Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Demo, Siapa Musuh Dalam Selimut?

30 Maret 2012   15:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:14 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13331276771728234896

[caption id="attachment_179311" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS)"][/caption] Awal decade 90-an. Sekelompok mahasiswa sedang asyik membuat desain demo anti SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang akan dilangsungkan besok. Lokasinya di sebuah secretariat kelompok diskusi di kawasan Ciputat. Diskusinya alot. Maklum mahasiswa.

Suasana mencekam. Sebentar-sebentar seorang mahasiswa keluar mengelilingi secretariat hawatir tercium pihak keamanan. Maklum zaman orde baru. Semua orang tahu, orde baru sangat nyinyir sama nyanyian sumbang. Sama suara berbeda.

Aku masih ingat. Pertama yang disepakati masalah isu yang mau diangkat. SDSB yang kala itu dimaksudkan untuk mengumpulkan donasi olahraga divonis sama dengan judi oleh ormas keagamaan. Tapi mahasiswa tak mau masuk dalam perdebatan agama. Isu yang kemudian disepakati adalah dampak dari SDSB itu bagi pembelinya yang rata-rata masyarakat bawah.

Terus diskusi makin seru. Setelah isu sudah disepakati, kemudian dilanjutkan dengan mendiskusikan bagaimana strategi demo dan bagi perannya, sejak siapa korlapnya, berapa jumlah mahasiswa yang terlibat aksi, titik mana yang mau jadi sasaran aksi, siapa yang mau megang “halo-halonya”, dan seterusnya.

Terakhir ada perbincangan, berapa dana yang dibutuhkan untuk beli kertas karton yang dijejali tulisan sangar, tuntutan. Atau sekedar membeli permen yang dibagikan bagi demonstran. Setelah jelas budget-nya, spontan mahasiswa merogoh kocek sendiri mengeluarkan uang hasil kiriman wesel orang tua. Krincing…..bunyi uang itu masih terasa di telinga, karena yang melemparnya aku sendiri. Goceng…cukuplah. Berbentuk uang kertas seribuan dan sebagian koin, sisa kembalian makan di warteg.

Besoknya berangkat. Ratusan demontran berpencar-pencar naik bis sendiri-sendiri. Bayar ongkos sendiri. Tiba di depan Kantor Departemen Sosial, dekat Perpustakaan Nasional di Salemba, ketika sudah berkumpul, semua kaget. Pihak keamanan sudah lebih dulu tiba di sana. Lengkap dengan anjing herdernya. Waduh…pasti ada intel yang nguntit nih. peristiwanya sama dengan demo-demo sebelumnya, selalu lebih dulu pihak keamanan yang datang. Pada hal waktu, demo tidak ada ijinnya. Dari mana mereka tahu?

Kadung. Mahasiawa yang jumlahnya hanya ratusan itu membentuk lingkaran. Satu-satu berorasi ke depan. Mengkritik kebijakan SDSB di era Suharto. Aku meski takut untuk orasi, tetapi paling semangat menimpali. “hidup mahasiswa…hidup mahasiswa…” kataku. Hingga tiba saatnya, ketika beberapa polisi melepas anjing herdernya. Sontak aku kabur. Lari paling duluan. Tetapi sial, hampir saja aku terkepung anjing. Menjadi santapan anjing.

Mahasiawa sudah kocar-kacir. Tetapi kemudian berhimpun lagi. Hari beranjak sore. Satu-satu kemudian mahasiswa membubarkan diri. Naik bis sendiri-sendiri. Ongkos sendiri.

Besoknya ketika tiba di kampus, aku tak percaya. Ternyata yang membocorkan rencana demo justru teman sendiri. ia rupanya dijadikan informan oleh intel. Karena ia juga ikut merancang aksi, jadi tahu betul desain demonya. Rupanya informasi itu ia jual sama intel orba. Tahu seperti ini, semua marah. Teman yang jadi informan ini dikeluarkan dengan tidak hormat. Dan beberapa hari kemudian, ia seperti raib. Mungkin karena ia malu, akhrinya mengundurkan diri sebagai mahasiswa.

Beberapa hari kemudian, berita mengejutkan datang lagi. 9 mahasiswa ditangkap karena melakukan demo menentang SDSB yang kali ini diplesetkan menjadi Soeharto Dalang Semua Bencana. Wah aku tak membayangkan bagaimana mahasiswa itu dintrogasi oleh pihak keamanan. Apalagi yang diserang langsung waktu itu justru bos Indonesia, Soeharto. Untung waktu itu aku tidak ikut. Kalau ikut, mungkin aku akan tertangkap juga. Karena dalam soal lari, aku selalu yang paling akhir.

Setelah peristiwa itu aku makin menjadi tahu, ternyata demo ada musuh dalam selimutnya. Justru musuh dalam selimut adalah teman yang sangat aku kenal. Cuman senangnya, demo dulu sangat kuat independensinya. Semua kebutuhan demo didanai secara patungan.

Entahlah sekarang, siapakah musuh dalam selimutnya????

Matorsakalangkong

Sumenep, 30 maret 2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun