Ketika aku dan kakak-kakak masih kecil dulu. Oh bukan, akunya yang kecil. Sebab jarak usia kami 5 hingga 15 tahun. Jadi aku kecil, dan mereka remaja.
Selain karena punya warung, yang tentu saja harus selalu buka, pintu rumah bagian depan pun jarang ditutup. Anak tetangga datang bermain, orang belanja nyelonong masuk, semua itu biasa.
Ketika aku remaja, otomatis kakak-kakak pun sudah besar. Tidak ada teman yang main yang datang begitu saja. Warung tetap buka, tapi pintu depan ditutup namun tidak dikunci.
Suatu kali, ketika kami tengah ramai-ramai berbaring di depan TV, seorang tetangga masuk begitu saja. Tanpa salam, tanpa ketukan. Ceklek, buka pintu, dan bertanya, "Bapak ado?"
Alih-alih menjawab, kami semua bubar. Kakak-kakak perempuanku misuh-misuh. Jelas saja, anak perempuan kalau nonton TV sambil baring, gak karuan lagi gimana posenya. Tanpa jilbab, tanpa celana panjang, ... namanya di dalam rumah.
Sejak itu, pintu depan dan samping kami kunci. Hanya warung yang terbuka, tapi sesekali ditutup juga. Aku sendiri memilih tidak lagi nonton TV di depan, karena risiko terlihat dari luar selalu ada. Jika pintu warung dibuka, pembeli masuk sampai ke rumah. Jika ditutup, mereka menempelkan wajah ke kaca jendela, melihat tuan rumah ada di bagian mana.
Baca juga: Digosipin Salah, Ditulis Juga Tidak Baik
Kebiasaan Turun Menurun
Sejak orang-orang familier dengan HP, rumah-rumah kian rapat ditutup. Sebab bukan satu dua kali di lingkungan kami, pencuri masuk rumah siang bolong dan berhasil menggondol berbagai gawai yang tergeletak begitu saja di atas meja.
Kukira, sejak itu orang-orang akan lebih beretika ketika masuk ke rumah orang lain. Minimal membedakan diri dengan maling atau rampok. Nyatanya ... kuceritakan satu saja ya, dari puluhan kejadian yang berulang padahal aku sudah jauh dari usia anak-anak.
Awal menikah, aku masih tinggal satu rumah dengan orang tua, mengisi kamar yang sudah kutinggali sejak remaja. Suatu siang, suasana hening, cuaca panas. Aku dan suami sedang berada di kamar, kami sama-sama sibuk dengan HP masing-masing.
Tiba-tiba tanpa ada bebunyian, seorang tetangga sudah masuk ke kamar kami. "Oi, mano Mamak?" katanya.