Mohon tunggu...
Haniffa Iffa
Haniffa Iffa Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan Editor

"Mimpi adalah sebuah keyakinan kepada Tuhanmu, jika kau mempunyai keyakinan yang baik kepada Tuhanmu, maka kau akan bertemu dengan mimpimu." #Haniffa Iffa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Cerita di Kota Batavia

20 November 2019   00:47 Diperbarui: 20 November 2019   10:00 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: menjelmarindu.blogspot.com

Semula, aku berusaha untuk pura-pura tidak melihatnya, pura-pura tidak peduli dengannya, namun ternyata hati dan pikiranku tetap saja tertuju padanya. Sebelumnya, masih ku lihat dia tidak jauh dariku, namun kemana dia sekarang? Ku tengok ke kanan dan ke kiri sembari mencarinya. Lalu mataku tiba-tiba tertuju padanya yang berada di tepi selokan yang sedang diperbaiki. 

Lalu tiba-tiba aku lari kepadanya, mengangkat, lalu menggendong. Syukurlah kau tak apa-apa nak, batinku dalam hati. Terbayang bukan dalamnya selokan untuk anak usia 2 tahun yang baru belajar berjalan, sementara di sekelilingnya terdapat banyak material yang bisa saja membuatnya terjatuh. 

Andai anak itu tadi jatuh di dalam selokan, aku pasti tidak akan memaafkan diriku sendiri karena telah membuat orang tuanya lalai karena melayaniku membeli sebungkus makanan. Iya, saat itu cukup antri, karenanya aku menunggu cukup lama. Ahh, betapa tidak mudahnya hidup di ibu kota. Setelah ku gendong, tiba-tiba ibunya berseru padaku,
"Awas neng bajunya, tadi Azka ngompol," kata ibunya kepadaku.
"Ndak apa-apa ibu, nanti saya bisa ganti baju," jawabku.
Lalu beliau pun segera menuntaskan pesanan makanan satu per satu.

Saat itu aku bergumam dalam hati, "andai saja tidak ku angkat bocah kecil tadi, entah bagaimana caraku mengobati rasa bersalahku kepada diriku sendiri karena tidak peduli dengan orang lain."

Beruntungnya, Azka tidak rewel dan nangis ketika aku menggendongnya. Dia malah menatapku sambil tertawa. Bisa membayangkan bukan betapa gemasnya melihat bayi tertawa. Ahh lucunya. Tak masalah bajuku sedikit basah karena ompolnya, yang penting dia baik-baik saja, pikirku saat itu.

Kota Jakarta, yang dulunya mempunyai nama Batavia telah menjadi tempat perantauan bagi mereka yang ingin mengantongi pundi-pundi rupiah lebih banyak. Jakarta adalah kota untuk berjuang untuk masa depan, namun jika ingin hidup bahagia, ku rasa di sini bukanlah tempat yang tepat. Apalagi sekarang semakin padat, udara juga penuh dengan polusi, serta kriminalitas semakin menjadi-jadi. Ahh, Jakarta.

Perihal pundi-pundi rupiah, tiba-tiba aku teringat akan seorang bapak tuna netra yang berjualan kerupuk di dekat rumah sakit kampus, kakek tua yang berjualan bola dan abu gosok yang setiap hari berkeliling, serta anak-anak yang ngamen di jalanan, bahkan terkadang menggunakan ondel-ondel. Suatu malam, aku melihat ondel-ondel itu berhenti. Lalu aku bertanya-tanya mengapa berhenti di pinggir jalan. Ku perhatikan dalam-dalam, ahh ternyata mereka tengah makan, satu bungkus dibagi bertiga, entah apa lauknya aku tak mungkin mendekati mereka. Ahh, ibu kota, kejamnya kau ini.

Jika sudah demikian, lantas aku bertanya-tanya dalam hatiku. Di mana letak kesejahteraan masyarakat yang dijanjikan pemerintah? Ahh sudahlah, mungkin aku tak terlalu mengerti perihal kebijakan atau apapun. Tapi Tuhan, melihat mereka menyuap nasi dengan lahapnya, dengan satu bungkus dibagi bertiga, adakah mereka telah hidup dengan sejahtera?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun