Mohon tunggu...
Diana Manzila
Diana Manzila Mohon Tunggu... -

Ibu Rumahtangga, tenaga Buruh di Penerbit Intrans Publishing

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tayangan “Khazanah” Kian Tak Tentu Arah

25 April 2013   07:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:38 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Dewasa ini, tulisan, tayangan televisi menjadi bahasa yang krusial yang mampu membawa pikiran sanga receptor untuk memiliki asumsi-asumsi yang sengaja dibentuk oleh sang pemilik media. Terlebih, masyarakat yang kian menggemari sesuatu yang instan dalam hal apapun, makanan, minuman hingga tayangan-tayangan yang disajikan programer-programer bayaran, tanpa mencerna yang ditonton benar atau salah.

Salah satu tayangan televisi yang belakangan muncul “Khazanah” dengan minimnya references atau malah sengaja membuat asumsi-asumsi keliru tanpa tela’ah buku dari berbagai sisi membuat jengah para sejarawan seperti Agus Sunyoto*.

Ialah tayangan “Khazanah” yang sangat erat kaitannya dengan literasi Islam, karena klise-klise yang dihadirkan selalu terbungkus rapi dengan penyajian yang seakan-akan Islami. Tepatnya, program satu ini, memaparkan sejarah-sejarah islam dalam perjalanannya serta berbagai hukum-hukum syar’i yang bertujuan dakwah.

Sekilas, penonton akan berdecak kagum dan menyimak dengan cermat, suara yang narator yang terlihat fasih berbahasa arab, dengan dukungan gambar yang melatarbelakangi unsur-unsur cerita yang di paparkan.

Namun sampai pada beberapa penayangan, salah satunya terkait tema simbol BULAN dan BINTANG, sang asal suara mulai becerita jika dua simbol yang kerap dipakai umat islam sejatinya gambaran dewa dari romawi.

Jelasnya, dia menengaskan, BULAN dan BINTANG itu awalnya digunakan oleh khilafah Turki Usmani, yakni pada masa Sultan Muhammad II ketika menaklukkan Konstantinopel. Prosesi penaklukan Konstantinopel itulah, muslim Turki melihat lambang Dwa dan Dewi Byzantium kuno, yakni Apollo dan Artemis. Kemudian, lambang BULAN dan BINTANG dari agama kuno tersebut yang dijadikan simbol kebesaran Turki Usmani oleh Sultan Muhammad II yang ahirnya digunakan sebagai simbol Islam.

Tidak cukup disitu, tayangan itu juga menyebutkan, pemakaian lambang BULAN dan BINTANG yang digunakan sebagian ummat Islam tidak lain meniru jejak bangsa jahiliyah yakni Romawi yang tidak ada kaitannya dengan Islam yang berarti pemakaiannya keliru karena tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah. Demikian tayangan Khazanah tersebut menyebutkan, penayangan program historis yang menyulut beberapa sejarawan dan arkeolog ikut berkomentar.

Historis Bulan dan Bintang

Pertanyaannya sekarang, benarkah BULAN dan BINTANG memiliki ari yang sempit seperti yang sudah disebutkan? Mungkinkah sang penakluk macam Muhammad al-Fatih (Sultan Mahmed II) hanya berartar melihat simbol romawi saat itu lantas menirukannya untuk dijadikan bendera Islam?

Fakta sejarah menyebutkan, mata uang  era  Arab Sassanians di bawah Umar bin Ubaydillah bin Mi’mar yang menjadi Gubernur Fars, tahun 686 M, yaitu 54 tahun setelah Rasulullah Saw wafat, sudah mencantumkan lambang BULAN SABIT dan BINTANG, mata uang zaman Umayyah, tahun 760 M sudah menggunakan lambang bergambar BULAN dan BINTANG, mata uang perak setengah dirham pada masa Sulayman menjadi gubernur Tabaristan di bawah Khilafah Abbasiyah tahun 784 M juga menggunakan lambang BULAN SABIT dan BINTANG, perhiasan-perhiasan kalung pada era kekuasaan Fatimiyyah di Mesir, abad 11, sudah  menggunakan lambang BULAN SABIT dan BINTANG. Simbol keduanya sudah digunakan orang-orang muslim pada zamannya, bukan terpengaruh kepercayaan paganisme (Agus Sunyoto:)

Alasan yang paling mendasar kilah sang narator tayangan “Khazanah” ialah massa Nabi tidak pernah memperkenalkan simbol-simbol tersebut. Menurut pemandu lagi, bendera yang digunakan Rasul hanya berwarnakan hitam, putih dan hijau. Beberapa lambang yang disebutkan berulang menunjukkan sesuatu yang jauh dari Islam itu sendiri, karena tidak ada lafad yang mengidentikkan cirikhas Islam yakni huruf-huruf Arab.

Maka pertanyaannya lagi, apakah huruf-huruf arab merupakan sesuatu yang pmerepresentasika Islami?

Inilah yang menjadi catatan bagi para penggemar televisi untuk terus mengkritisi, tayangan-tayangan yang sejatinya ingin menggiring para penonton untuk suatu paham tertentu, yang mensponsori program tersebut dibelakangnya.

Jika BULAN dan BINTANG seperti yang disebutkan, maka idak menutup kemungkinan lambang-lambang seperti yang dikenakan PBB, Muhammadiyah dengan lambang yang mirip dengan SURYA MAJAPAHIT dinilai tidak islami. Lantaran SUR MAJAPAHIT sendiri dianggap terpengaruh Dewa Surya, atau bahkan bisa dianggap terpengaruh paganism Hindu-Buddha Majapahit.

Dan bahkan, Nhadhatul Ulama’ (NU) bisa juga dianggap terpengaruh paganisme Hindu-Budha atau mungkin lebih dari itu, yakni aliran Bhairawa-tantra pemuja Dewi Bumi.

Agus Sunyoto dalam kajian rutin menjelaskan jika anggapan demikian adalah argumentasi tanpa dasar, pasalnya, seperti yang telah disinggung di atas, sejak dulu orang-orang muslim sudah memakainya.

Pegejawantahan BULAN dan BINTANG adalah suatu bentuk dari makhluk dzat yang Esa, “Keduanya yidak bisa dihubungkan dengan dewa-dewa lain” jelasnya selasa, (16/04).

Tayangan-tayangan ini jelas membawa maksud sponsor-sponsor yang berada dibelakangnya, yakni keyakinan wahabi yang dengan mudah melabeli kelompok-kelompok lain kafir dan lain sebagainya.

Perihal, beberapa simbol-simbol islami sebagai mana yang dituturkan dan diannjurkan program “Khazanah” seperti lafad “Laailaha Illa Allah, Muhammad Rosul allah” adallah pengalihan saja.

Jika ditelisik lebih dalam, meski Islam lahir di Arab,lafad-lafad Arab berikut atributnya tidak bisa semerta-merta dikaitkan dengan Islam. Keran sebelum Islam hadir huruf-huruf iitu sedah ada, bahkan umat-umat kristiani yang berdomisili di arab juga memakai huruf-huruf arab dan bahkan jubah ataupun gamis.

Untuk itu, pengkotak-kotakan akan pemaknaan Islam akan membuat umat Islamdan kaum abangan yang minim sejarah akan kebingungan. Tayangan-tayangan semacam ini patut ditela’ah kembali dan enjadi refleksi bersama.

*Aktivis PMII Rayon Perjuangan Ibnu Aqil, Komisaria Suan Ampel Malang, Santri Pesanrtren Global

*Pengasuh Pesantren Global, Budayawan Malang, Pengurus Lesbumi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun