Mohon tunggu...
Asnelly Daulay
Asnelly Daulay Mohon Tunggu... -

timbang dan rasakan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dajjal Itu (Mungkin) Diri Kita Sendiri

18 Januari 2015   23:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:51 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Cerita tentang Dajjal menarik karena kemisteriusan yang menyelimutinya. Tokoh ini diilustrasikan bermuka buruk, perangai amat jahat dan punya misi tunggal; menyesatkan sebanyak mungkin umat manusia, ditengari telah lahir dan kini gencar mencari pengikut. Kehadirannya seringkali dikait-kaitkan dengan kerusuhan di suatu wilayah, dan secara bersamaan akan lahir seorang Imam Mahdi yang akan menghadang pengaruh jahatnya tersebut.

Siapa Dajjal dan siapa Imam Mahdi itu? Wallahualam. Saya pun tidak akan bicara banyak tentang sosok Dajjal yang itu. Saya lebih tertarik mencermati kemungkinan sifat Dajjal itu sebenarnya ada dalam diri kita sendiri, namun tak menyadarinya.

Mencurigai diri atau masyarakat kita sendiri sebagai Dajjal, bukan pikiran asal-asalan. Indikasinya ada, yaitu sikap tidak toleran yang semakin tumbuh subur di tengah masyarakat terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan politik, agama atau cara memahami ajaran agama. Mudah sekali menemukan aksi bully terhadap satu kelompok di Facebook atau media sosial lainnya. Kolom komen yang disediakan oleh media portal misalnya, memuat banyak sekali ungkapan negatif dan kasar kepada pihak lain, bahkan seringkali tidak nyambung dengan artikel di atasnya. Berita tentang seorang artis yang pindah agama misalnya, segera diikuti oleh komen sadis yang tidak hanya ditujukan kepada si artis  tapi juga kepada nabi-nabi yang membawa ajaran agama tersebut.

Saling hina yang dahsat juga dilemparkan oleh dua kelompok pendukung capres pada pemilu lalu. Kelompok pengikut capres yang satu menuding kelompok capres lain sebagai tidak agamis, islam liberal dan korup sementara kelompok yang dituding melempar stigma bahwa lawannya tidak nasionalis, konservatif dan ingin menyingkirkan kelompok minoritas yang ada di tanah air.

Saling tuding tersebut tidak cukup secara tulisan. Propaganda untuk menyudutkan kelompok lain juga dilakukàn melalui foto (seringkali croppingan dan ditambah narasi yang menjustifikasi tudingan tersebut) serta video. Jumlah kali share dan jempol menandai bahwa propaganda bermuatan konflik itu sangat dinikmati oleh masyarakat kita.

Hal-hal disebut di atas hanya sedikit dari banyak indikasi tentang sikap intoleransi yang tengah tumbuh subur di Indonesia. Jika ditelusuri lagi maka akan ketahuan bertambàh banyak yang secara diam-diam mengidolakan ISIS dan atau Boko Haram serta menganggap milisi bersenjata itu sebagai pasukan ALLAH untuk menghadang Dajjal yang telah turun ke bumi.

Melihat semangat kalangan masyarakat untuk memasuki dunia konflik tersebut, muncul tanya apakah masyarakat kita telah siap mental menghadapi huru hara jika pecah perang agama atau politik di negara ini. Berkaca kepada negara lain yang kini tengah rusuh, fakta-fakta mengerikan ini jangan dilewatkan. Konflik politik dan agama di Suriah telah menelan korban jiwa 162 ribu orang. PBB bahkan berhenti mencatàt penambahan jumlah korbàn jiwa sejak angkanya mencapài 100 ribu jiwa (m.tempo.co, 19 Mei 2014), mungkin karena kewalàhan/kekurangan sumberdaya manusia dan alat serta lebih memfokuskan tindakan pada penangan korban hidup dan para pengungsi. Kerusuhan politik di Mesir berakibat melayangnya 1400 nyawa yang sebagian besar berada di pihak Presiden Mursi yang dilengserkan militer (m.republika.co.id, 8 November 2014). ISIS sendiri diduga telah menebas belasan ribu kepala, demikian juga kelompok militan Boko Haram di Nigeria.

Kondisi cukup stabil di negara kita terbantu oleh dukungan tokoh agama moderat yang jumlahnya masih banyak. Pengaruh tokoh Islam dari kalangan NU dan Muhammadiyah masih cukup kuat untuk mengingatkan umat Islam agar tak berpikiran sempit. Harapan yang sama tentu ditujukan kepada pemuka agama lain untuk mengeliminir paham ekstrim di tengah umatnya.

Juga, meski ekonomi Indonesia belum stabil, masyarakat tidak mengalami antri membeli sembako atau BBM karena pemerintah masih cukup kuat untuk menjamin ketersediaannya. Coba bayangkan jika masyarakat harus hidup di tengah kondisi kekurangan begitu. Kenaikan harga listrik, BBM atau bahan pangan saja sudah memicu kekecewaan dan demonstrasi, apalagi jika barang-barang tersebut tidak ada di pasaran.

Namun jika kekuatan para tokoh agama dan pemerintah melemah, sementara semangat berkonflik masyarakat makin kuat, kondisinya bisa jadi lain. Para Bunda harus bersiap hidup dalam terror, rumah digedor dan diringsek untuk menjemput paksa anak atau suami yang terlibat gerakan tertentu yang dianggap musuh oleh pihak lain (jadi ingat film G30S PKI nih!). Banyak keluarga akan kelaparan akibat distribusi makanan tergangggu, sebab politisasi bahan pangan merupakan cara yang paling cepat untuk menaklukkan pihak lawan di wilayah-wilayah yang berkonflik.

Setelah lama hidup tenang dan berkecukupan, kerusuhan dan ketiadaan bahan pangan pasti akan terasa sangat menyengsarakan. Itukah yang kita pancing dengan komen-komen negatif, kasar dan sadis tersebut? Jangan-jangan memang benar bahwa sifat Dajjal tersebut sejatinya tengah tumbuh dalam diri sendiri.

Sekedar mengingatkan, Indonesia ini bukan milik generasi yang hidup sekarang saja. Generasi masa depan juga berhak memilikinya. Maka wariskanlah Indonesia yang damai kepada mereka. Berdiskusi sehat tanpa kata-kata kasar itu yang baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun