Mohon tunggu...
Rully Asrul Pattimahu
Rully Asrul Pattimahu Mohon Tunggu...

Ketua PB HMI 2010-2012 Staf Pengajar IAIN Ambon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

ISLAM TIDAK SEKEDAR FIQIH, FIQIH TIDAK SEKEDAR HUKUM

28 Desember 2012   21:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:53 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

RULLY ASRUL PATTIMAHU

(Ketua  PB  HMI)

Telah banyak pemikir agama yang mencoba terus menggali nilai dan substansi dari Islam, baik dari segi akar katanya, nilai filosofinya, dimensi historisnya ataupun aspek lain dalam Islam. Perkembangan pemikiran untuk mencari makna hakiki dari Islam itu sendiri harus dimaknai sebagai ekspektasi umat dalam menyatukan Islam dengan tingkat peradaban, baik untuk menyusun konspesi ideal maupun untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan agar doktrin Islam tetap menyatu dan bersesuaian dalam ruang sejarah manusia. Doktin Islam telah terbentuk XIV abad yang lalu namun ruang sosio-kultural pemeluk Islam terus bergerak dalam perubahan perilaku budaya yang sangat cepat.

Karena tuntutan diatas, maka ijtihad dianggap sebagai salah satu sumber dalam hirarki sumber hukum Islam – selain al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas – dan inilah yang paling popular, bahkan ijtihad, oleh Muhamad Iqbal – pemikir Islam dari India – dianggap sebagai prinsip gerak dalam Islam. Suber-sumber hukum Islam tersebut menjadi rujukan secara mentodologis untuk menetapkan derivasi hukum, terutama dalam masalah fiqih.

Sebagaimana kita ketahui dalam kajian hukum Islam terdapat dua kategori yang berbeda. Pertama, hukum Islam rumpun syariat, kedua hukum Islam rumpun fiqih. Dua rumpun hukum Islam ini bertemu secara prinsip dalam rujukan, yakni al-Qur’an dan Sunnah nabi, tetapi bercabang dalam produk tingkatan hukumnya. Rumpun syariat dianggap bersumber dari Tuhan dan bersifat pasti (qathi), karena sumber dan petunjuk lafaznya dianggap sempurna dan terhindar dari kemungkinan menafsirkannya. Hukum Islam rumpun fiqih merupakan dugaan (dzani) seorang fuqaha, meskipun rujukannya juga adalah al-Qur’an dan Hadis. Disebut dugaan – bukan keraguan – karena pentunjuk dan cakupan lafaznya masih terdapat kemungkinan dan tidak terhindar dari penafsiran yang beragam.

Dalam sejarah peradaban Islam khususnya pasca masa kenabian, lahir, tumbuh dan berkembangnya disiplin keilmuan yang menjadi bagian dari tradisi kajian keislaman sehingga membentuk setidaknya empat ilmu tradisional dan sekaligus menjadi warisan “tertinggi” peradaban Islam klasik bahkan sampai hari. Ilmu tradisional Islam itu meliputi, ilmu kalam (teologi), filsafat (falsafah), tasawuf (mistik Islam), dan yang terakhir adalah fiqih.

Ke-empat ilmu tradisional tersebut dilihat dari segi pemanfaatannya, fiqih-lah yang paling banyak mendapat tempat dan perhatian serta menjadi ilmu tradisional yang paling kuat mendominasi pemahaman masyarakat muslim, sehingga dengan demikian, paling banyak membentuk bagian terpenting cara berfikir masyarakat muslim tentang agama Islam. Hal ini sangat wajar karena ruang lingkup kajian fiqih berkaitan dengan segi-segi formal peribadatan dan hukum. Lahir dan berkembangnya ilmu fiqih merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat muslim untuk menderivasikan pesan-pesan suci agama dari teks kitab suci yang dianggap masih bersifat umum, karenanya fiqih tidak lahir dalam ruang sejarah yang hampa.

Karena aspek pemanfaatannya tersebut maka masyarakat muslim mempunyai ciri orientasi dan watak hukum yang sangat kuat, bahkan ada yang berpendapat bahwa peradaban Islam adalah peradaban hukum Islam itu sendiri. Tetapi, disebabkan karena wataknya itu, ilmu fiqih menunjukan kekurangan, yaitu titik beratnya yang terlampau banyak kepada segi-segi lahiriah – seperti halal, haram, wajib, mubah, makruh – sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteris.

Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa ajaran Islam tidak hanya mencakup hal-hal lahiriah semata, tetapi banyak nilai diluar makna lahiriahnya itu yang sebenarnya dapat ditangkap dalam tingkatan penghayatan keislaman yang lebih tinggi. Fiqih, dibandingkan dengan tiga keilmuan tradisional Islam lainnya, sedikit jauh ketinggalan dalam tingkat supremasi ketuhanan. Boleh dikatakan bahwa fiqih adalah serendah-rendahnya (dalam makna positif) pemahaman dan penghayatan nilai ajaran Islam.

Jika fiqih mencakup hal-hal lahiriah dari Islam, Tasawuf membidangi segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang bersifat pribadi, Falsafah membidangi hal yang bersifat perenungan tentang kehidupan makro dan mikro kosmos secara luas, sedangkan Ilmu Kalam berkaitan dengan Tuhan dan berbagai derivasinya.

Jika pengertian fiqih dibatasi hanya dalam pegertiannya sebagai hukum, maka dari segi perkembangannya, periode konsolidasi dan pembentukan fiqih telah dimulai sejak awal masa kerasulan yang berlangsung dalam kurun waktu 22 tahun (610-632 M), dilanjutkan pada periode tafsir dan takmil (penjelasan dan penyempurnaan) yakni pada zaman sahabat (632-720 M/11-101 H), Periode Tadwin (pembukuan) dan munculnya para imam mujtahid (720-961 M/101-350 H), kemudian Periode Taqlid yaitu periode kebekuan dan statis yang berawal pada pertengahan abad ke-4 H.

Pada masa kerasulan yang disebut sebagai fase pembentukan fiqih sebagaimana disebutkan diatas, akar hukum amat erat kaitannya dengan peranan nabi sebagai pengemban risalah dan pemutus perkara, sehingga segala bentuk perkara hukum dalam situasi apapun membutuhkan intervensi pemikiran dan putusan hukum secara langsung dari nabi.

Dalam perkembangan selanjutnya setelah masa kerasulan, ketika umat Islam diperhadapkan dengan semakin luasnya daerah kekuasaan politik akibat kesuksesan dalam gerakan ekspansi militer (futuhat), timbul masalah-masalah hukum baru yang awalnya tidak pernah terjadi dimasa kenabian. Kondisi ini membuat daya dorong akan kebutuhan menjawab masalah hukum semakin tinggi dan memicu terjadinya peremaajaan interpretasi hukum yang baru, sehingga munculah periode tafsir dan takmil yang kemudian diwariskan pada generasi selanjutkan melalui gerakan tadwin.

Namun peranan nabi dalam tugas kerasulan itu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal kemasyarakat yang bersifat hukum semata, tetapi juga berkaitan dengan kesanggupan menangkap dan memahami serta mengamalkan makna agama secara kaffah. Dalam kesanggupan menangkap pesan-pesan Tuhan itu, masyarakat muslim diharapkan tumbuh dalam bingkai kekuatan moral dengan kesadaran hukum yang tinggi, yang hakikatnya adalah membentuk masayarakat akhlak.

Dalam pemaknaan seperti ini, maka kita akan mendapatkan kesesuaian pengertian fiqih dalam makna asalnya yakni ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan nash dalam ajaran agama. Tentang perkara yang sudah dijabarkan secara rinci, dengan sendirinya tidak banyak kesulitan, tetapi tentang perkaya yang hanya dijelaskan garis besarnya, perbedaan penafsiran dan penjabarannya sering menjadi sumber kesulitan yang melahirkan berbagai perbedaan pendapat dikalangan pemikir muslim dalam fase perkembangan historis dan formatif.

Sejak berakhirnya periode tafsir dan takmil yang ditandai dengan munculnya periode taqlid, umat Islam mengalami kejumudan peremajaan pemikiran hukum Islam. Hukum-hukum hasil interpretasi ulama yang bermetamorfosis menjadi kitab-kitab fiqih dianggap telah memberikan pengertian abadi tentang problematika kemanusiaan dalam membentuk dunia yang beradab. Faktanya, sampai hari ini kita menemukan berbagai problem sosial yang belum pernah menjadi fakta empiris dalam kurun waktu periode sahabat dan periode imam mujtahid.

Untuk menghindari berlanjutnya perilaku taqlid tersebut, juga untuk menghindari anggapan bahwa produk ulama itu sama tingkatannya dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka gerakan transformasi dalam bidang fiqih adalah hal sangat penting dalam merespon arus dan gesekan perubahan dalam masyarakat, terutama adalah perubahan cara menafsir karena bergeraknya nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Bukankah periode pembentukan dan perkembangan fiqih itu sendiri cukup memberikan gambaran tentang kuatnya minat peremajaan interpretasi umat Islam tentang pesan-pesan Tuhan?.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun