Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadikan Sekolah Kita Prestise Orangtua!

12 Juli 2020   11:21 Diperbarui: 12 Juli 2020   11:22 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca artikel tentang sekolah diskotik oleh salah seorang kompasianer, aku jadi teringat temanku yang suka membagikan foto anaknya dengan seragam "sekolah orang kaya".

Seragam itu juga mengingatkanku akan keponakan yang dulu juga sekolah di tempat yang sama. Saking "hebatnya" sekolah itu, keponakanku yang baru berusia lima tahun sudah tahu red, yellow, blue. Tapi dia tidak kenal merah, kuning, biru.

Aku pun pernah menjadi wali murid dari sekolah elit. Dan itu malah jadi salah satu alasan aku meminta maaf pada si kakak. Sebagai anak sulung, memang sudah nasibnya jadi bahan percobaan orangtua.

Menginginkan yang terbaik untuk putrinya, suamiku mendaftarkan sulung kami pada salah satu SD (yang menurut ukuranku) tergolong mahal di kota kami. Awalnya aku menolak, karena aku terbiasa menyekolahkan anak di sekolah yang gurunya kukenal.

Tapi karena pertimbangan fasilitasnya yang memadai, akhirnya aku mengalah. Jika aku terlambat menjemput, si kakak mudah ditemukan, biasanya di perpustakaan. Ruang yang tidak dimiliki semua sekolah di sini.

Selain perpustakaan dan lapangan, sekolah itu juga memiliki area outbond yang bagiku sangat bermanfaat untuk anak-anak.

Zamanku dulu masih banyak pohon yang mudah dipanjat, pohon-pohon roboh untuk bermain titian, dan aneka tantangan menarik untuk anak usia SD. Bagiku sarana outbond tersebut mampu menggantikan yang tidak didapat generasi alfa saat ini.

Sayang seribu sayang,  baru beberapa pekan sekolah, tahu-tahu area outbond diubah menjadi ruang kosong mengilap yang entah untuk apa.

Beberapa kali si kakak membawa pulang buku dari perpustakaan, aku masih harus menyortir mana yang layak baca mana yang tidak. Ternyata sekolah hanya memiliki perpustakaan, tapi tidak pustakawannya.

Bacaan hedonis, permisif, dan nyeleneh lainnya, dikemas dengan cover dan gambar kartun full colour. Didapat dari program tukar buku antaranak yang kemudian dihibahkan untuk sekolah.

Puncaknya, ketika aku menegur seorang anak yang makan dengan tangan kiri, sambil berjalan pula, membuat hubunganku makin tak harmonis dengan civitas sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun