Ada pemandangan unik, saat memasuki ruangan kantor tempat saya bekerja pagi itu. Hampir seluruh karyawati di dalam ruangan itu memilah baju yang digelar temannya, menutupi akses lorong menuju meja saya bak pasar kaget saja. Sebal bercampur tawa menumpuk dalam kepala saya.
Hari itu, Selasa (2/5) pagi, mereka melakukan transaksi jual beli baju daster, dan batik wanita. Baru kali pertama ada pergelaran pakaian, sebelumnya banyak yang berdagang makanan, seperti kopi, kue, nasi bakar, nasi kuning dan masih banyak lagi. Keuntungannya memang cukup lumayan, karena barang yang ditawarkan itu berkualitas dengan harga yang standar.
Seperti tidak ada rasa bersalah, si pedagang yang adalah karyawati perusahaan di kantor kami mondar mandir menajajakan barang dagangannya agar banyak yang mau membeli. Pembeli yang juga temannya, itu membeli dengan selera mereka masing masing, dan uniknya pakaian pakaian itu habis dalam waktu sekejap.
Dalam hati saya berpikir ini ironis, ketika seseorang yang bekerja di perusahan berskala nasional harus berani berbisnis dengan memanfaatkan kantor tempat mereka bekerja. Apakah gaji yang diterima kurang mencukupi atau sekedar menjalankan hobi agar bisa tancap gas? dan cepat kaya? Meninggalkan gengsi dan bertarung untuk mendapatkan nafkah itu memang tidak salah.
Banyak orang yang berprinsip, selagi masih bisa dilakukan untuk mendapatkan keuntungan mengapa tidak? tetapi menurut saya sebuah bisnis harus dilakukan dengan praktik praktik yang baik alias tidak curang atau mengganggu kenyamanan orang lain. Bukannya sirik, hanya sebatas saran saja jika ingin berdagang harus disesuaikan dengan tempat dan waktunya.
Jika kegiatan sampingan itu mengganggu pekerjaan dan tugas pokok diri sendiri maka kemungkinan besar akan mengganggu kenyamanan orang lain juga. Masih banyak tempat usaha yang bisa dipakai atau dikontrak untuk menggelar dagagangan dengan bebas. Konsumen tidak hanya ada di kantor tempat kita bekerja, tetapi dimana saja asalkan kita pandai menjalankan bisnis itu.Â