Mohon tunggu...
Anton Punkq
Anton Punkq Mohon Tunggu... -

translator, peminat buku, dan suka menulis, tinggal di Priyang Tangsel...saat ini bekerja di PT. IISA VISIWASKITA BSD City Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat yang Bicara dan Berpikir Melalui Paradigma Kebisuan

29 Desember 2014   16:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:15 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Menanggulangi Arus Besar Radikalitas dan Hiperprovokasi ala Posmodern dengan Kewaskitaan yang bersumber dari Kecerdasan Jamak - Psikologi Politik & Budaya untuk Kebhinekaan )

Walaupun tulisan ini masih berupa runutan gagasan pokok yang rencananya akan penulis lengkapi dengan berbagai penambahan dan perbaikan referensi (tanda ref di belakang kalimat merupakan penunjuk perlunya referensi lebih lanjut), tapi penulis kira cukup memadai untuk menjelaskan lebih lanjut isi tulisan terakhir yang berjudul “ Nietszche is dead! Saat Dunia Kebisuan Menghadang Refleksi Eksistensial-nya. “

Paradigma kebisuan yang saya maksudkan berarti pergeseran titik fokus perhatian dalam wacana perkembangan manusia dari yang berfokus pada kancah (arena) kebahasaan (oral, verbal) dan atau pemikiran (kognitif) menuju (wacana) keberfokusan pada kancah (arena) fase perkembangan modalitas sebelumperkembangan kedua modalitas tersebut, seperti modalitas kinestetik, pendengaran (audio) dan penglihatan (visual).Dengan demikian, kata "kebisuan" di sini selain memiliki arti harafiah umum yaitu tanpa melalui pengungkapan secara verbal,juga mengandung makna yang lebih luas yaitu kebisuan dalam menanggapi atau mewacanakan ketiga modalitas (pra-modalitas padu kebahasaan dan atau pemikiran).

Ketiga modalitas tersebut merupakan batu-bata fondasi bagi keutuhan kemanusiaan kita. Tanpa fondasi yang kokoh,maka penguasaan kedua modalitas padu itu hanya akan memperparah keterbelahan manusia (ref). Lebih jelasnya, pengabaian pada ketiga modalitas tersebut mungkin dapat digambarkan seperti irama musik yang kehilangan tema dan didengar tanpa antisipasian. Musik seindah apapun jadi terkesan tanpa roh atau nyawa, sebaliknya dengan musik yang bertema kuat, selemah apapun keartistikan musik tersebut akan dapat menggerakkan jiwa-jiwa pendengarnya. Biasanya, tema yang kuat akan mendorong terciptanya keindahan tertentu dari musiknya.Freud menjelaskan bahwa represi adalah kegagalan untuk menerjemahkan pelbagai mnemic systems menjadi bentuk atau notasi. (1,h.73).Keterdekatan saya dengan tema relijius Kristiani, mendorong saya untuk menduga-duga bahwa ketiga modalitas manusiawi itu adalah batu bata yang kita sisihkan, yang ternyata merupakan faktor pendasaran utama bagi realisasi utuh bangunan jiwa manusia.

Hal ini, setidaknya menurut saya pribadi, berlaku pula untuk wahyu. Wahyu baru akan bermakna, ketika si aktor penanggap itu sudah digenapi sebagai manusia yang berketuhanan (atau menjadi anak-anak-Nya).Dan menurut pemahamanku, Perjanjian Baru itu lebih menitik-beratkan kebertanggapan (penggenapan)-nya atas Perjanjian Lama bukan pada aspek kewahyuan-Nya, melainkanlebih pada aspek sang aktor (manusia) penanggapnya (Aku tak merubah atau menambahkan setitik pun pada yang telah tertulis dalam Perjanjian Lama...). Baru padaPerjanjian baru-lah, tanggapan manusia (aktor) yang telah menjiwai (memiliki spirit) kebertuhanannya (para aktor yang telah menjadi anak-anak-Nya) tergenapi (Aku dalam Tuhan dan Tuhan dalam aku...). Karena alasan inilah, Yesus tidak menanggapi kesesatan pikir manusia yang masih terpatok pada cara berpikir Perjanjian Lama dan menganggap-Nya sebagai raja pembebas (logika kuasa) saat Ia menapaki jalan salib kebisuan-Nya (anti tesis harapan manusia Perjanjian Lama). Untuk mensiarkan ajaran-Nya, Ia bahkan masih perlu membekali murid-murid utamanya dengan berbagai berkat Roh Kudus (dengan kata lain "spirit ketuhanan" alih-alih peneguhan wahyu kebahasaan) (dalam Kisah Para rasul), dan memilih penerus utama-Nya (Rasul Petrus) untuk menjaga dan membimbing domba-domba-Nya. Mengapa domba? Karena manusia seutuhnya yang tidak terjebak dalam logika atau kemuliaan kuasa itu rentan untuk menjadi korban sembelihan (memikul salib) yang disponsori/diprovokasi oleh manusia pemuja logika kuasa, dan bahasa adalah salah satu modalitas yang rentan untuk terseret pada alur keterbelahan/logika kuasa).Dengan demikian, dari awal kelahiran-Nya di kandang domba, Yesus telah menubuatkan sendiri jalan salib-Nya.Haleluyah! (Ref)

Sejauh yang saya pahami, ilmu psikologi khususnya, dan sains/filosofi sosial pada umumnya, kurang (bila bahkan dapat dikatakan tak pernah) mewacanakan tentang konstruksian dan tanggapan (respon) manusia pada ketiga modalitas tersebut.Informasi mengenai ketiganya lebih banyak diperoleh dari sumber-sumber kearifan peradaban kuno (yang sebagian besar terpinggirkan oleh arus deras visi modernisasi).Dominasi modalitas kebahasaan dan pemikiran dalam filsafat modern semakin meminggirkan atau bahkan menghapus arti penting dari ketiga modalitas tersebut. Psikologi,karena keterkaitan erat dan keterkungkungan-nya dengan sains,lebih banyak menitik beratkan pada penelitian tentang perkembangan modalitas oral dan kognitif. Dalam psikoanalisa dan psikosemiotika mulai terdeteksi gejala dan dampak keterjebakan ini dalam bentuk dinamika ketaksadaran tak beraturan (psikonalisa Freud) dan dalam bentuk ketaksadaran versi kebahasaan (Lacan) (Ref 1). Simbol-simbol kebahasaan yang dianggap muwakil keberhasratan manusiawi itu kian diteknikalisasi dan disimulasikan secara virtual sehingga keberjarakan manusia dengan dunia riil-nya kian dalam (intens) dan luas (ekstensif) serentak kian "lembut" (tak terasa).Illusi kebesaran dan kearogansian serta keberunggulan kognitif dan atau kebahasaan kian mewabah dan mengancam kesatuan umat manusia (Ref).

Agama-agama besar yang mengklaim sebagai agama wahyu universal,mungkin karena keterkungkungannya dalam ranah bahasa (atau gagasan/pemikiran) dan konsep ketunggalan, serta lebih mengandalkan dan menyandarkan klaimnya dengan "habit," hati, dan iman komunitas pada laku keteladanan idealnya (dimana sosok ideal itu di era globalisasi informasi ini kian terkikis dan tak terdukung), tanpa pernah menyentuh apalagi berupaya memahami dan mengontruksi serta menanggapi keberhasratan jamak manusiawi melalui wacana pra modalitas kebahasaan hanya akan menjadi alat pemecah belah umat yang disebabkan oleh lingkaran setan kebahasaannya. (ref) Hal ini terkait dengan kegagalan agama sebagai institusi untuk memberikan pemahaman dan keteladanan yang lebih menyeluruh dan mencerahkan pada masyarakat yang sudah atau bahkan kian tersesat virus modernitas .Bila pembacaan agama sebagai institusi dianalogikan dengan upaya pembacaan teks kuno, mungkin kutipan dari referensi berikut jadi cukup menarik.

A necessary prerequisite for contemporary interpretation of ancient mythological literature is an appreciation of myth as a complex, multivalent form of symbolic discourse that cannot be reduced to a particular form, function, or mentality. (Sperber)

Kearifan sejumlah kecil peradaban kuno yang mengapresiasi wacana modalitas kinestetik, pendengaran dan penglihatan melalui kepekaannya pada berbagai isyarat kebertubuhan (tanpa berbagai label kebahasaan yang membatasi pembacaan isyaratnya) dari sesama atau dari hewan peliharaannya, dan kepekaan melalui berbagai macam pembacaan audio visual pada setiap gejala alam dunianya (yang kian tersisih oleh visi modernitas dan ajaran-ajaran radikal) akan memperlebar jarak konstruksian imajinasi pemikiran dari berbagai penanda (ref). Keberjarakan yang lahir secara alami (built-in) dan tidak bersifat eksternal kewahyuan ini mengandung dinamika psikis khusus yang tidak tergantikan oleh metoda pendidikan secanggih apapun (ref).Karena dalam pemaknaan (signifikasi) pada gesture, faktor konteks relatif lebih menonjol daripada faktor konten.Sebaliknya,faktor kontenlah yang relatif lebih menonjol dalam pemaknaan pada ucapan verbal (atau tulisan) (ref).Ungkapan superlatif (keagungan) dalam konten tidak bermakna dalam kejamakan/keragaman konteks, sedangkan ungkapan serupa (keagungan) dalam konteks meliputi/mencakup kejamakan (ragam) ungkapan konten.(ref) Misal, keunggulan atau kesempurnaan pada satu bidang tidak bermakna dalam situasi yang menuntut keragaman (keber-konteks-an), namun keunggulan atau kesempurnaan memaknai/ membaca konteks meliput beragam keunggulan konten. (ref)

"Symbolic interpretation in its native context, therefore, is not simply the process of decoding or assigning cultural values to symbols; rather, interpretationis a mental improvisation based upon culturally implicit knowledge to explain the hidden, implied levels of signification beyond a symbol's literal referent....Meaning is thus always an interpretive rather than normative function " (ref Sperber).

Jarak seperti itu,-yang pada komunitas orang bisu harus diperagakan-, dapat memunculkan visi baru tentang dunia. Visi dunia yang serba jamak, tanpa perlu mengibarkan berbagai slogan verbalisme tentang masyarakat plural. Pendidikan di era globalisasi yang lebih menonjolkan kesegeraan (serba instant) dan memicu lomba kecemerlangan pemikiran dan kefasihan serta kerunutan bicara secara tak disadari memangkas keberjarakan seperti itu, keberjarakan yang akan menumbuhkan visi kejamakan yang senantiasa menolak untuk dijadikan kebertunggalan karena keberjarakan tersebut menyangkut improvisasi mental. Dengan demikian makna senantiasa merupakan fungsi interpretasian alih-alih fungsi normatif (ref). Perkembangan harmonis keberpaduan lima modalitas ini dapat mengikis sebagian besar kompleks hasrat kerinduan untuk kembali pada persatuan dengan ibu. (ref)

Thus,the hermeneutical challenge to contemporary readers is to apprehend ancient cultural codes and meanings as fully as possible, at the same time that weappropriate the texts in our own postmodern frames of referance. The best way to meet this challenge, in my opinion, is to approach the text from a variety of critical perspectives and to apply multiple forms of literary analysis.

(opiniku: sebagaimana orang bisu mendekati sesamanya yang juga bisu, tak dpt mengandalkan sekedar pada isyarat yang diberikan, tapi harus juga memperhitungkan ragam konteks dan ragam persepsiannya sendiri terhadap isyarat tanggapan yang akan diberikan. Ragam pendekatanlah yang teraplikasi dalam gambaran komunitas orang bisu).

Mungkin karena alasan inilah, orang dari peradaban kuno lebih meyakini mitos alih-alih ajaran tunggal kesempurnaan melalui kebahasaan...

This dynamic quality means that myths do not necessarily portray actual social practise and ideology in an accurate fashion. Likened to a chameleon by Wendy Doniger, myths have an uncanny aptitude for reinterpretation and adaptation to new contexts becauseof their inherently malleable character.

Salah satu alasan utama maraknya radikalitas dan kerentanan manusia modern pada setiap hiperprovokasi (istilah saya sendiri untuk berbagai provokasi virtual) adalah karena manusia secara tak sadar kian dipaksa/memaksakan diri untuk menjadi makhluk berdimensi tunggal yang sekedar menerima/meraih segala hal yang sudah harus terkemas/terpaketkan secara utuh dan rapih, bahkan dalam hal segi keberimanannyapun secara tak sadar menghasratkan keserbatuntasan penyelesaian segala persoalan secara cepat (instant). (ref) Hal ini merupakan salah satu cacat generik dari aspek kebahasaan dan atau kognitif. (ref) Segala hal yang dianggap logis dan berterima secara nalarbelum tentu benar dari segi realitas kejamakan. Dan hal ini tak dapat diajarkan di sekolah melalui metoda kognitif dan kebahasaan semata. Keteladanan dan relasi yang intens dengan orang yang menjadi sumber keteladanan (sebagaimana menjadi persyaratan dalam komunitas orang bisu yang jadi ungkap pengandaian saya)serta pengembangan kemampuan membaca konteks alih-alih sekedar konten mutlak diperlukan. Singkatnya, upaya konstruksi mental tak dapat digantikan dengan sekedar perolehan informasi.

Following Paul Ricoeur, I understand symbols to be expressive as well as referential forms ofsignification. Instead of merely referring to previously established social meanings, symbols create the possibility of new meanings: symbols "give rise thought," (Ref)

Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka pergeseran titik fokus ini sudah sangat mendesak dan perlu segera dipertimbangkan mengingat puncak-puncak yang akan/mungkin dicapai melalui kedua modalitas (kebahasaan dan pemikiran) tersebut telah memberikan sinyal atau pesan kemungkinan kemaslahatan dan keterancaman terbesar yang dikandungnya (inherent) bagi umat manusia (ref).

Fase perkembangan dari kedua modalitas padu (verbal dan kognitif) yang relatif jauh lebih lambat dari ketiga fase modalitas yang mendahuluinya serta lompatan kapabilitas yang dialami individu (seakan) menjadi patok peneguh klaim manusiawi untuk mengabaikan arti penting fase perkembangan sebelumnya dan menjadikan kedua modalitas tersebut sebagai fondasi utama pendidikan manusia selanjutnya (ref). Mungkin masih banyak hal prinsip yang memerlukan penelitian psikologi lintas budaya atau antropologi lebih lanjut terkait perbedaan dominasi wacana modalitas kebahasaan ini.Hal paling sederhana yang mungkin untuk segera diteliti adalah perbedaan sistem nilai, cara berpikir (mind), representasi mental orang yang merawat dan menyayangi hewan peliharaan dengan orang yang tidak memelihara atau menyayangi hewan.

#visiwaskita#kecerdasanjamak #kebhinekaan


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun