Lagu Green Day membuka live music di kafe yang kudatangi malam itu. Wake Me Up When September End. Tepat dinyanyikan di bulan yang sama. Bulan dengan sejarah paling menyesakkan yang pernah kuingat. Hari-hari yang berat, ingatan-ingatan tentang seseorang yang segera ingin kuusir pergi dari kepalaku, sebuah keangkuhanku pada diri sendiri karena merasa bisa melepaskan dalam sekejap waktu.
Aku melirik jam di pergelangan tangan, dadaku mulai berdegup kencang tidak menentu. Apakah ini artinya hatiku masih sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya? Apakah benar aku telah sembuh? Apakah keputusanku untuk berani menemuinya malam ini adalah sebuah keputusan yang tepat?
Apa....
"Sin?"
Aku terperanjat. Suaranya membuyarkan lamunanku.
Dia ada di sana. Berdiri tepat di seberang meja. Aku mengamatinya. Antara mengingat dia yang dulu dengan yang sekarang. Posturnya sekarang jauh lebih tegak dari terkhir kali aku melihatnya, dia yang terlampau tinggi sampai aku harus mendongakkan kepala dari tempat dudukku. Tersenyum canggung dia menatapku, mengulurkan tangannya. Aku mendadak beku, kehabisan kata-kata. Sekuat tenaga mencairkan suasana.
"Hei, apa kabar?" Aku berdiri, menjabat tangannya.
Tangan yang pernah menawariku segala macam bantuan, yang pernah diulurkannya secara cuma-cuma dengan kalimat, "aku gandeng ya?" seolah dengan begitu ia bisa memberiku perlindungan. Namun justru kubalas dengan gelengan.
"Duduk Rey," aku mempersilakannya duduk.
Dia mengangguk, "Sudah pesan menu?"
"Iya sudah."