Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sisi Lain Muktamar NU ke 33 Jombang

3 Agustus 2015   10:37 Diperbarui: 4 Agustus 2015   05:59 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua malam keliling mengikuti perjalanan Muktamar NU ke 33 di Jombang, bertemu dengan banyak tokoh-tokoh petinggi NU, juga mendengar keluhan-keluhan, serta membaca informasi dan koran, dan juga menyaksikan puluhan ribu orang datang dari seluruh penjuru Nusantara, bahkan belahan dunia, seperti; Arab Saudi, Libanon, Palestina, Mesir, Pakistan, Afrika, Amirka, Austarila, Jepang, Belanda. Mereka datang dengan ihlas karena Allah SWT. Ribuan kilomenter ditempuh dengan senang dan riang, ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah dikumpulkan dan dikeluarkan demi mengikuti Muktamar para ulama Ahlussunah Waljamaah. Mereka ingin melihat langsung wajah-wajah sejuk ulama yang kelak akan menuntunnya menuju surga dan bertemu dengan Rosulullah SAW. Tiba-tib, pagi ini membaca Koran Jawa Pos dengan judul “Mahdlatul Ulama Gaduh, Muhammadiyah Teduh”.  Maka, ahirnya saya tulisakan apa yang saya simpan selama dua malam mengikuti Muktamar Jombang, dalam tulisan sederhana ini.

Bagi NU, Jombang itu menjadi tempat paling istimewa. Dengan kata lain, Jombang itu menjadi tempat sucinya. Sebab, Jombang itu menjadi pusat dan tempat berdirinya NU yang di gagas oleh santri-santri NU yang lama bermukm dan nyantri di tanah suci Makkah.

Santri-santri itu tidak hanya hebat ngaji kitab suci dan hadis Rosulullah SAW. Santri-santri itu bahkan mampu membumikan ajaran kitab suci Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW di bumi Nusantara dengan santun, ramah, dan keteladanan yang tinggi nan mulia yang dikema dengan “Ajaran Ahlussunah Waljamaah”.

Di dalam mewujudkan kandungan al-Quran dan sunnah Rosulullah SAW, santri-santri NU itu tidak menggunakan pendekatan kekerasan tetapi menggunakan kelembutan dan kesantunan yang diajarakn Rosulullah SAW, sahabat dan ulama walisongo yang senantiasa menggunakan ke-arifan lokal di dalam dakwahnya.

Di dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu mewujudkan berdirinya sebuah Negara Republic Indonesia. Juga, santri-santri NU mendirikan organisasi yang bernama “Nahdhotul Ulama” yang artinya “kebangkitan para ulama”. Prinsip dari kebangkitan para ulama itu ialah berjuang mewujudkan dan mendirikan sebuah bangsa yang berdaulat yang mana setiap pemeluk agamanya bisa melaksanakan ajarannya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Santri-santri NU itu, tidak mendirikan Negara Khilafah Islamiyah. Sebagai penganut muslim terbesar, santri-santri NU itu menegaskan bahwa Nahdhotul Ulama itu mengikuti ajaran Ahlussunah Waljamaah yang bermadhab Al-Syafii, serta mengikuti tasawufnya Imam Al-Ghozali, yang mana semua merujuk pada Al-Quran dan Al-Sunnah Nabawiyah.

Semua tahu, bahwa para santri Makkawi (asal Makkah) NU itu, pulang ke Nusantara, kemudian menyebarkan ilmunya ke seluruh pelosok Nsantara dengan cara mendirikan Pondok Pesantren. Di dalam pesantren, santri-santri NU yang sudah menjelma seorang ulama’ mengajarkan ilmu agama, menjadi teladan, mengajarkan dan mengamalkan bagaimana membumikan ilmunya dalam pribadi, keluarga, masyarakat dan berbangsa kepada santri-santrinya yang datang dari seluruh Pelosok Nusantara.


 Santri-santri NU yang sudah menjelma seorang ulama besar nan kharismatik sangatlah banyak, di antara santri-santri NU yang di Jombang antara lain,; Al-Imam Syekh Muhammad Hasyim Asy’ary, KH Wahab Hasubullah, KH Mustain Romli, KH Bisri Samsuri. Masing-masing memiliki pesantren. Mereka juga memiliki hubungan yang sangat erat, baik sebagai seorang pejuang Negara Republik Indonesia, juga seroang santri dan kyai yang setiap hari mengajarkan ilmu agama dengan ihlas karena Ilahi.

Dengan demikian, maka Jombang menjadi kota santri dan sacral bagi NU. Apalagi, KH Muhamamd Hasyim Asy’ary, KH Wahid Hasyim, dan Gus Dur yang menjadi ketua PBNU, dan juga pernah menjadi Presiden Republik Indonesia di makamkan di Tebur Ireng. Bahkan, ada yang mengatakan dengan nada guyon bahwa Gus Dur itu menjadi seorang wali dengan julukan “Sunan Tebu Ireng” karena banyaknya masyarakat yang berziarah ke makamnya. Puluhan ribu orang setiap hari ngaji, tahlil, tahmid, di makam Tebur Ireng. Pendekanya, Jombang itu sangat sacral, karena banyaknya ulama dan auliya’ serta suhada’ yang di kuburkan di bumi Jombang.

Karena Jombang masih sacral, maka jika ada orang yang berniat mengotori dengan nyayian, dangdutan, bahkan dengan hal-hal yang tidak baik, pasti Allah SWT tidak akan rela. Jika saat ini, muktamar sedikit Gaduh, barangkali karena ada segelintir orang yang mengotori bumi Jombang dengan prilaku yang tidak sehat, dan tidak sesuai dengan ajaran Ahlussunah Waljamaah yang di ajarakan oleh Syekh Al-Imam Muhammad Hasyim Asyary sang pendiri Nahdhotul Ulama’. Dengan kata lain, Mbah Hasyim Asy’ary sedikit kecewa dengan “Panitia Penyelengara”.

Biasanya, Muktamar itu di adakan di pesantren yang notabene tempat ngaji kitab suci, hadis Nabi SAW, serta kajian-kajian ilmu agama lainya. Saat ini, Panitia menyelengarakan muktamar di bumi Jombang, tepatnya di Lapangan (Alun-Alun) yang lebih sering digunakan konser music, pasar malam dan sepakbola. Barangkali, ini bagian dari protes para pendiri Nahdotul Ulama’ agar suapaya dikembalikan pada ruh pesantren sebagai tempat bermusyawarah untuk mendapat curahan rahmat-Nya.

Salah satu bentuk cinta Allah SWT kepada hamba-Nya, diberikan kepadanya ujian, dan peringatan agar kembali lebih baik dan mengingat-Nya. Jadi, sedikit kegaduhan yang terjadi pada Muktamar NU Jombang ke-33, yang ditulis oleh Jawa Pos pada Senin (3/08/2015) bagian dari bentuk cinta Allah SWT terhadap organisasi yang di dirikan oleh para ulama dan auliya’ dalam rangka menjagaa Akidah Ahlussunah Wajamaah dan juga moralitas anak bangsa.

Pada jaman pemerintahan Suharto yang identik dengan dictator, kekerasan, semua proses pemilihan pemimpin dengan cara tertutup tidak terbuka seperti Muktamar NU. Masyarakat tidak boleh mengintipnya, apalagi meminta untuk dibuka. Dengan demikian, proses pemilihanya pasti mudah dan gampang, juga tidak akan gaduh. Karena tidak perlu adu argumentasi dan gagasan, karena semua sudah siap dan tinggal diketok palunya. Bahkan, para pemilihnya cukup mangut-mangut saja, sudah selesai (kurang kreatif dan kurang inovtif).

Kita bisa melihat proses pemilihan penganti Rosulullah SAW, dimana para sahabat berkumpul di Bani Tsaqifah. Masing-masing ingin mengajukan seseorang untuk menjadi penganti Rosulullah SAW. Mereka adu argementasi dengan keras (sedikit gaduh), tetapi mereka tetap memilih pemimpin penganti Rosulullah SAW berdasarkan ilmu, pengalaman, serta senioritas. Ahirnya, Abu Bakar ra, kemudian terpilih menjadi seorang penganti Rosulullah SAW. Sejak saat ini, element sahabat yang berbepda pendapat saling berangkulan, melupakan kegaduahan yang dilakukan.

 Semoga, NU tidak lagi bermuktamar di lapangan seperti sekarang ini, tetapi kembali ke Pondok Pesantren sebagaik tempat ngaji dan mendalami kitab suci Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW. Semoga, partai politik tidak lagi ikut serta dalam perhelatan Akbar lima tahuan. Semoga kegaduan itu berubah menjadi rahmat, berkah, menyadarkan kembali bahwa NU itu organisasi yang didirikan ulama dan wali. Tujuan utamanya yaitu menjaga Aqidah Ahlussunah Waljamaah sesuai dengan ajaran Rosulullah SAW, sahabat, dan ulama sebagai pewaris Nabi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun