Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Corona Kian Menakutkan, Mengapa Pilkada Tetap Dipaksakan?

18 September 2020   21:26 Diperbarui: 19 September 2020   13:45 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutrasi simulasi pemungutan suara Pilkada Serentak 2020. (Antara Foto/Muhammad Iqbal)

Hari-hari ini penyebaran virus Corona (Covid-19) dan dampaknya menurut saya kian mengerikan. Data harian jumlah orang yang dilaporkan positif terpapar virus terus mencatatkan rekor baru. Belum ada tanda-tanda jumlah penyebaran virus ini akan melandai. Beberapa ahli menyebutkan, tingkat penyebaran saat ini bahkan masih belum mencapai puncaknya.

Corona bisa menyerang siapa saja, tanpa mengenal usia, pekerjaan, status sosial dan sebagainya. Sebagai warga Jambi, saya sempat kaget mendapat kiriman video singkat berisi rekaman "pengakuan" Walikota Jambi, Syarif Fasha yang mengatakan dirinya telah terjangkit virus dan sedang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.

Dari media, kita mendengar beberapa tokoh pejabat publik yang dilaporkan telah terpapar alias positif Corona. Ada walikota, bupati, Menteri, termasuk Sekda DKI Jakarta yang kemarin meninggal dunia.

Virus corona sudah menghilangkan banyak nyawa. Para tenaga kesehatan yang sejatinya merupakan garda terdepan sekaligus harapan kita di masa-masa sulit seperti saat ini pun ikut menjadi korban. Sudah lebih dari seratus orang dokter yang meninggal dunia. Alih-alih, mereka seakan menjadi tumbal terdepan dan menjadi korban.

Media juga memberitakan rumah sakit yang mulai kewalahan menampung pasien. Lebih mengerikan lagi, tempat pemakaman di beberapa daerah juga dilaporkan sudah hampir penuh.

Duka terdalam sudah dirasakan banyak orang yang harus kehilangan orang-orang terkasih bahkan anggota keluarganya akibat keganasan virus ini. Kemarin, saya mendapat kabar seorang teman harus kehilangan suaminya yang meninggal akibat terpapar corona. 

Lebih memilukan, ia dan kedua anaknya (umur 4 dan 6 tahun) bahkan tidak bisa ikut dalam prosesi pemakaman. Hasil Swab mereka reaktif. 

Beberapa waktu sebelumnya, teman saya yang lain harus kehilangan kedua orang tuanya juga karena terpapar corona. Dari beranda facebook, saya juga mendapat kabar seorang teman saat kuliah dulu yang isterinya positif corona dan harus diisolasi di rumah sakit. Diduga kuat isterinya terpapar ibunya yang telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya.

Pilkada Dipaksakan

Pada kondisi yang serba sulit saat ini, kita langsung teringat dengan agenda pesta demokrasi yaitu Pilkada yang sudah di depan mata. Berdasarkan jadwal, Pilkada serentak akan digelar pada 9 Desember mendatang. Tahapan yang baru saja dilalui adalah pendaftaran pasangan calon.

Sejujurnya, saya sangat sepakat dengan pandangan beberapa kalangan yang menilai agenda Pilkada nanti terkesan terlalu dipaksakan. Padahal, sebenarnya ada opsi untuk menunda karena alasan pandemi yang terjadi saat ini.

Apalagi sampai saat ini kita belum pernah mendengar ada strategi dan langkah yang bisa dilakukan guna memastikan protokol kesehatan tetap terlaksana andaikan pilkada tetap berjalan sesuai jadwal. 

Bila dikaitkan dengan bahaya penyebaran virus corona, tahapan penyelenggaran Pilkada jelas sangat mungkin menjadi kluster baru yang mengkuatirkan. 

Belum apa-apa, saat tahap pendaftaran pasangan calon saja sudah terjadi kerumuman massa yang tidak bisa dihindarkan. Tentu bisa dibayangkan, bagaimana nanti saat sudah memasuki masa kampanye? Sebelumnya media juga memberitakan, sudah ada lebih dari 60 orang kandidat yang akan ikut Pilkada terpapar virus corona.

Bila Pilkada ditunda, selain bisa meminimalisir potensi penyebaran virus akibat kerumunan massa, pemerintah dan penyelenggara pemilu juga memiliki kesempatan dan waktu untuk membuat hajatan pesta demokrasi nanti lebih berkualitas. 

Sebagai contoh, opsi untuk mematangkan penyelenggaraan pemilu lewat e-voting bahkan mungkin e-campaign menjadi lebih realistis untuk dilaksanakan. 

Diskusi rutin secara daring yang diselenggarakan LP3ES beberapa hari lalu, mengungkap hal tersebut. Sementara bila Pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal, sudah pasti itu mustahil dilakukan.

Kembali lagi soal penyebaran corona. Dampak pandemi saat ini sudah kita rasakan bersama. Pemerintah sendiri terlihat semakin kewalahan. 

Berbagai upaya termasuk stimulus ekonomi masih terus dikucurkan agar roda perekonomian tetap berjalan dan tidak terpuruk lebih dalam. Resesi sudah di depan mata dan tak bisa lagi dihindari. Pemerintah pun sudah mengakuinya.

Menjadi sangat mengerankan ketika di situasi yang sangat sulit seperti ini, pemerintah seolah tidak mampu membaca potensi bahaya yang sangat besar bila Pilkada dilaksanakan sesuai jadwal. Atau jangan-jangan pemerintah memang sudah siap dituding sedang melakukan pembiaran terhadap ancaman keselamatan warganya?

Sebelum situasi yang sangat buruk terjadi, pemerintah seharusnya membuka mata dan telinga. Jangan sampai pilkada serentak nanti berubah menjadi pesta pora virus corona yang membuat terjadinya "ledakan" jumlah penderita di negara tercinta.

Hari ini (18/9), Ketua KPU Pusat Arief Budiman dilaporkan positif corona. Seorang pimpinan Komisi II DPR RI dengan cepat merespon dan mengatakan bahwa kejadian tersebut tidak akan mengganggu tahapan proses Pilkada. Astaga....                   

***

Jambi, 18 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun