaman Majapahit. Kawasan hutannya diberi nama Hutan Lindung Arjuno Lali Jiwo. Artinya kira-kira “Lupa dengan Dirinya”. Masyarakat setempat mengenal fenomena “Oyot mimang”. Bila pendaki terkena “Oyot Mimang” maka yang bersangkutan akan “Lupa Diri” dan akan tersesat karena hanya berputar-putar di sekitar lokasi. Fenomena ini sebenarnya mungkin adalah gejala akibat hipotermia, kelelahan atau kelaparan sehingga tak sadar atau halusinasi. Tidak perlu dirisaukan asal pendaki benar-benar mempersiapkan diri dengan baik Termasuk “menjaga diri dan hati”. Selalu bertingkah laku dan bertutur kata sopan saat di gunung. Termasuk tidak merusak hutan, memetik Edelweiss dan meninggalkan sampah. Jangan sombong ingin menakhlukan gunung. Gunung didaki bukan untuk ditakhlukan tetapi lebih untuk mensyukuri nikmat dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Sejak tayangan film 5 cm, gunung semakin diminati anak muda untuk didaki. Memang, jangan ditunda lagi untuk daki gunung, menikmati kekayaan Nusantara yang merupakan bagian penting dari Indonesia Travel. Selamat mendaki.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI