Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Petani Tak Muda Lagi

8 Mei 2019   08:19 Diperbarui: 8 Mei 2019   08:35 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.suluhtani.com 

Krisis pangan dalam jangka panjang yang dapat dialami Indonesia juga dapat dilihat dari skor indeks ketahanan pangan Indonesia (Food Security Index) tahun 2018. 

Meskipun skor indeks ketahanan pangan Indonesia mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya, yakni naik 1,6 poin ke level 54,8. Namun skor ketahanan pangan Indonesia masih kalah dibanding dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Bahkan ketahanan pangan Indonesia di bawah Vietnam. 

Posisi Indonesia hanya berada di urutan ke-5 di ASEAN. Indonesia hanya lebih unggul dari Filipina, Myanmar, Kamboja, dan Laos. Sementara di tingkat global Indonesia berada di posisi ke-65 di bawah Maroko dan Ekuador.

Prediksi krisis juga dapat dilihat dari angka produktivitas padi nasional. Data outlook Padi 2016 Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produktivitas padi Indonesia 2010-2014 hanya mencapai 5,7 ton per hektare (Ha). Angka ini berada dibawah produktivitas padi Vietnam. Produktivitas padi Vietnam sebesar 6,67 ton/Ha. Walaupun lahan pertanian padi di Vietnam tidak sebesar Indonesia, namun produktivitasnya jauh lebih tinggi. Disinilah titik persoalannya yakni lumpuhnya regenerasi petani yang dialami oleh Indonesia berpengaruh besar pada produktivitas dan ketahanan pangan nasional, yang kemungkinan besar dapat menciptakan krisis pangan dalam jangka panjang.

Kondisi ini bukan hanya berbahaya bagi ketahanan pangan nasional. World Economic Forum (WEF) mengungkapkan bahwa sektor pertanian bukan hanya sebagai penyedia bahan pangan semata, namun penyedia 40 persen lapangan pekerjaan, penyangga kelestarian lingkungan dan sumber pendapatan rakyat kecil. Di Indonesia, sektor pertanian penyumbang sekitar 14 persen GDP. Maka dapat disimpulkan lumpuhnya sektor pertanian dapat meningkatkan angka kemiskinan, maraknya urbanisasi hingga memperlebar jurang ketimpangan dan kerusakan lingkungan.

Membidik Akar Persoalan: Krisis Regenerasi Sebagai Dampak?

Kurangnya minat generasi muda terhadap sektor pertanian bukan tanpa sebab. Konstruksi sosial dan streotip petani di mata generasi muda yang selama ini tertanam membuat pemuda enggan menjadi petani. Profesi petani seringkali mendapat stigma buruk yang dianggap dekat dengan "kemiskinan", "kotor", "tidak menjanjikan", atau "tidak menjamin masa depan". Namun konstruksi dan stigma semacam ini tak muncul begitu saja. Ia muncul akibat dari kesejahteraan petani yang kian merosot bahkan banyak petani yang hidup dibawah garis kemiskinan. 

Data Kementerian Pertanian menyebutkan dari total penduduk miskin yang ada pada tahun 2017, sebanyak 58,47 persen diantaranya adalah rumah tangga pertanian. Bahkan menurut catatan Serikat Petani Indonesia (SPI) pendapatan petani rata-rata per hari hanyalah sekitar 5000 rupiah. 

Artinya, konstruksi dan stigma buruk yang menimpa petani akibat dari kesejahteraan petani yang memprihatinkan, yang tak bisa dilepaskan dari persoalan struktural yang hingga saat ini menghantui sektor pertanian kita.

Pertama, adanya kartel dan tengkulak. Kartel adalah usaha melakukan konspirasi dalam rangka mendapatkan keuntungan maksimal (maximum profit). Yang dimainkan para pelaku kartel ialah harga, output, pembagian wilayah, pembatasan produksi, hingga pembatasan input. 

Biasanya kartel bermain pada komoditas yang bersifat inelastis dimana permintaan cenderung stabil dan meningkat, terutama tanaman pangan seperti beras, garam, gula dan kebutuhan pokok lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun