Ngajak orang, sendirinya gak mau thrifting! Memang, aku gak ikut. Tapi sebagai introvert, aku jarang keluar rumah. Sekalinya keluar, bajunya itu lagi itu lagi. Di dalam rumah, makin banyak lubang daster, makin enak itu baju dipakai. Jadi aku nge-thrift (penghematan) dalam bentuk lain.
Baca juga:Â Cara Supermarket Bikin Orang Belanja Lebih Banyak
Bahaya ThriftingÂ
Bersama manfaat besarnya, thrifting juga mengandung mudarat. Pertama, seperti yang bolak-balik jadi bahan omel Mamak dan dua kakak pertamaku, pakaian bekas memang berisiko menularkan penyakit. Salah satunya penyakit kulit. Gampangnya sih, dicuci sebersih mungkin.
Kamu bisa cari di Google untuk mendapatkan tips terbaik membersihkan hasil berburu barang-barang bekas. Selain antisipasi pakaiannya, makanan dan kulitmu sendiri juga harus bersih.
Kedua, peje yang ada di daerahku dulu (kemungkinan sampai sekarang), berasal dari Batam. Sebagaimana barang-barang lain yang dikirimkan dari Batam, banyak di antaranya yang bermasalah soal cukai.
Ketiga, persepsi dari thrifting itu sendiri. Idealnya langkah "daur ulang" ini dilakukan berdasarkan kesadaran, bukan tren demi eksistensi.
Ada yang namanya preloved, ini adalah barang bekas dengan kualitas terbaik. Levelnya lebih tinggi, tapi masih soal barang bekas juga. Kalau mendapatkan preloved sekadar demi kepuasan "menang kompetisi" (karena peminatnya banyak, barangnya unik), maka tujuan penyelamatan Bumi tidak kena.
Jika thrifting dilakukan sekadar untuk konten medsos, yang ujung-ujungnya sekali pakai juga, efeknya hanya sampai dompetmu. Gak ngaruh ke Bumi. Lalu apa bahayanya?
Ya balik lagi ke emisi. Artinya tidak ada yang berubah, karena pemahaman tentang peduli lingkungan akhirnya menguap begitu saja. Semua jadi nonsens.