Orang menyebutnya Rumah Batu. Setiap datang ke tempat ini, hampir pasti aku terlewat jalan dulu, baru putar balik karena kejauhan. Barangkali karena tidak ada yang khas sebagai penanda di sana, atau memang visualku yang lemah. Kabarnya, kebanyakan perempuan begitu.
Terletak di Jambi Kota Seberang, penyebutan yang cukup membingungkan tak hanya bagi orang di luar Jambi, bahkan bagi warga Jambi sendiri. Sebagian orang menyebutnya Seberang Kota Jambi, disingkat Sekoja, dan ini lazim terdengar sejak dulu.
Tapi dari segi bahasa, penyebutan "seberang kota" seolah menunjukkan bahwa wilayah ini terletak di seberang Kota Jambi. Nyatanya, Jambi Seberang Kota adalah juga bagian dari Kota Jambi. Dipisah oleh Sungai Batanghari, yang menjadikan bagian utara sebagai Kota Tradisional, dan Bagian Selatan adalah Kota Modern.
Di Jambi Kota Seberang, banyak terdapat masjid dan pesantren tua yang masih aktif. Nuansa Islam sangat kental di sini. Warga aslinya adalah keturunan dari perpaduan bangsa Arab, Melayu, dan Cina sejak ratusan tahun lalu.
Rumah Batu, yang merupakan bagian dari cagar budaya, terletak di Olak Kemang, Kampung Tengah. Merugilah mereka yang baru mendengar nama Rumah Batu selewat tahun 2019 ini. Sebab meski namanya terdengar hingga jauh, nyatanya rumah ini nyaris tersisa tanahnya saja.
Dua bulan lampau aku bertandang ke sana. Sama sekali tak ada tanda-tanda perawatan dari pihak berwenang. Bukti sejarah ini luluh dibinasakan alam. Nyaris tuntas! Babak bunyak, kalau kata Mamakku.
Dikutip dari laman Disparbud Kota Jambi, Rumah Batu adalah rumah peninggalan Said Idrus bin Hasan Al Djufri. Ia merupakan besan dari Sultan Thaha Saifuddin, pahlawan Jambi yang paling keras perlawanannya terhadap Belanda. Said Idrus bergelar Pangeran Wirokusumo.