Mohon tunggu...
Kamil Alfi Arifin
Kamil Alfi Arifin Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda kampung yang ingin terus belajar dan sekolah setinggi-tingginya, sukses dan bisa berbagi pada sosialnya. Karena hanya mereka yang suka berbagilah yang "kaya". Lahir di Madura, pernah nyantri di Al-Amien, sekarang hijrah dan kuliah di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mempuasakan Kekuasaan Politik di Madura

10 Agustus 2012   06:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:59 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1344607861299034060

Kamil Alfi Arifin* Umat Islam di seluruh Indonesia tengah melaksanakan ibadah tahunan yang mewah yaitu Ramadhan. Dikatakan mewah karena di dalamnya banyak sekali privilage berupa janji pahala dan kemaafan illahi. Ramadhan pun selalu disambut dengan hati gembira. Tak terkecuali oleh masyarakat di Madura yang notabennya sering dianggap sebagai masyarakat religius. Tapi di hari yang ke dua puluh satu berpuasa, kita mesti bertanya, sejauh mana hakekat puasa telah menginspirasi dan meninggalkan bekas pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Madura? Kita menjadi penting untuk bertanya bukan karena momen hari proklamasi yang sebentar lagi akan tiba, tetapi juga karena puasa tidak dapat diartikan sebagai ibadah ritual an-sich melainkan ibadah yang memberikan tekanan pada sosialnya. Hakekat Ramadhan adalah meraih takwa. Takwa merupakan konsep teologis terpenting di dalam Islam, dan diharapkan menjadi dasar dari semua sikap hidup manusia. Konsep takwa secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah sikap penuh waspada dan takut semata-mata kepada Allah yang maha mengawasi. Pengawasan ini kiranya bisa diandaikan dengan lampu sorot di penjara yang selalu menjaga para narapidana di dalamnya. Pengawasan ini adalah sebuah "kekuasaan", karena dalam keyakinan seorang muslim hanya tuhan yang maha berkuasa dan menguasai segala sesuatu. Sebagai kekuasaan, meminjam istilah Michel Foucault, seorang filsuf Perancis, saat merumuskan teori kekuasaannya, maka pengawasan sebagai pengandaian teologis dari takwa barangkali tidak berlebihan bila disamakan dengan apa yang disebut Foucault sebagai panopticon. Meski dilema dan resiko teoritis dari penyamaan serampangan ini tetap ada bahkan terlalu besar. Karena konsep kekuasaan yang ditulis Foucault dianggap selalu mendatangkan perlawanan terhadap kekuasaan itu. Hal ini berbeda dengan konsep kekuasaan mutlak tuhan di dalam Islam yang selalu mengandaikan ketundukan yang total (total surrendering). Tapi dalam hal kekuasaan sebagai pengawasan, konsep Foucault bisa digunakan, tidak lebih hanya sebagai sebuah pemisalan. Karena terus merasa diawasi oleh tuhan, maka sikap-sikap hidup keseharian seorang muslim selalu diorientasikan hanya karena tuhan dan demi mendapat ridha-Nya. Dalam Islam, masyarakat dan peradaban terbaik adalah masyarakat yang maju dan diridhai tuhan. Tapi bagaimana potret konkretisasi takwa pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Madura, yang hari ini masih sedang melaksanakan ibadah puasa untuk meraih takwa. Ramadhan di Madura Secara syariat, barangkali pelaksanaan Ramadhan sama di berbagai tempat. Tapi sebagai ritual yang terjadi di ruang-ruang sosio-kebudayaan yang tidak seragam, tentu praktek pelaksanaan dan penyambutan Ramadhan di berbagai tempat tidak sama dan memiliki kekhasan masing-masing karena pengaruh dari kebudayaan yang berbeda tadi. Andre' Moller, seorang peneliti muslim dari Swedia, pernah melakukan sebuah penelitian entografis tentang Ramadhan di Jawa. Dia menunjukkan beberapa praktik khas di Jawa dalam kaitannya dengan Ramadhan, seperti nyekar, menyulut mercon, kegiatan sya'banan dan persiapan-persiapan yang "sok islami dadakan" terlebih yang dilakukan media massa di tanah air, yang barangkali susah ditemui di negerinya. Ini menjadi bukti bahwa setiap masyarakat berbeda pengekspresian dalam memahami dan menyambut Ramadhan. Memang Madura masih bagian dari Jawa. Meski Madura memiliki beberapa kekhasan lokalnya yang tidak sepenuhnya sama dengan Jawa. Dari segi bahasa keseharian misalnya, masyarakat Madura berbeda dengan masyarakat di Jawa. Yang menarik, dalam konteks Ramadhan, ia selalu datang bertepatan dengan musim tembakau, musim terik dimana masyarakat Madura bergiat dan bekerja lebih keras di ladang-ladang atau sawah-sawah mereka dibanding bulan-bulan lainnya yang hanya bercocok tanam tanaman-tanaman lainnya yang bisa dianggap tidak terlalu memeras tenaga dibanding menanam tembakau. Selain itu, fenomena sosial dan budaya politik yang menjadi pembeda di Madura dengan daerah-daerah di luar Madura adalah masih dianggapnya kiai sebagai figur sentral yang dijadikan sepenuhnya tempat bergantung masyarakat dalam membantu penyelesaian persoalan-persoalan hidupnya. Ini berbeda dengan di tempat lain, dimana peran dan fungsi kiai sudah mengalamai pergeseran dan tidak lagi dijadikan tempat bergantung sepenuhnya oleh masyarakat. Dalam ranah politik lokal di Madura, hal ini ditandai dengan banyaknya kiai dan tokoh agama yang menempati posisi penting di jajaran pemerintahan daerah. Kiai sebagai orang yang idealnya lebih bijaksana dibanding masyarakat kebanyakan dan melihat perannya sebagai social engineer dari lapisan utama dalam struktur masyarakat Madura, seharusnya, ini menjadi keutamaan dan keunggulan tersendiri yang diharapkan semakin menjadikan Ramadhan memberikan inspirasi perbaikan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Madura. Ramadhan yang Terluka Tapi barangkali puasa Ramadhan hanya ideal di aras konseptualnya. Pada praktiknya, puasa Ramadhan dan banyaknya kiai di jajaran pemerintahan daerah tidak memberikan arti dan makna yang cukup berarti pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Madura. Kondisi ekonomi yang tidak sehat dan populernya hasrat konsumerisme dan korupsi mengakibatkan masyarakat terus melakukan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan yang tidak etis dan islami. Penjualan "kursi" pegawai negeri menjadi lumrah di Madura. Orang-orang yang ingin menjadi pegawai negeri diwajibkan menyediakan uang sebesar puluhan juta rupiah bahkan lebih. LSM-LSM dan wartawan-wartawan lokal menjadi terlalu genit dan mata duitan, suka mencari masalah lembaga-lembaga pemerintahan daerah hanya untuk mengeruk uang, bukan karena motivasi ideal perannya sebagai lembaga pendamping masyarakat dan lembaga the fourth estate yang berkewajiban menjaga checks and balances. Bahkan lebih mirisnya, menjadi wartawan saja sekarang harus bayar. Kartu pers dijual belikan. Padahal kita tahu, Kota Pamekasan, misalnya, salah satu kabupaten di Madura merupakan kota yang mengawali pilot project penerapan syariat Islam di Madura. Tapi sayang, syariat Islam hanya dipahami secara formal dari kulit luarnya saja: berhenti pada penekanan soal atribut-atribut islami. Kiai yang terjun ke politik dan menduduki kekuasaan politik pun kebanyakan tidak menampilkan dirinya sebagai public figure yang seharusnya memberikan teladan dan mengajarkan kepantasan. Melainkan selalu terjebak ke dalam perilaku-perilaku yang tidak etis dan melukai kepantasan publik sehingga terkesan menggunakan kekuasaan untuk memenuhi hasrat pribadinya. Rasan-rasan ketidakharmonisan kehidupan keluarga salah seorang bupati di Madura lantaran menikahi gadis muda, misalnya, menunjukkan minimnya sikap hidup kezuhudan dan pengabdian para pemimpin di Madura yang notabennya para kiai. Kita sadar, kekuasaan masih membutakan di Madura. Kita perlu "mempuasakan dan meramadhankan" kekuasaan politik di Madura dengan tetap mengontrolnya. Kita merindukan sebuah pengontrolan yang dilakukan di atas niat yang benar dan kesadaran akan nasib demokrasi, bukan pengontrolan pragmatis yang menukar sikap kritis dengan uang. Karena dalam sejarahnya, kekuasaan politik dan birokrasi yang cenderung korup selalu bergandengan mesra dengan kekuasaan ekonomi yang juga cenderung korup. Dengan mempuasakan dan meramadhankan kekuasaan politik di Madura kita berharap kekuasaan politik di Madura benar-benar disinari oleh semangat takwa. Takwa adalah semangat ketundukan total yang lahir dari kekuasaan absolut tuhan yang tidak mengundang perlawanan karena kekuasaan tuhan tidak pernah korup! * Mahasiswa Alumni Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Santri Alumni Ponpes Al-Amien Prenduan Madura, kini bergiat di komunitas Pelangi Bangsa.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun