Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana dan Pentingnya Belajar dari Pengalaman

20 September 2019   11:32 Diperbarui: 22 September 2019   06:07 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas BPBD Riau sedang memadamkan api di Desa Rimbo Panjang, Riau (Kompas.com/Idon)

Bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi lagi. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, bencana yang terjadi tahun ini bisa dikatakan cukup parah, hampir mendekati kejadian serupa tahun 2015 silam.

Kebakaran hutan dan lahan 2015 sendiri diyakini masuk dalam rekor kategori terparah sepanjang sejarah. Diperkirakan ada dua juta hektar hutan dan lahan yang terbakar. Kerugian materiil ditaksir mencapai Rp 20 triliun. Kebakaran hutan pada tahun itu dinilai sangat parah dan menyamai insiden serupa di tahun 1997.

Hari-hari ini, kabut asap akibat karhutla kembali menyelimuti daerah Sumatera dan Kalimantan. Demikian halnya, beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand pun ternyata ikut merasakannya.

Data Walhi menyebutkan, sepanjang tahun 2019 tepatnya hingga 7 September setidaknya tercatat 19.000 titik api. Sementara data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 September 2019, ada 2.862 titik api dengan total luas lahan terbakar 328.724. 

Senada dengan itu, Kementerian LHK melaporkan luas kebakaran hutan periode 1 Januari-15 September 2019 mencapai 328.722 hektar dengan 14.352 titik panas.

Kabut asap akibat karhutla membawa dampak yang sangat buruk bagi warga. Aktivitas keseharian benar-benar terganggu. Di Jambi misalnya, selama berhari-hari sekolah terpaksa diliburkan demi alasan kesehatan. 

Pemerintah kota juga berkali-kali memberikan himbauan pada warga agar mengurangi aktivitas di luar rumah.  

Kabut asap bila terhirup akan sangat berbahaya bagi kesehatan. Alat pencatat kualitas udara di beberapa lokasi karhutla sudah mengonfirmasi hal tersebut. Sudah banyak korban yang terpaksa harus dirawat di rumah sakit karena terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) akibat terpapar asap.

Dan pada setiap bencana, selalu ada kisah-kisah getir dan pilu yang menyayat hati. Di Palembang, seorang bayi meninggal dunia, diduga akibat menghirup asap.

Di Jambi, Asmara, seorang petugas Manggala Agni Daops Muara Bulian meninggal dunia saat sedang berjuang memadamkan api kebakaran hutan.   

Dalam upaya percepatan penanganan dampak bencana, Presiden Jokowi beserta pejabat-pejabat terkait bahkan sudah mengunjungi langsung salah satu lokasi kebakaran di Riau. Provinsi ini memang termasuk yang terparah dan butuh penanganan secara cepat agar dampaknya tidak semakin luas.

Kepala BNPB, Doni Monardo beserta rombongan saat melakukan pemantauan lapangan langsung lokasi di desa Kerumutan, provinsi Riau bahkan dikejutkan dengan adanya sejumlah kilang minyak Pertamina yang berjarak kurang dari 40 meter dari lokasi karhutla. 

Bisa dibayangkan, bila sumur minyak tersebut terbakar, tentu akan berakibat sangat fatal.              

Belajar dari pengalaman

Satu hal yang patut disesalkan dari peristiwa karhutla adalah kenyataan bahwa kita seperti tidak mampu belajar dari pengalaman. Kita mengenal istilah, pengalaman adalah guru yang terbaik. 

Namun sepertinya itu baru sebatas slogan, belum merasuk dalam alam fikiran apalagi mewujud dalam tindakan.

Ahmad Arif dalam tulisannya di harian Kompas (18/9) mengatakan, tragedi karhutla bukan hal baru. Arsip berita Kompas, edisi 2 November 1967 menyebut kabut asap akibat kebakaran hutan menggelapkan kota Palembang dan menghentikan lalu lintas di Sungai Musi. 

Arif menyebut, ada 1.788 artikel di koran tersebut terkait kebakaran hutan dan kabut asap dalam kurun waktu 1967 hingga September 2019.

Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan hampir selalu dikaitkan dengan perusakan hutan dan pembukaan lahan. Seiring waktu, akar masalahnya lebih kompleks karena lahan yang dibuka kian luas dan melibatkan perusahaan besar. 

Bahkan, dua dekade belakangan terjadi pengeringan lahan gambut yang mengubah pola kebakaran.

Kajian Eko Yulianto, Hirakawa, dan Tsuji (2004) merekam perubahan pola kebakaran. Selama ribuan tahun, pola kebakaran masih sporadis dan terlokalisasi. 

Pola kebakaran semakin masif dan merembet luas sejak 1980-an serta memuncak tahun 1997/1998. Hutan seluas 11,7 juta hektar terbakar pada 1997/1998, terbesar dalam sejarah. 

Sekali lagi perlu ditegaskan, peristiwa karhutla bukanlah hal yang baru terjadi belakangan ini di Indonesia. Itu sudah pernah terjadi puluhan tahun yang lalu dan berbagai dokumentasi, kajiannya pun masih ada. 

Namun kembali lagi, kita tidak mampu belajar dengan baik dari pengalaman-pengalaman yang sudah ada.    

Kesiapsiagaan dan pencegahan

Selain kurang belajar dari pengalaman, tingkat kesiapsiagaan dan pencegahan kita juga cenderung masih rendah. Kita ambil contoh terdekat. Setelah kebakaran hebat yang terjadi 2015, sebenarnya sudah terjadi penurunan jumlah titik panas secara drastis di tahun-tahun berikutnya. 

Kebakaran memang terjadi di beberapa titik lokasi, namun masih dalam skala yang kecil dan bisa langsung cepat diatasi.

Namun sepertinya kita menjadi cepat puas dan tidak waspada. Ketidaksiapan dan kurangnya pencegahan itu yang akhirnya "berbuah" di tahun ini. Diawali kemarau panjang yang terjadi sejak pertengahan tahun, karhutla secara masif terjadi lagi.

Lemahnya pencegahan itu harus dibayar mahal. Ratusan ribu hektar lahan sudah habis terbakar. Ratusan ribu warga terancam kesehatannya akibat menghirup debu dan asap. 

Aktivitas ekonomi, pendidikan, hingga jadwal penerbangan menjadi terganggu. Kekayaan hayati kita hancur seketika. Termasuk aneka satwa yang ikut menjadi korban.

Saat ini pemerintah terpaksa harus sibuk melakukan upaya pemadaman guna mencegah kebakaran semakin meluas. Setiap harinya, miliaran rupiah habis untuk membawa dan menjatuhkan air dari atas helikopter, termasuk berbagai upaya membuat hujan buatan.

Presiden Jokowi menyesalkan kurangnya pencegahan yang dilakukan pemerintah setempat. Padahal, sejak peristiwa kebakaran 2015 sudah dilakukan berbagai upaya agar kejadian serupa tidak berulang, diantaranya pembentukan regulasi serta simpul-simpul kelembagaan hingga di tingkat tapak.

Semestinya, berbekal pengalaman yang ada, kita sudah bisa menyiapkan strategi untuk mencegahnya. Kita sudah kenal bahaya karhutla, sudah seharusnya kita siap siaga dan melakukan pencegahan untuk mengurangi risikonya.

Saya juga berpikir bahwa kejadian karhutla yang menyebabkan kabut asap tahun ini seharusnya bisa segera dicegah sedini mungkin. Sebelum titik-titik api mulai bermunculan, kemarau sudah terjadi selama berhari-hari dan tidak ada hujan sama sekali. 

Saya membayangkan bila saat itu sudah mulai dilakukan upaya pembuatan hujan buatan secara intensif, barangkali karhutla yang meluas seperti saat ini sudah bisa dicegah. Itu sepertinya lebih efektif dibandingkan membuat hujan buatan saat sudah terjadi kebakaran dimana-mana.              

Kita pun ikut bahkan kian kesal ketika media melaporkan sikap cuek beberapa kepala daerah yang menjadi lokasi kebakaran. 

Di tengah bencana hebat yang sedang terjadi dan secara nyata sudah membuat sengsara warga, bukannya memimpin langsung upaya-upaya penanganan, mereka dengan santainya justru tega bepergian meninggalkan daerahnya.         

Kita juga gerah dan geram dengan pernyataan blunder dari pejabat publik yang akhirnya kontraproduktif. Contohnya, ada pernyataan bahwa kebakaran hutan yang terjadi hanya heboh di pemberitaan media, namun fakta kenyataannya tidak separah di lapangan. 

Pernyataan seperti ini jelas tidak perlu karena cenderung memantik suasana kian panas dan terkesan menganggap remeh penderitaan yang sedang dialami warga.

Demikian halnya pernyataan bahwa karhutla merupakan musibah yang harus diterima dengan ikhlas. Peristiwa kebakaran hutan dan lahan merupakan wujud kegagalan kita mengelola alam. 

Kepala BNPB mengatakan, bencana karhutla 99 persen terjadi akibat ulah manusia. Lalu, kita disarankan sekadar ikhlas dengan kenyataan ini?   

Motif peristiwa karhutla sebenarnya sudah bisa dibaca karena itu terjadi secara berulang. Diawali musim kemarau yang cukup panjang, sebagian orang lalu memanfaatkannya untuk melakukan pembakaran/pembersihan lahan. Cara ini memang sangat cepat, mudah dan murah.

Lalu, untuk apa lahan tersebut dibakar? Almarhum Sutopo Purwo Nugroho pernah mengungkapkan keresahannya terhadap peristiwa karhutla di Palangkaraya dan mensinyalir aktivitas tersebut disengaja demi sebuah kepentingan lain, salah satunya untuk perkebunan sawit.

Dikutip dari Mongabay, ada alasan tersendiri mengapa hutan dan lahan dibakar dengan tujuan untuk membuka kebun sawit---tepat seperti yang dikeluhkan oleh Pak Sutopo.

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Herry Purnomo, sekaligus ilmuwan dari Center for International Forestry Research (Cifor) telah melakukan penelitian yang berhasil mengungkap bahwa kebakaran hutan dan lahan justru menguntungkan pihak-pihak tertentu, meski dampaknya menyiksa masyarakat.

Metode membakar memang sengaja dipilih karena cara pengolahan lahan yang lain memerlukan biaya yang lebih mahal, apalagi di lahan gambut. Masih menurut Herry, harga lahan kian meninggi setelah dibakar mencapai Rp 11 juta per hektar.

Berbeda dengan harga sebelum dibakar, yaitu Rp 1,5 juta per hektar. Saat hujan mulai turun, sawit pun mulai ditanam. Kala usia tanamannya mencapai tiga tahun, harganya melonjak hingga Rp 40 juta per hektar.

Menjaga alam   

Akhirnya, peristiwa kabut asap akibat karhutla memang harus diakui sebagai bukti bahwa kita telah gagal menjaga alam. Kegagalan kita menjaga alam akhirnya merugikan bahkan membuat kita sengsara.

Sang Pencipta sudah merancang alam dan ekosistemnya dengan begitu teratur dan sempurna. Manusia akan tetap merasa nyaman dan terlindungi bila keseimbangan alam bisa terus dijaga.

Ada simbiosis mutualisme disana. Manusia bertugas menjaga alam dan alam akan menjaga kehidupan umat manusia. Sejak awal, alam bahkan memang disiapkan sebagai tempat tinggal sekaligus untuk memenuhi kebutuhan manusia. 

Tetapi alam memang tidak akan pernah mampu apalagi cukup untuk memenuhi keserakahan manusia. 

***

Jambi, 20 September 2019      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun