Mohon tunggu...
Takdir ilahi
Takdir ilahi Mohon Tunggu...

Mohammad Takdir Ilahi lahir pada tanggal 17 September 1987 di Kabupaten Pamekasan Madura. Pendidikan dasarnya diselesaikan di tanah kelahirnya pada tahun 2000 dan melanjutkan studinya di MTs Al-Huda Sumber Nangka Duko Timur Larangan Pamekasan hingga lulus tahun 2003. Setelah menamatkan sekolah di tanah kelahirnya, Takdir memutuskan untuk mondok di Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Selatan. Dan pada tahun 2007, kuliah Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain mengikuti berbagai ajang lomba ia juga menulis di Media Massa. Selain mengikuti berbagai ajang lomba ia juga menulis di Media Masa, diantaranya adalah Republika, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Suara Karya, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat Bandung, Lampung Post, Bisnis Bali, Bali Post, Bernas Jogja, Koran Merapi, Kabar Indonesia, Harian Jogja, Joglosemar, Solo post, Bangka Post, Suluh Indonesia, Surya, Tribun Tangerang, Tribun Makasar, Koran Jakarta, Harian Analisa, Harian Umum Pelita, Radar Madura, Tabloid Info Sumenep.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membongkar Spiritualitas Agama Pagan: dari Secte of Faith ke World of Religion

26 Juni 2010   04:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:16 2100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi

Pendahuluan

Perbincangan seputar munculnya agama-agama di dunia, harus diakui tidak bisa lepas dari sejarah manusia. Sebagai homo religious, mahluk agamis dan mahluk fitrah, maka sejarah manusia adalah sejarah agama, yaitu cara indah yang dipergunakan ummat manusia yang berbeda-beda untuk berkembang dan menuju pengetahuan yang lebih benar dan cinta yang lebih mendalam kepada apa yang dipercayai sebagai Tuhan.
Dalam konteks ini, manusia memiliki kemampuan untuk mencari identitas diri melalui proses spiritual yang dijalaninya dengan ketabahan dan cobaan. Hal ini disadari, karena manusia dibekali dengan kekuatan akal yang mampu membawa progresifitas dalam kehidupan pribadinya, termasuk proses pencarian untuk memiliki kepercayaan tertentu terhadp agama. Tak heran, kalau Fredrich Max Muller, sebagaimana dikutip Amin Abdullah, bahwa “the real history of men is the history of religion”. Berawal dari proses pencarian yang sangat panjang, manusia dihadapkan pada suatu tantangan untuk memiliki sistem kepercayaan yang diakui dan diyakini masyarakat secara keseluruhan. Sistem kepercayaan ini, pada gilirannya membawa suatu perubahan berarti bagi perjalan hidup manusia dalam rangka mencari kedamaian hati dan ketentraman jiwa dengan landasan filosofis dan teologis.
Apa yang diyakini oleh manusia, dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Anggapan tersebut, memberikan keyakinan bahwa kepercayaan terhadap sesuatu harus memiliki nilai spritualitas yang tinggi, termasuk memiliki kekuatan supranatunal dan hal-hal ghaib yang tidak tersentuh oleh pancaidra. Sesuatu yang dianggap suci dan sakral oleh manusia, dijadikan sebagai tempat ibadah bagi mereka untuk memohon keselematan hidup di dunia. Berawal dari adanya tempat yang dianggap transendental, manusia memilih jalan hidupnya untuk merenung dan menghayati makna dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Ketika sistem kepercayaan terhadap sesuatu semakin menguat, maka mereka mulai membangun basis teologi, etika, maupun konsep ajaran yang memuat kepercayaan tersebut secara transparan. Dari sinilah muncul suatu keyakinan untuk menjadikan sistem kepercayaan itu menjadi sebuah agama baru bagi mereka. Walaupun, pada dasarnya sistem kepercayaan tersebut tidak berlandaskan pada wahyu Tuhan, maupu kekuatan langit yang mengiringi perjalanan spiritual mereka.
Namun demikian, sistem kepercayaan terhadap sesuatu merupakan landasan spiritualitas yang memperkuat keyakinan seseorang untuk tunduk dan patuh dalam mengikuti segala konsep maupun nilai fiosofis dari kepercayaan tersebut. Kepatuhan manusia pada kepercayaan tertentu, dapat dipahami sebagai bentuk kebaktian dan penyerahan diri secara total kepada Sang Maha yang dianggap suci dan transendence. Melalui bentuk kebaktian ini, manusia mulai menampakkan sikap kearifan terhadap dewa-dewa yang dijadikan Tuhan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Kepercayaan dalam kebaktian dan kepasarahan terhadap sesuatu yang dianggap sakral, pada akhirnya akan memunculkan suatu agama baru (the new religion) yang diyakini kebenarannya. Berangkat dari proses panjang inilah, manusia mengubah dirinya sebagai homo religious yang mampu berpetualangan dengan dialektika keilmuan yang progresif. Maka, setiap kepercayaan tertentu yang mempunyai landasan teologios, historis, psikologis, sosiologis, maupun fenomenologis, disertai keyakinan terhadap spiritual yang tinggi, dapat dikatakan sebagai agama. Di sinilah, pentingnya kita memahami agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang mengacu pada keyakinan terhadap sesuatu yang keramat maupun tempat yang dianggap suci, termasuk agama pagan yang akan menjadi tema sentral dari makalah ini.
Tulisan ini, semata-semata ingin memberikan pemahaman kepada kita semua tentang spirutualitas agama pagan yang jarang sekali muncul dalam konteks keindonesiaan. Di samping itu, saya akan mencoba melakukan suatu analisis sintesis terhadap setting historis, konsep ajaran, teologi, maupun relevansinya dengan faham-faham kepercayaan yang tergolong agama pagan.
Secara sederhana, saya akan menguak sejauhmana progresifitas agama pagan dalam mempengaruhi agama lain, termasuk penganut agama itu sendiri. Hal ini disadari, karena agama pagan memiliki konsep ajaran yang banyak diadopsi oleh agama lain di dunia, termasuk Hindu, Kristen, Budha, dan agama lain, yang turut mewarnai implikasi agama pagan dalam percaturan sejarah ummat manusia. Namun, sebelum melangkah lebih jauh tentang agama pagan, terlebuh dahulu saya akan menganalis klasifikasi agama-agama di dunia, termasuk agama pagan yang merupakan agama nenek moyang ummat manusia di dunia.

Mencari Makna Agama Pagan
Sampai saat ini, titik temu tentang agama pagan masih terus mejadi perdebatan di kalangan tokoh agama. Perdebatan ini, tidak bisa lepas dari kesemrautan agama pagan yang telah masuk kepada agama besar di dunia, termasuk Budha, Hindu, Yahudi, dan lain sebagainya.
Namun demikian, saya tidak ingin memperpanjang perdebatan tersebut dalam satu pembahasan yang sangat singkat. Yang hendak saya perdalam dari pembahasan ini adalah terkait dengan makna substansial agama pagan yang merupakan agama paling primtif di dunia. Terbukti, bangsa yang menganut paganisme lebih banyak mendepankan aspek kekesaran, semisal perang sebagai pekerjaan biasa mereka. Di samping itu, kaum pagan memiliki peradaban yang sangat purba dan jauh dari kemajuan peradaban dunia sekarang ini.
Dalam Kamus Ilmiah Populer, Paganisme adalah kepercayaan kepada berhala, yakni agama pemuja berhala tanpa memiliki pedoman hidup (way of life). Tak heran, kalau istilah paganisme seringkali dikorelasikan dengan kepercayaan kepada benda-benda terntu yang diasumsikan memiliki kekuatan bagi kehidupan mereka. Dari istilahnya, paganisme merupakan faham yang menganut berhala sebagai Tuhan atau benda-benda keramat lainnya yang terkait dengan aspek ajaran di dalamnya.
Di lain pihak, Harun Hadiwijono dalam bukunya “Religi Suku Murba di Indonesia”, memahami bahwa agama pagan dapat dipahami sebagai agama penyembah berhala, yang oleh beliau diistilahkan dengan agama atau religi suku murba, yaitu agama suku bangsa yang walaupun hidup dalam abad sekarang, namun masih memiliki peradaban zaman purbakala, bahkan kehidupan mereka sangat primitif.
Sebagai penyembah berhala, agama pagan tidak bisa lepas dari ritual-ritual keagamaan yang kental dengan aroma sesajen maupun ritual lain yang berhubungan langsung dengan pemujaan terhadap berhala. Pemujaan-pemujaan yang dilakukan oleh bangsa pagan, tidak bisa dilepaskan oleh aspek kepercayaan yang mengakat kuat dari nenek moyang mereka, sehingga hal yang demikian menjadi sebuah keniscayaan bagi penganut agama pagan. Jika tidak dilakukan, berarti ia akan dilaknat oleh Tuhan yang disembah oleh mereka, dan hal ini akam mengancam terhadap keselamatan hidup orang yang tidak melanggar konsep ajaran agama pagan.
Dalam pendapat yang lain, dikatakan bahwa agama pagan adalah penyembah patung, berhala, atau agama pemuja benda-benda, karena pagan berarti patung, berhala, dan benda-benda yang dipertuhankan. Juga dimaksudkan, bahwa agama pagan adalah agama-agama suku, agama daerah, atau agama etnis-primitip.
Sebagai agama primitif, paganisme tidak bisa lepas dari kesan ortodoks maupun konservatif. Ini karena, agama pagan dalam sejarah kehidupan manusia memiliki peradaban hitam (black of civilitizion) yang mencerminkan brutalisme maupun anarkisme. Hal ini disadari, mengingat agama pagan bertautan dengan kebiasaan perang suku-suku yang terdapat di dalamnya, dengan tujuan hanya untuk menebarkan ancaman dan ketakutan terhadap ketengan hidup manusia.
Berangkat dari pemahaman inilah, saya semakin tertarik untuk mempelajari lebih mendalam tentang perjalanan spritual agama pagan dalam mempengaruhi ummat manusia, yang pada saat itu masih terkubur dengan peradaban dunia. Karena sakingnya terkubur oleh peradaban, bangsa-bangsa pagan pada waktu itu terlepas dari aspek moral dan etika dalam menjalani kehidupan dengan landasan keagamaan yang berpijak pada keselamatan hidupan manusia.

Membaca Sekilas Sejarah Agama Pagan
Menarik sekali ketika kita memasuki sekilas tentang sejarah agama pagan. Hal ini, tidak bisa lepas dari aspek humanisasi agama yang berkembang begitu cepat dengan diimbangi oleh perjalanan panjang agama pagan itu sendiri. Harus diakui, bahwa membaca sekilas sejarah agama pagan tidak boleh dilakukan secara sembarangan, mengingat literatur tentang historis agama pagan sangat minim. Secara utuh, ilmuan muslim belum sepenuhnya mampu menyuguhkan suatu analisa mendalam tentang perjalanan panjang agama pagan. Apalagi, hendak mensintesikan agama pagan dengan agama-agama lainnya yang turut berkembang setelah munculnya agama pagan.
Namun demikian, saya akan mencoba menelusuri jejek-jejak, pertumbuhan, dan perkembangan agama pagan dengan landasan historis yang lebih mapan. Di samping itu juga, saya berusaha melakukan konklusi mendasar terkait dengan konse-konsep maupun kepercayaan, ajaran-ajaran agama pagan melalui penelitian kualititatif. Hal ini di lakukan, agar jejek-jejak agama pagan tidak terkubur sia-sia ditimpa dengan progresifitas pemikiran manusia modern yang telah meninggalkan suatu kepercayaan mistis dan ghaib.
Sebelum membaca literatur tentang agama pagan, saya sangat terkejut dengan apa yang dikatakan al-Maqdoosi, dalam ”Living Religion of the world”, bahwa agama pada tingkatan paling awal dari proses evolusinya, adalah paganisme. Saya semakin terheran-heran, ketika dalam cacatan sejarah periode paganisme merupakan tingkatan pertumbuhan kebudayaan manusia yang paling primitif. Walaupun dianggap sebagai agama paling primitif, namun kita patut mengapresiasi secara brilian konsep pemikiran dan kreativitas yang dimiliki bangsa-bangsa pagan.
Di tengah matinya peradaban dunia, bangsa pagan mampu menularkan suatu sistem kepercayaan menjadi sebuah agama yang dianut oleh hampir manusia di benua. Terbukti, dengan semakin banyaknya, manusia yang meyakini hal-hal yang mistis memiliki kekuatan tanpa berpedoman pada konsepsi Tuhan yang benar. Pada akhirnya, walaupun memiliki sistem kepercayaan sendiri, namun agama pagan belum mampu memberikan nuansa sipritual yang transendental dan jauh dari kesan tindakan anarkisme dalam kehidupan manusia.
Terlepas dari proses evolusi munculnya agama pagan, secara terbuka saya masih belum menemukan referensi yang akurat tentang asal usul agama pagan di dunia. Di tengah keterbatas referensi tersebut, saya sedikit menemukan suatu sintesa yang mengatakan bahwa Jauh sebelum datangnya agama Islam, orang-orang Arab Hijaz menganut paganisme (menyembah berhala) yang serupa dengan peradabaan Kana’an purba abad ke-14 SM dengan ilah-ilah (Tuhan) yang mengutamakan perang dan seks. Suku-suku Hijaz mewarisi peradaban paganisme itu dari suku-suku Arab yang bermukim di lembah Edom pada abad ke-10 SM (zaman Daud a.S.).
Dalam konteks ini pula, harus disadari bahwa bangsa Arab sebelum kehadiran Islam memang sangat jauh dari peradaban, bahkan masyarakatnya terlalu primitif untuk ukuran bangsa sebesar Arab. Paganisme serupa juga dianut oleh bangsa-bangsa diseputar mereka, seperti Mesir, Parsi, Babilon, Asyur, Phoenix dsb dengan Dewa-dewa Mendez, Zarathustra, dan Marduk yang kemudian mewaris kepada Yunani dan Romawi dengan Dewa Matahari Tak Tertandingi (sol-invictus) yang kemudian berfusi dengan agama Kristen pada awal abad ke-4 atas prakarsa Constantine The Great dari Romawi. (325 M).
Dari cacatan sejarah ini, dapat kita buktikan bahwa paganisme atau agama pagan adalah faham kepercayaan yang menganggap Tuhan itu seperti manusia, baik bentuk maupun sifatnya. Di lain pihak, agama pagan tumbuh berkembang pada zaman Yunani Kuno, yang memiliki anggapan bahwa dewa mereka seperti halnya manusia. Tak heran, karena memang peradaban dan kebudayaan klasik pusatnya terletak di Yunani sebagai representasi kemunculan suatu teori pengetahuan maupun konsep tentang kepercayaan.
Di negeri inilah, muncul berbagai aliran atau sekte yang mayoritas bangsa mereka menganut paganisme sebagai agama mereka. Mereka meyakini bahwa segala sesuatu memiliki kesaktian dan kekuatan yang besar, di samping juga memiliki roh dan jiwa sebagai salah satu bentuk kepercayaan bangsa Yunani Kuno. Salah satu bentuk kekuatan dalam agama pagan adalah kekuatan dinamisme.
Namun demikian, dibalik peradaban tersebut, Yunani merupakan pusat ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dengan kelahiran para ilmuan-ilmuan ternama yang menjadi rujukan ilmuan masa kini, sebut saja Plato, Aristoteles, Plotinus, maupun ilmuan lain yang berperan besar dalam peradaban Yunani.
Dalam agama Pagan Romawi, disebut Fortuna dan Yupiter. Bahkan di Yunani, China, Jepang, Tibet bisa ditemukan adat pemujaan terhadap dewi Madonna, jauh sebelum Yesus lahir.. Sampai pada abad ke-4 dan ke-5 Masehi, ketika dunia pagan (penyembah banyak dewa), Romawi menerima agama baru yang disebut “Kristen,” dengan membawa adat dan kepercayaan pagan mereka yang lama. Dalam hal ini, Yupiter, raja para dewa Romawi dan tuan dari kehidupan dan kematian (bagi orang-orang Yunani, bapaknya adalah Zeus, disebut-sebut sebagai orang yang memperkenalkan agama pagan sebagai agama baru bagi mereka. Hal ini kita bisa lihat, dari pernyataan Harun Nasution, yang memahami bahwa segala macam aliran kepercayaan, termasuk agama pagan banyak dipengaruhi oleh seorang raja Romawi yang dianggap sebagai dewa matahari (Zeus) yang memiliki kekuatan supranatul cukup tinggi diantara pada dewa yang lain.
Pada masa Romawi Kuno, agama pagan tumbuh dan berkembang pesat sebagai sebuah sistem kepercayaan yang banyak dianut. Tumbuh dan berkembangnya agama pagan dalam peradaban bangsa Romawi, tidak terlepas dari pengaruh Konstantin yang memerintah Romawi pada waktu itu. Dengan segala kemampuannya, ia mampu menjadikan bangsa Romawi, sebagai bangsa yang berpengaruh dalam hal kepercayaan atau pun sekte-sekte yang berkembang.
Namun, setelah beberap abad lamanya, agama pagan tidak terdengar gaungnya. Bahkan, banyak diantara para penganut agama pagan yang beralih pada agama lain, yang dinilai memiliki ajaran lebih mapan ketimbang agama pagan. Terbukti dalam Islam muncul konsep jihad sebagai bentuk perjuangan yang gigih melawan segala tantangan hidup. Hal ini jelas sangat terkait, karena peralihan kepercayaan ini bersumber dari semangat kaum pagan sendiri yang jenuh dengan kepercayaan yang mereka anut sebelumnya. Tak heran, kalau Robert Spencer mengatakan bahwa penyebab utama dari adanya jihad adalah untuk menghapuskan paganisme. Berarti, jihad akan senantiasa berlanjut sampai kapanpun, selagi masih ada orang-orang tidak beriman. Dan kenyataannya, para penganut paganisme tersebut, sejak kemunculannya yang pertama sampai sekarang, masih tersebar luas.
Ketika gaung agama pagan mulai redup, walaupun tidak sampai mengubur agama pagan secara dalam-dalam, maka kelahiran kembali paganisme terlihat jelas dalam Revolusi Prancis, yang diterima secara luas sebagai hasil-akhir politis dari filsafat Pencerahan. Kaum Jacobin, yang memimpin periode “teroris” berdarah dari Revolusi Prancis, dipengaruhi oleh paganisme dan memendam kebencian luar biasa terhadap kaum Kristen. Akibat propaganda intensif para Jacobin selama masa-masa terdahsyat dalam revolusi, tersebar luaslah gerakan “penolakan atas agama Kristen”. Bersamaan pula, berdirilah sebuah “agama akal” baru yang didasarkan pada simbol-simbol pagan, alih-alih pada agama Kristen. Gelagat awalnya terlihat dalam “peribadatan revolusioner” dalam Festival Federasi pada 14 Juli 1790, yang kemudian makin meluas.

Konsep Kepercayaan dan Pemikiran Agama Pagan
Sebelum lebih jauh, membongkar spritualitas paganisme, kita perlu melakukan uji kevalidan terkait dengan periode kepercayaan agama pagan dalam sejarah kehidupan manusia. Ini dilakukan, agar analisa kita tentang konsep ajaran yang dibangun agama pagan tidak berjalan parsial dan stagnan. Namun, diharapkan ada semacam motivasi lebih yang hendak dipelajari untuk memperdalam pemahaman (to deep understand) kita tentang kepercayaan agama pagan.
Secara difinitif, saya akan memaparkan secara mendetail konsep ajaran yang dibangun dalam agama pagan. Hal ini bertujuan, agar kita lebih holistik memahami sejauhmana pengaruh agama pagan terhadap aliran-aliran kepercayaan yang berkembang, termasuk subjek agama itu sendiri. Kita tahu, bahwa, Kepercayaan atau jenis agama ini, memang terdapat di daerah tertentu di hampir seluruh benua ini, baik yang dikenal sebagai agama primitif, agama purbakala, agama suku terasing, agama suku murba, atau agama pagan.
Agama pagan dalam tingkatan ini, dapat kita bandingkan dengan periode kepercayaan atau faith menurut Iqbal (1873-1938). Iqbal membagi periode agama ini menjadi tiga, yaitu, percaya, pemikiran, dan penemuan (faith, thought, discovery). Percaya dalam konsep agama pagan dapat kita pahami sebagai bentuk keyakinan sepenuhnya terhadap apa yang disembah. Sedangkan, pemikiran memuat unsur-unsur pola pikir yang dibangun oleh kaum pagan dalam melaksanakan ajaran kepercayaannya. Demikian, pula dengan penemuan yang merupakan titik sentral dari periode kepercayaan agama pagan, karena memang periode ini, banyak dari kaum pagan (paganis) yang mampu meneliti berbagai disiplin keilmuan, terutama ilmu kealaman dan metafisika. Pada perkembangan selanjutnya, periode kepercayaan sebagai suatu fase, dimana manusia harus menerima ajaran agama dan perintah-perintah tanpa bersyarat dan tanpa pemahaman rasional untuk menemukan makna dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Barisan depan gerakan neo-pagan adalah para pemikir yang dikenal sebagai “humanis”. Di bawah pengaruh sumber-sumber Yunani kuno, mereka mencoba untuk menyebarkan filsafat pagan dari para filsuf seperti Plato dan Aristoteles.
Keyakinan yang mereka sebut sebagai “humanisme” merupakan filsafat menyimpang yang mengingkari keberadaan Tuhan dan pertanggungjawaban manusia terhadap-Nya, dan alih-alih menganggap manusia sebagai makhluk yang agung, superior, dan independen. Pengaruh-pengaruh humanisme menjangkau aspek-aspek yang lebih luas bersama filsafat Pencerahan pada abad ke-17 dan ke-18. Bahkan, pada abad itu, pengaruh paganisme semakin kuat dan bertahan cukup lama.
Oleh karena, secara inklusif saya akan memaparkan beberap konsep ajaran agama pagan yang berkembang pesat pada masa Romawi Kuno. Pertama, bahwa sekte agama pagan menyembah matahari sebagai tuhan mereka dan memilih hari winter solstice (25 Desember) sebagai hari kelahiran tuhan mereka. Tak berlebihan, kalau dikatakan bahwa Tuhan pagan Attis adalah anak dari perawan Nana. Ia adalah "Kristus" dan "putra tunggalnya yang diperanakkan" Darahnya dipercaya dapat memperbaharui kesuburan bumi. Ia adalah sebuah simbol kekekalan. Ia dipercaya mati pada tanggal 24 Maret dan bangkit kembali secara singkat setelah hari kematiannya. Secara lengkap dapat digambarkan bahwa dewa-dewa yang menguasai kekuatan alam adalah langit, matahari, dewa bulan, dewa hujan, dewa angin, dewa perang, dewa kemakmuran, dan lain sebagainya.
Dewa-dewa yang disembah oleh kaum pagan memiliki tempat yang suci. Bahkan, tingginya martabat para dewa perang dalam kepercayaan pagan karena masyarakat ini memandang kekerasan sebagai suatu yang sakral. Orang-orang pagan pada dasarnya biadab dan terus-menerus hidup dalam keadaan perang. Membunuh dan menumpahkan darah atas nama bangsa mereka dianggap sebagai sebuah kewajiban suci. Hampir segala macam kekejaman dan kekerasan dibenarkan dalam paganisme. Tidak ada dasar etika untuk melarang kekerasan atau kekejaman. Bahkan Roma, yang dianggap sebagai negara ‘paling beradab’ di dunia pagan, merupakan tempat di mana manusia dipaksa bertarung hingga mati atau dicabik-cabik oleh binatang buas.
Dengan demikian, agama pagan adalah agama yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsur alam. Diantaranya adalah agama penyembah matahari, bintang, bulan, penyembah api, penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan lain sebagainya. Dan tanpa disadari, doktrin-doktrin agama pagan ini meresap dalam pemahaman umat Islam dalam banyak konsep keimanannya, termasuk keimanan kepada Allah.
Kedua, konsep kedua terkait dengan simbol-simbol yang dilambangkan dengan benda-benda, seperti berhala-salib, maupun simbol yang lain. Di masa Konstantin, seluruh simbol-simbol pagan Romawi Kuno dimasukkan menjadi simbol-simbol kekristenan dan diberi pengertian yang berbeda dari asalnya semula. Padahal, menurut akar sejarahnya, simbol-simbol ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ritus kelompok Kabbalah yang di permukaan dianggap sebagai musuh Vatikan. Selain simbol Dewa Matahari, simbol salib, simbol burung merpati putih, dan nyaris seluruh simbol gereja yang ada sesungguhnya merupakan simbol Paganisme Kabalis.. Kecenderungan-kecenderungan pagan ini terlihat pada diri para revolusioner melalui berbagai simbol. Topi kemerdekaan yang dipakai oleh para garda revolusioner Revolusi Prancis dan seringkali menjadi simbol revolusi, bersumber dari dunia pagan dan penyembahan terhadap Mitra.
Ketiga, konsep trinitas yang mengakar kuat dalam kehidupan kaum pagan. Orang-orang pagan Romawi kuno menyembah Trinitas sebagai konsep kepercayaan yang sangat disucikan. Sebuah wahyu dikatakan telah menyatakan bahwa ada 'Tuhan yang pertama, kemudian Firman, dan dengan mereka ada Roh'. Disini kita melihat dengan jelas menghitung, Tuhan, Logos, dan Roh Kudus atau Hantu Kudus, di Roma kuno, dimana banyak perayaan kuil ibu kota ini - dari Jupiter Capitolinus - yang didedikasikan untuk tiga tuhan, yangmana tiga tuhan dihormati dengan cara disembah secara gabungan.
Trinitas hanyalah prasangka orang-orang yang menyukai paganisme. Seseorang yang tidak pernah belajar tentang konsep Ketuhanan dalam Islam dan tidak pula konsep trinitas dari berbagai agama pagan, tidak akan menemukan konsep trinitas dalam Al-kitab, bahwa “Islam menjamin keselamatan dan jiwa non Muslim dari bangsa dan agama manapun, sekalipun mereka adalah penganut paganisme".
Keempat, salah satu takhayul paganisme yang bertahan, namun baru mulai bangkit kembali di Eropa pada abad ke-18 dan 19, adalah “teori evolusi”, sebuah teori yang berpendapat bahwa semua makhluk hidup menjadi ada di dunia ini sebagai hasil dari kejadian kebetulan semata, dan kemudian berkembang dari satu makhluk ke makhluk lainnya.
Secara faktual, kaum pagan menjawab pertanyaan tentang bagaimana kehidupan muncul di dunia dengan konsep “evolusi”. Gagasan ini pertama kali terlihat dalam prasasti Sumeria kuno, namun kemudian dibentuk lebih lanjut di Yunani kuno. Para filsuf pagan seperti Tales, Anaksimander, dan Empedokles menyatakan bahwa makhluk hidup, dengan kata lain manusia, hewan, dan tumbuhan, membentuk dirinya sendiri dari zat tak bernyawa yakni udara, api dan air. Menurut teori-teori mereka, makhluk hidup pertama muncul secara tiba-tiba di dalam air dan kemudian menyesuaikan diri di darat. Pada akhirnya, dan secara inklusif evolusi menghasilkan beberapa mahluk dengan kemampuan untuk berpikir.
Kelima, kepercayaan pada Ras Unggul merupakan ciri utama paganisme penyembah berhala juga ikut muncul kembali, bagaikan hantu yang bangkit dari dalam kubur. Charles Darwin, memberi sub-judul bukunya “The Origin of Species”, dengan kata-kata sebagai berikut ”survival to the fittest by means of natural selection or preservation of favoured races in struggle for life”, Nietsche menggagas konsep Ubermensch atau Manusia Super yang mirip dengan Konsep Ras Unggul bangsa pagan. Konsep-konsep Pagan gaya baru ini membuahkan hasilnya pada abad ke 20 dalam bentuk Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua.
Konsep ras unggul, dalam peradaban dunia, pada akhirnya membawa suatu malapetaka yang sangat besar, karena konsep ini melahirkan fasisme berlebihan bagi perjalan hidup manusia. Tak berlebihan, kalau Sejarawan Amerika, Gene Edwar, dalam bukunya "Modern Fascism: Liquidating the Judeo-Christian Worldview”, menyimpulkan bahwa fasisme adalah nostalgia dunia modern atas paganisme. Ia adalah sebuah pemberontakan kultural yang canggih melawan Tuhan.
Berangkat dari konsep kepercayaan dan pemikiran agama pagan, maka pada gilirannya muncul suatu kebudayaan yang melekat dalam diri kaum pagan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, budaya pagan mulai redup, akibat terhimpit oleh progresifitas peradaban yang sangat tinggi.
Di samping itu, Kebudayaan pagan fasistik yang menguasai Eropa surut dari panggung seiring berkembangnya agama Kristen pada abad ke-2 dan ke-3 M, pertama di Roma, dan kemudian ke seluruh Eropa. Kepada masyarakat Eropa, agama Kristen membawa ciri-ciri etika mendasar dari agama sejati yang diturunkan kepada umat manusia melalui Nabi Isa. Eropa, yang pernah memandang suci kekerasan, konflik, dan pertumpahan darah, serta terdiri dari berbagai suku, ras dan negara-kota dan senantiasa saling memerangi, kini mulai mengalami perubahan penting.
Pada dasarnya, sebagai budaya pagan, agama dalam periode pra-Kristen adalah politeistik. Orang-orang Eropa meyakini bahwa tuhan-tuhan palsu yang mereka sembah melambangkan berbagai kekuatan atau aspek kehidupan, dan yang terpenting adalah para dewa perang, sangat mirip dengan yang muncul di dalam hampir setiap masyarakat pagan. Dunia pagan memiliki sebuah budaya yang hanya mengutamakan kekuatan kasar. Sebagaimana orang Romawi, suku-suku pagan yang barbar di wilayah utara seperti Vandal, Goth dan Visigoth amat menyukai pertumpahan darah.

Relevansi Paganisme dengan Dinamisme dan Animisme
Diantara kita mungkin hampir tidak tahu, bahwa pada dasarnya dinamisme adalah salah satu golongan paganisme. Hal ini dapat kita ketahui, dari spiritualitas kepercayaan penganut dinamisme yang memuja dan dan mempercayai kekuatan ghaib sebagai sesuatu yang transedental. Dalam artian, pemujaan terhadap sesuatu dan takut kepada hal-hal yang ghaib pada benda-benda tertentu dapat kita bandingkan dengan kepercayaan agama pagan.
Maka, untuk lebih jelasnya, saya akan mengkaji terlebih dahulu secara mendetail aliran dinamisme yang merupakan bagia dari kepercayaan paganisme. Kita tahu, bahwa perkataan dinamisme berasal dari kata Yunani, yaitu dunamos dan dalam bahasa Inggris menjadi dynamis yang umumnya diterjemahkan dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tak heran, jika dalam bukunya, Falsafah Agama, Harun Nasution, memahami bahwa dinamisme merupakan kepercayaan yang tingkat kepercayaan sangat primtif, dimana tingkat kebudayaanya juga sangat rendah, dan tiap-tiap benda yang mengelilinginya memiliki kekuatan batin dan misterius. Dalam artian, bahwa dinamisme sangat mempercayai terhadap benda-benda mati yang memiliki kekuatan dan kesaktian sangat besar bagi kehidupan manusia. Itulah sebabnya, kenapa dinamisme digolongkan dengan paganisme atau agama pagan.
Di lain, pihak konsep yang berkaitan dengan dinamisme, dapat kita ketahui melalui konsep mana, magi, fetish, duku, dan shaman. Konsep-konsep yang demikian, merupakan unsur terpenting dalam aliran kepercayaan dinamisme, dan hal ini berhubungan langsung dengan kepercayaan paganisme yang juga mempercayai bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan.
Pada sisi lain, kita juga mengenal istilah animisme sebagai bagian kecil dari kepercayaan paganisme. Dalam pandangan sejarah agama-agama, aninisme merupakan kepercayaan terhadap adanya mahluk-mahluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan utubuh atau jasad. Mahluk spiritual tadi, merupakan unsur yang kemudian membentuk jiwa dan keperibadian yang tidak lagi dengan satu jasad yang membatasinya.
Berangkat dari pengertian ini, maka saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Tylor, yang mengemukakan bahwa animisme adalah perlambangan dari suatu jiwa atau roh pada beberapa mahluk dan objek bernyawa lainnya. kepercayaan “animis” yang tersebar di masyarakat pagan sebagai sakah satu bukti bahwa ada aliran animisme. Animisme menganggap alam dan binatang berjiwa. Menurut animisme, tidak ada perbedaan antara manusia dan hewan, atau bahkan tumbuhan. Tetapi saat agama mulai tampil ke muka, takhyul ini menghilang, dan masyarakat Eropa menyadari bahwa manusia diberi Tuhan jiwa, dan sangat berbeda dengan binatang, sehingga tidak dapat mengikuti hukum yang sama.
Oleh karena, relevansi paganisme dengan dinamisme maupun animisme adalah sangat kuat, mengingat paganisme juga mencakup berbagai aliran yang dianut oleh keduanya. Sehingga, tidak berlebihan, kalau dinamisme atau animisme adalah termasuk golongan paganisme.
Penutup
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agama pagan adalah agama penyembah berhala, dewa-dewa, dan hal lain berkaitan dengan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan sangat besar bagi kehidupan manusia. Dan konsep kepercayaan paling utama dari ajaran agama pagan adalah berkaitan dengan penyembahan berhala yang banyak dilakukan oleh kaum pagan.

Daftar Bacaan
Abdullah M. Amin Metodologi Studi Agama (dalam kata pengantarnya), terj. Ahmad Norma Permata, Yogyakarat: Pustaka Pelajar, 2000
al-Maqdoosi, Living Religion of the world, Pakistan: Begum Aisha Bawany,1962
Daya, Buurhanuddin, Agama Dialogis; Merenda Dialektia Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004
Daya, Burhanudin, Singkritisme Agama, Yogyakarta: Sekretariat UIN Sunan Kalijaga, 1980
Darajat, Zakiyah Perbandingan Agama 1, Yogyakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam,1993
Durkheim, Emil, The Elementary Form of The Religious Life, London: George Allen &Unwin, 1976
Edward, Gene, Modern Fascism: Liquidating the Judeo-Christian Worldview, New York: Concordia Publishing House, St. Louis, 1993
Honing, Ilmu Agama, Jakarta: BPK, 1996
Hadiwijono, Harun, Religi Suku Murba di Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 1977
Haught, John F., God After Darwin, (Yogyakarta: IKON, 2002
Howard, Michael, The Occult Conspiracy: The Secret History of Mystics, Templars, Masons and Occult Societies, London, Rider & Co Ltd., 1989
Iqbal, Muhammad, The Recontruction or Religious Thought ini Islam, Lahori, Islamabad, 1951
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Partanto Pius A & al-Bary, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka, 1994
Qordhowy, Yusuf, Halal Haram dalam Islam, (Bandung: Jabal, 2007
Robert Spencer, Islam ditelanjangi, akarta: Paramadina, 2004
Tylor, Primitive Culture, New York: Harper Torchbook, 1958

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun