Mohon tunggu...
Indra Irawan
Indra Irawan Mohon Tunggu...

saya dilahirkan untuk belajar, terutama seni. seni bagaimana hidup, berteman, menyelesaikan masalah dan seni menemukan kebahagiaan sejati. gile masbro, :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pencarian Senyum

9 Maret 2012   17:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:17 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pencarian Senyum
Senyum Hilang di Search Engine

(sebuah fenomena senyum ayah yang hilang delapan hari lalu, senyumku yang hilang di search engine, dan senyum ibu yang menghilanng di Dubai, entah kapan…)

Hari ini hari senin, tujuh mei tahun dua ribu lima.

Kau yang telah terenggut senyumnya oleh angin. Sebuah angin yang berhembus entah darimana dan akan kemana. Kini telingaku yang tersibak desir angin bertambah tak mengerti dengan senyumnya. Aku adalah Fajrin Al-ghifari, tiga belas tahun, kelas enam Sekolah Dasar, yang telah bersiap meminta buku prediksi Ujian Nasional ajaran tahun dua ribu lima, akan tetapi kau hiraukan. Dan mungkin, apa seperti ini kau akan mengerti?

"FAS? Apa ya? Mmm…, ooo Festival Anak Shaleh" gumamku seraya membaca deretan kata yang tertera di dada komputer, saat kubuka situs di sebuah Browser Internet Explorer yang tak sengaja kucari saat aku pergi mengunjungi rumah Rani. Dia teman perempuanku sekelas di sekolah Sekolah Dasar Negeri Satu Jayamulya, yang letak ekonominya lumayan tinggi daripada aku yang jelasnya andapun telah tahu, buku prediksi Ujian Nasional saja aku tak diberi, karena dompet ayah yang terus-terusan mengering, tipis di parut bos, bos kontrakan rumah.

Ya, aku mengontrak sebuah rumah yang berukuran enam kali lima meter yang cukup untuk aku dan ayah. Di rumah tak ada ibu, adik atau kakak, karena ibu meraih prestasi di luar negri yang membuat kami bangga kadang juga bersedih, Tenaga Kerja Wanita Indonesia. Ya itulah prestasinya di luar negri, di Dubai. Dibawah naungan gedung-gedung tinggi. Ya, hanya di gedung-gedung tinggi itu, yang tepatnya di sebuah rumah mewah beberapa kilometer dari gedung tinggi Dubai. Tentang adik atau kakak? Aku tak punya, mereka tak hadir di sampingku, atau belum? Tapi anehny a, orang tuaku sudah berkepala enam, entahlah.

Masih tentang Festival Anak Shaleh, yaitu sebuah perlombaan yang menjadi solusiku untuk mencuri senyum ayah yang di bawa angin.

"yaach!" aku tercengang saat tulisan di monitor komputer itu hilang.

"mamaah! kok listriknya mati sih!" Rani berteriak saat gamenya mendadak mati.

***

Matahari menukik ke sebelah barat di tendang sang langit dan menyemburkan cahaya merah kuning keemasannya yang terus menjilat tubuh ini. Aku terus berjalan diantara pohon-pohon yang lumayan besar di jalan menuju rumah.

"mungkin jam lima sore" gumamku dalam hati saat kulihat gelayutan awan yang mulai meredam dan matahari tenggelam hebat, bulat kebarat. Aku tergesa-gesa, suasana terasa saat jeritan serangga hutan yang ramai kudengar. Aku berlari dan berlari.

Ya, itu rumahku. Aku bisa menemukannya dengan cepat, atap dengan pelupuk aren, dan anyaman bilik dari bambu tua dari belakang rumah, yang benar-benar terlihat keasliannya. Ini rumahku yang penuh dengan bayangan-bayangan rindunya daun-daun kecil ataupun besar. Ini keluarga ku yang sepi, sunyi, bisa kau sebut aneh. Lihat saja cerita ini.

***

Saat malam akan datang.

"bolehkan yah.. kalau Fajrin ikut lomba? Fajrin kepengen punya prestasi. Setiap hari senin, teman-teman Fajrin bawa piala dan menyerahkannya ke sekolah di depan seluruh teman-teman" rayuku pada ayah dengan sedikit manja. Tetapi ayah yang gelagap aneh tak menjawabku.

"ayaah?" sahutku lagi.

"diam! Bisanya mengganggu saja!" ayah menyentak dan aku tertunduk. Tak lama saat isak tangisku terdengar olehnya, ia baru menyadari, ia mengelus kepalaku dan kepalanya mengangguk-angguk dengan senyumnya yang dalam, seraya memberiku izin atas apa yang disebutkanku tadi. Akupun tersenyum ria.

Layar monitor, lampu kamar, lampu depan seketika padam. "huhh!" ayah menghembuskan napas kesalnya, disambung badan yang dirembahkan di kursi yang telah lama didudukinya, tangannya melepas tetikus yang telah beberapa ratus kali ia pijit agar level game-nya bertambah tinggi. Aku terkejut, menyambar kursi dan berlindung di badan ayah.

"Fajrin!" ayah menyentak saat aku mengejutkannya. Ternyata akhir-akhir ini listrik sering dipadamkan oleh PLN, saling bergiliran dari desa ke desa.

Ayah meninggalkan kursi tanpa kata-kata, aku menggantikan ayah sebagai pemain game yang handal, di atas kursi. Tetapi aku hanya duduk, diam, sunyi, seluruh ruangan gelap, kecuali diluar yang terlihat dari celah-celah tembok bambu yang dianyam. Semburat cahaya seketika bersinar datang dari kamar tidur, disambung wajah ayah yang dingin. Di cucurkannya air lilin yang panas diatas meja dekat komputer, ditancapkannya, dan di lepaskannya.

Adzan berkumandang dari kamar tidur. Aku sempat terkejut saat itu. "listrik kan mati?" gumam hatiku. "ooo…" akupun ingat dan mengerti “itu hanya alarm HP ayah”.

Pintu belakang dari dapur terbuka. Cahaya datang menyinari ruang dapur yang gelap, ayah keluar, dan aku mengerti ia akan mengambil air wudhu.

Sungguh sunyi, sunyi, akhir akhir ini, kira-kira sudah satu pekan. Hari ini hari senin, senyum ayah hilang dari senin pagi pekan lalu. Tepatnya pukul tujuh tiga puluh, saat aku pergi ke sekolah, saat aku belajar Bahasa Indonesia pada jam pelajaran pertama, yang  bisanya ayah mengirim pesan "fajrin, bagaimana belajar bahasa Indonesianya? belajar yang rajin ya…" ayah sering memperhatikanku dalam pelajaran Bahasa Indonesia, entah mengapa. Akan tetapi, saat itu tak ada pesan satupun, pesan masuk dari ayah. Kecuali teman-temanku, juga ibu, tak ada lagi kabar dari luar negeri sana. Aku sedih.

kreeett..! pintu terbuka, aku terkejut, dan lilin telah meleleh cepat seperempat dihadapanku, ayah masuk dengan tangan baju terlipat, berair, pipi dan dagunya bercucuran titik air. Adzan telah berakhir, ayah berdaham, menghilangkan serak di tenggorokannya yang lama tak dipakai. Digelarnya sajadah panjang di sampingku menuju Qiblat.

"sudah maghrib" ayah berkata, mengingatkanku, akupun mengerti. Segera kuambil air wudhu di luar, di belakang ruang dapur, dibantu dengan katrol bertali panjang, dan kutumpahkan kedalam bak berukuran  satu kali setengah meter. Diluar malam tidak begitu gelap, tak segelap dalam rumah. Karena bulan tampak hadir malam itu.

Aku kembali, mendekati cahaya, kulihat ayah belum bergerak, menungguku. Akupun mengerti kami haruslah Shalat berjamaah. Bergegas kuambil sajadah kecil pemberian ibu tahun lalu. Walaupun warnanya telah kusam, tapi itu tetap sajadah. Kugelar di samping kanan ayah, lebih menyamakan garis lurus ujung sajadah. Aku berdiri diatasnya, tak lama "alloohu akbar!" ayah bertakbir dan akupun mengikutinya, aku sempat terkejut, biasanya ayah berkata dahulu sebelum ia memulai shalatnya. Tapi saat itu tidak.

Malam masih dengan kegelapannya yang sekarang tak disekat oleh cahaya, cahaya lampu. Aku merasakan kegelapan menyatukan aku dengan suasana yang bersatu dengan malam, suasana berbeda. Memang suasana malam itu lebih terasa selain malam biasa, dengan senyum ayah yang hilang.

***

Batang lilin sekarang telah memendek, badannya terbakar api, hingga keringat terus meleleh hingga kakinya terendam olehnya. Shalat maghrib telah selesai, ayah berdo'a akupun berdo'a. "ya Allah, ya Tuahnku, ini hambaMu yang tak bisa lagi mencari tempat berpinta selain kepada diriMu ya Allah. Ya Allah, ya Tuhanku, berikanlah kekuatan kepada ibu, kesabaran dan kebahagiaan, ya Allah, jauhkanlah bahaya darinya ya Allah, aamin" kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Dan aku segera melipat rapi kembali sajadahku. Akan tetapi, ayah belum juga selesai, ia masih berdo'a, hatiku luluh melihatnya, berdo'a dengan sangat husyuk akhir-akhir ini, hingga isak tangis ayah terdengar dan akupun ikut bersedih.

"astaghfirullooh! alhamdullilla…h" gumam ayah. Semburat cahaya menyilaukan mata, cahaya menyelimuti aku dan ayah. Aku merasakan hangatnya cahaya itu, setelah lamanya kegelapan menyelimuti kami. Lampupun hidup kembali. Ayahpun berdiri, bergegas melipat sajadah, dan ditiupnya lilin yang berdiri seperempat lagi diatas meja. Seketika, setelah ditiupnya lilin, aku lihat pandangannya tertatap terus pada asap kecil yang kabur diatas lilin. Ayah terdiam, aku mengheran, ayah terlihat ingat tentang suatu hal, mukanya sedih, sedih karena melihat lilin yang mati? Karena tidak berapi lagi? Aku tak tahu.

Aku tetap heran melihat ayah, ayah masih seperti heran terhadap benda mati itu. Seketika kami dikagetkan oleh kilat yang disusul gelegar guntur yang tak lama di sususl hujan yang mengerontang, mematok-matok genting rumah kami, dan seketika menderas. Ayah bergegas menyimpan sajadah dilemari kamar tidur. Dan pergi kedapur, entah apa yang ia kerjakan. Aku pergi ke kamar tidur, mengambil tas sekolahku yang diam dekat sajadah ayah. Akupun mengeluarkan Iqro, buku pembelajaranku bila malam tiba. Guruku ayahku, seperti itulah.

Dialah guru malam, yang telah melewati beratus-ratus malam hingga aku bisa membaca deret-deret huruf arab. Dan ibu juga sangat bangga saat aku membaca deretan kata dalam koran yang dibawa oleh ibu, asli dari dubai.

Aku duduk di atas lantai bambu, yang telah digelarkan ayah selembar tikar, aku siap menunggu ayah.

Ayahpun datang, aku buka Iqro itu, dan ayah mulai duduk, akhir-akhir ini ayah hanya meninjau saja bacaan Iqro yang saya baca meski aku telah mencapai Iqro keenam, ayah lebih teliti mendengar. Hujan di luar masih belum mereda, lantunan ayat-ayat Qur’an yang dilantunanku bersahutan dengan suara derasnya air hujan.

“bagus!, lanjutkan” sekatnya, aku terdiam dan meneruskan bacaan, ayahpun pergi ke dapur.

bismillaahirrohmaanirrohiim, wadhuhaa, wallaili idza sajaa,…” hingga surat demi surat terus berganti.

Bacaanku terus beralun seperti yang telah dikatakan ayah, diluar hujan seolah-olah tidak terdengar derasnya, saat kunikmati deret ayat-ayat itu. Yang terdengar hanyalah suara lantunan ayat-ayat itu yang menyelimuti rumah, terus beralun dan beralun.

Kulihat ayahpun datang, menyandang dua mangkok di telapak tangannya dan diletakkannya dekatku, dan aku tak tahu apa itu, karena pandanganku pada Iqro yang sedanga kubaca. Tak lama kembali lagi ayah ke dapur, dibawanya lagi sesuatu dan diletakkannya di dekat dua mangkok tadi, seketika tercium wangi, membuat isi perutku berdemonstrasi.

Ayahpun duduk dialaskan tikar, diambilnya satu mangkok putih.

shodaqowloohull’adziim” aku akhiri bacaan Iqro, kusimpan Iqro itu di atas meja dekat komputer, kompter ibu, karena ibu yang membelinya. Rasanya aku tidak asing lagi makan seperti ini, mie yang telah di rebus yang akan di campur dengan nasi putih. Setiap malam. Tapi, tetap saat itu menggugah selera, karena saat siang aku tidak makan. Hanya Mie yang di seduh, dengan nasi putih yang di nanak tadi sore.

Makanpun selesai, diluar hujan reda dengan perlahan, semakin lama semakin sepi. Tiba-tiba adzan berkumandang dari HP saku baju koko ayah. Dan ayah membereskan mangkok dan semua yang ada dihadapannya, aku ikut membantu. Ayah ke dapur, pun aku. Akupun mengganti pakaian, dilengkapi sarung, peci dan baju koko, pun ayah. Selayaknya kami akan pergi ke surau untuk shalat. Kami mengambil air wudhu dari sumur yang di bantu katrol bertali, yang akan ditumpahkannya air kedalam bak berukuran satu kali setengah meter. Ayah mengunci pintu rumah, kami meninggalkannya. Kami pergi ke surau kecil mendirikan shalat isya, akhir shalat, ayah berdo’a, pun aku. Ayah menangis, tapi aku tidak.

***

Malampun semakin larut, aku tidur, pun ayah, dan malam menyelimuti kami, tapi tidak saat gelap digantikan oleh terang.

Hari ini hari selasa, seperti biasa, pulang sekolah aku selalu diajak Rani main dirumahnya, padahal ibunya memerintahkannya agar aku belajar bersama. Entahlah, seorang Rani yang punya banyak nilai merahnya itu tak bisa diajak kompromi. Kini, aku bermain lagi, berselancar di dunia maya. Dan aku teringat lomba itu, FAS, akupun membuka situs di browser internet explorer, dan kuketik diadress name-nya “LL..OOMMBA” mulutku berucap, seketika telah tertera di history search engine,banyak pilihan menggantung ke bawah, dan kupilih, “klik” deretan bacaan yang tak asing itu muncul lagi. Akan tetapi aku masih penasaran, Festival Anak Shaleh? Seperti itulah, aku hanya memperhatikan lomba Qiroatul Qur’annya saja, aku tertarik, sangat, aku ingin, tekadku bulat dan akhirnya aku print out. Dan…

“ayah!, assalaamualaikuum” teriakku dari luar, ayahpun menjawab. Dibukanya pintu, menyambut kepulanganku dari sekolah. Kubuka sepatu dan menyimpannya di rak, di balik pintu.  Akupun mencium pundak tangan ayah.

“yah, Fajrin boleh ikutan lomba gak?” ujarku.

“lomba apa?” tanya ayah. Kuambil lembaran kertas dalam tas dengan terburu-buru, dan memberikannya pada ayah tanpa kata-kata. Aku lihat ayah mengerti, kulihat kepalanya yang mengangguk-angguk. Iapun tersenyum bertanda menyetujuinya. Akan tetapi, “jangan!” ayah melarangku, aku tercengang dan beberapa jam aku bersedih. Ayah tidak berkata-kata lagi.

***

Aku masih bersedih, berdiam diri. Seketika aku melihat ayah memakai baju barunya datang dari balik kamar tidur, wajahnya menyeramkan, aku tak tatap wajahnya, aku takut. Sore hari, saat matahari akan tenggelam, aku masih menyepi. Kulihat sepucuk surat, seperti surat dinas. Akupun buka dengan rasa kepenasaranku. Akupun membukanya, aku tercengang, rasa sedih hatiku memudar, senyumku mengembang. Sehelai kertas formulir pendaftaran yang berharga, Formulir Lomba Qiroatul Qur’an FAS. Setelah mengisi formulir dengan teliti, ayahpun mengirimkannya lewat kantor pos. dan…

“pemenang pertama lomba Qiroatul Qur’an  diraih oleh, Fajrin Al-ghifari dari Sekolah Dasar Negeri Satu Jayamulya, dengan nilai delapan ratus dua puluh lima” MC acara lomba berteriak. Aku yang duduk di samping ayah, seakan-akan tidak percaya, ribuan tepuk tangan dan sorak sorai bersahutan, akan tetapi ayah hanya diam, hanya senyum, itupun sedikit. Ayahpun melirikku, menyuruhku ke dapan, mengambil piala penghargaan.

***

Hari ini hari minggu, ada yang lebih, dalam perasaanku, aku senang, aku merasa bangga, aku bangga pada ayah, dan aku ingin mengabarkan kemenangan ini kepada ibu di Dubai. Pagi minggu ini akupun telah siap menempuh hidup, kamar tidur telah aku dan ayah rapikan, di ruang tamu sekaligus ruang makan dan belajar mengaji ada yang berkilau. Sebuah piala bernama Juara 1 Qiro’ Qur’an tingkat SD se-Jawa Barat, berdiri tegak  didekat komputer. Ya, agar ayah selalu tersenyum saat ayah main gameataupun berselancar di dunia maya. Piala itu akan memikat pandanganku, juga ayah.

Aku terus memandang piala, hingga pandanganku beralih pada komputer yang masih hidup, aku akan mengabarkannya pada ibu. Aku duduk didepan komputer, layarpun terbuka, saat tetikus tersenggol oleh tangan. Terpampang wajah ibu, aku dan ayah, wallpaper di layar monitor. “aku rindu ibu” gumamku dalam hati. Akupun memegang tetikus dan diarahkan pada start dan menuju internet explorer, sedikit menunggu dan halaman utamapun telah terpangpang, akupun mengetik dalamadress bar-nya, yang kutuju sebuah e-mail kepada ibu.

Huruf pertama adalah huruf W untuk agar bisa membuka e-mail. Tapi, huruf W telah mewakili banyak nama-nama di searh engine. Aku terkejut, berapa kali ayah berselancar di internet? Aku tak tahu, entah berapa ratus kali. Kubaca deretan judul yang menggantung begitu banyak, pandanganku seketika terhenti, saat ku baca “Wanita Dubai” tulisan itu menyentakku untuk membukanya, tak pikir jauh, akupun memilihnya.

sedikit menunggu, layar itupun penuh dengan bacaan berwarna biru, akupun terkejut saat membaca sebuah judul web di monitor. Akupun membukanya karena tulisannya “tenaga kerja wanita dubai dari indonesia” sedikit menunggu, layarpun dipenuhi bacaan dan gambar, paling atas tertera rubrik bernama Internasional, akupun tahu, ternyata dalam sebuah rubrik koran Kompas. Akupun semakin penasaran dan segera melihat bagian bawah bacaan, dan aku tercengang, hatiku sakit seperti di tusuk ribuan jarum, air mataku meleleh pelan, tak lama bergulir deras, akupun merintih sakit dalam hati, badanku bergetar saat ku lihat foto ibu terdiam, tanpa gayanya yang khas, berdiam dengan darah di kepalanya dan kubaca sebuah keterangan di bawah foto ibu “seorang TKW asal Indonesia meninggal dunia karena dianiaya majikannya di Dubai. Dubai, sabtu 30 april 2005”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun