Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dari Hitler, Trump, Hingga Khilafah

28 Juli 2017   08:36 Diperbarui: 28 Juli 2017   10:17 2394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://www.nytsyn.com/cartoons/cartoons/858618.html

Lebih jauh, Vedi R. Hadiz[2] menjelaskan munculnya gerakan islam radikal memiliki anatomi sosial akibat kondisi ekonomi-politik tertentu, yakni petani atau kelas pekerja yang miskin karena tergerus oleh proses industrialisasi, kelas menengah yang terdidik tetapi tak memiliki pekerjaan, dan pengusaha kecil yang modalnya kalah kompetitif oleh hasil oligarki antara negara orde baru dan pasar. Mereka yang termarjinalkan ini akhirnya melahirkan kekecewaan yang bersinergi dengan basis sosial mereka sebagai seorang muslim, sehingga melahirkan gagasan untuk merebut peran negara "populisme" dengan basis "ketakwaan".

Namun terlalu naf jika mengatakan bahwa meluasnya gerakan islam radikal hanya semata-mata akibat kondisi sosial yang menjerat mereka. Gerakan ini semakin meluas akibat adanya "ketegangan struktural", yakni terpecahnya kelompok elit, yang menciptakan adanya ketegangan diantara kelompok elit itu sendiri baik yang disebabkan oleh konflik politik maupun persaingan bisnis. Sehingga menciptakan "opisisi" yang gencar mencari dukungan dari berbagai elemen masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap lawan politik mereka.

Dari sinilah kemudian terjalin hubungan "simbiosis mutualisme", dimana elit oposisi membutuhkan instrumen dan gerakan massa untuk mengganggu kekuasaan lawan politik mereka. Sedangkan "gerakan islam politik" membutuhkan ruang dan sphere of influence yang semakin luas. Situasi inilah yang kemudian memberikan struktur kesempatan politik bagi gerakan islam politik untuk melakukan mobilisasi massa dan memperluas pengaruhnya diberbagai ruang publik.

Fenomena terpecahnya kelompok elit ini sejalan dengan berubahnya struktur politik Indonesia, yakni dari "oligarki sultanik" yang ditandai dengan rezim otoritarianisme orde baru, menjadi "oligarki liar" yang seringkali orang menyebutnya sebagai rezim transisi demokrasi, yang menciptakan "fragmentasi kekuatan politik", fragmentasi elit dimana diantara penguasa oligarki itu sendiri saling berseteru, bersaing dan berebut kekuasaan untuk mempertahankan dan akumulasi kekayaan mereka.

Tanpa terbentuknnya koalisi strategis bersama penguasa oligarki yang sedang berseteru, gerakan islam politik itu sendiri akan berhenti sebagai gerakan moral bukan sebagai gerakan politik yang mampu melakukan mobilisasi massa secara massif dan memberi arti penting dalam konstelasi politik nasional. Untuk itu, sangat diragukan apabila gerakan islam politik mampu merebut kekuasaan akan benar-benar menerapkan "syariat islam" sebagai pedoman perilakunya. Pasalnya, dalam sejarah pun munculnya gerakan Islam sebagai kekuatan politik adalah transformasi dari kekuatan ekonomi saudagar muslim yang ditujukan untuk melawan hegemoni kekuatan ekonomi Cina dan kolonial di pasar lokal.

Ia diawali oleh inisiatif pedagang-pedagang muslim untuk melindungi kepentingan dagang mereka dari ekspansi pedagang Cina dan bisnis kolonial yang membuat mereka sadar bahwa untuk mengalahkan lawan bisnis harus dengan persatuan, yang kemudian terbentuklah "Sarekat Islam". Maka besar kemungkinan menjadi lanyaknya seperti Hitlet dan Trump, dimana ujaran kebesaran, kedidayaan, dan keindahan di sebuah masa hanya ilusi dan demogogi semata.

---
[1] "Menuju Indonesia Yang Lebih Setara": Laporan Ketimpangan, Infid-Oxfam  2017
[2] Hadiz, Vedi R. (2010). 'Political  Islam in Post-Authoritarian Indonesia.' CRISE, Working Paper, Vol. 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun