Mohon tunggu...
Suyatno Suyatno
Suyatno Suyatno Mohon Tunggu... -

Dosen Universitas Negeri Surabaya untuk Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Telah menulis 12 buku sastra dan pendidikan sampai 2012. Aktif di Gerakan Pramuka Kwarda Jawa Timur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jokowi, Pidato, dan Poskolonialisme

13 November 2014   15:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:54 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jokowi adalah kita. Kita adalah Jokowi. Jokowi dan kita apa adanya. Lugas bertutur. Kesamaan dengan bangsa lain dipajangkan sebagai keharusan. Itulah seharusnya Indonesia. Indonesia itu Jokowi dan kita. Jokowi dan kita itu Indonesia.

Pidato adalah suara dan warna. Suara dan warna khas Indonesia telah dipertontonkan oleh pemegang simbol Indonesia, yakni Jokowi. Sebelum Jokowi, suara dan warna Indonesia disampaikan secara khas oleh Bung Karno, Suharto, Habibie, Megawati, Gus Dur, dan SBY. Sekarang, suara dan warna Indonesia diukir kekhasannya oleh seorang Jokowi. Pidato Jokowi sangat khas mewakili keterbukaan, apa adanya, lugas, dan tanpa basa-basi kita. Jadi, pidato Jokowi sangat tepat menjadi media pembelajaran bagi anak negeri agar tidak takut berbahasa karena takut salah, takut tidak sama dengan pemakai asli, dan takut diejek. Berbahasalah dengan spontan seperti yang menjadi pikiran sendiri yang akan disampaikan. Dalam pidato, bukan bahasa saja yang menentukan. Aspek lain yang menentukan adalah suasana, kinestetik, latar belakang, dan keinginan pendengar. Semua itu menjadi satu.

Penyakit bangsa bekas dijajah adalah mental terjajah. Penyakit itu dikupas tuntas dalam poskolonialisme. Rata-rata bangsa di bawah kolonialisme mengalami mimikri, merasa subaltern, berasa hibriditas, dan kekaguman semu. Indonesia harus keluar dari penyakit negeri bekas jajahan. Mimikri itu peniruan aspek apa saja yang dilakukan tuan Ndoro penjajahnya. Jika tidak meniru, batin dan raganya terasa sakit karena merasa tidak sejajar. Subaltern itu merasa menjadi bagian pelengkap dari yang utama. Seolah-olah kita menjadi pelengkap dari negara penjajah saja tanpa pernah sejajar dan utama. Hibriditas itu sikap merasa kecil terus menerus. Lalu, kekaguman semu merupakan mental merasa kagum terus pada bangsa yang nomor wahid karena dirinya sudah terlanjur menghayati bangsa yang sedang berkembang terus.

Nah, Jokowi tampaknya mencoba untuk melesat dari kungkungan poskolonialisme. Indonesia itu sejajar dengan bangsa lain. Ditunjukkanlah oleh Jokowi simbol batik, pidato gaya orang Jawa, lugas bertutur, santun dengan senyum khas, dan terlihat bangga atas negeri sendiri. Perilaku itu seharusnya juga menular pada kita. Kita yang Indonesia ini.

Penyakit poskolonialisme memang masih bergelayut dalam diri kita. Jika pidato, banyak pejabat yang sok ke-inggris-inggrisan karena takut dicap kuno jika berbahasa Indonesia dengan tepat. Takut itulah penyakit mimikri dan sifat subaltern. Anak-anak muda sangat suka mengecat rambut agar sama dengan orang bule. Anak muda seperti itulah yang disebut sebagai mimikri atau bunglon.

Jokowi, pidato, dan poskolonialisme memberikan inspirasi tersendiri bagi pelepasan mental terjajah. Kebanggan berbangsa dan bernegara perlu terus digalakkan dengan jiwa besar. Hanya cara itulah yang dapat mengangkat bangsa ini merdeka jiwa dan raganya.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun