Mohon tunggu...
Alan Juyadi Juyadi
Alan Juyadi Juyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Learning and exploring everything to broaden and improve my skills and knowledge

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perjuangan Perempuan dalam Menghapus Kekerasan Berbasis Gender (Kbg) dalam Rangka Membawa Perubahan yang Berarti Bagi Perempuan

23 Juli 2013   11:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:10 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ALAN JUYADI S.H

Tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Sedunia atau International Women's Day. Pada tanggal tersebut, perempuan di seluruh dunia memperingati perjuangan yang dilakukan perempuan untuk mencapai kesetaraan baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Hari tersebut, juga merupakan peluang bagi perempuan untuk bertemu, menyatukan langkah, berjejaring, dan saling menguatkan dalam rangka membawa perubahan yang berarti bagi perempuan

Sejarah
Berawal di tahun 1857 di kota New York, Amerika Serikat, di mana para buruh pabrik tekstil  yang kebanyakan perempuan mengadakan demonstrasi menuntut perbaikan kondisi kerja. Namun mereka menghadapi kekerasan polisi. Protes terus berlangsung di tahun-tahun selanjutnya yang mencapai puncaknya pada tahun 1908 ketika 15 ribu perempuan melakukan pawai di New York menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang lebih baik, dan hak untuk memilih.

Pada tahun 1910, digelar konperensi perempuan internasional yang pertama di Kopenhagen, Denmark. Clara Zetkin, seorang tokoh sosialis Jerman mengusulkan hari perempuan internasional setiap tahun. Tahun berikutnya, hari perempuan internasional dirayakan oleh jutaan perempuan di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss. Menjelang Perang Dunia I perempuan di seluruh Eropa mengadakan pawai perdamaian pada tanggal 8 Maret 1913.

Tanggal 8 Maret 1917 berlangsung aksi mogok buruh tekstil yang pertama di Rusia di bawah pimpinan feminis perempuan Alexandra Kollontai.  Para buruh menuntut perbaikan kerja,dan pemenuhan sandang pangan. Aksi ini sekaligus menjadi tonggak Revolusi Rusia. Perserikatan Bangsa Bangsa baru mengakui 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional pada tahun 1978.

Saat ini tanggal 8 Maret merupakan hari libur resmi di sejumlah negara seperti Rusia, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Bulgaria, Mongolia, Makedonia, Ukraina, Vietnam, dan sebagainya. Di sejumlah negara tanggal ini diperingati setara dengan Hari Ibu atau Mother's Day di mana anak-anak memberi hadiah kepada ibu dan nenek mereka.

Sedangkan di Indonesia sendiri, Hari Perempuan Internasional dirayakan secara luas semasa kepemimpinan Presiden Soekarno. Namun peringatan 8 Maret ini tenggelam semasa berkuasanya Orde Baru karena gerakan perempuan pada waktu itu sudah dipatahkan dan dibungkam. Belakangan ini, organisasi dan kelompok perempuan di Indonesia kembali memperingati dan merayakan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia.

Misalnya saja saat ini banyak LSM Perempuan yang memperjuangkan dan mengangkat permasalahan sekitar kekerasan dalam rumah tangga agar adanya tindakan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang di legalkan oleh Undang-Undang. Dari tiga tahun terakhir, banyaknya terjadi hambatan dalam implementasi UU KDRT itu antara lain disebabkan karena di dalam UU itu hanya disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sifatnya adalah delik aduan sehingga melemahkan dan mengaburkan penegakan hak-hak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga seperti hak mendapat keadilan secara hukum, perlindungan, dan hak kebenaran bahwa memang terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Karena kekerasan ini masih dianggap delik aduan, maka apabila perempuan korban mencabut aduannya, maka proses hukum tidak akan berjalan. Ini berbeda dengan tindak pidana umum lainnya dan juga Peningkatan jumlah kasus tersebut disebabkan juga karena belum adanya komitmen dari penegak hukum untuk membebaskan perempuan dari kekerasan. Selain itu, tingginya kesadaran dari korban untuk melapor juga menjadi faktor lainnya. Namun, yang mengkhawatirkan, penegakan hukum di Indonesia masih belum berperspektif gender sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Di sini peran anggota legislative sebagai pembuat Undang-Undang juga sangat berperan aktif dalam membentuk sebuah hukum.

Perlindungan perempuan di Indonesia sangatlah ditentukan oleh para pembentuk Undang-Undang, dan selanjutnya komponen yang bertanggungjawab atau yang diamanatkan dalam UU itu sendiri, salah satunya adalah kepolisian masih memiliki kelemahan dalam lembaganya untuk memberikan perlindungan sesegera mungkin apabila seorang perempuan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Peringatan Hari Perempuan ini sanagat bagus bila dijadikan momentum bagi LSM Perempuan untuk menyoroti kelemahan-kelemahan dalam implementasi UU KDRT dengan harapan adanya perbaikan di waktu mendatang.

Kekerasan Berbasis Gender

Kekerasan berbasis gender. Tiga kata yang akhir-akhir ini kerap didengungkan dalam media massa maupun oleh gerakan perempuan dalam lembaga swadaya masyarakat. Orang awam mungkin akan mengerutkan dahi jikalau mengeja judul diatas. Padahal dalam kenyataannya, contoh-contoh KBG begitu dekat malah kian hari sepertinya kian menjadi topik hangat di masyarakat oleh karena jumlahnya yang terus meningkat seiring waktu.
Orang mungkin akan lebih familiar jika mendengar istilah kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelacuran, pornografi, pelecehan seksual, diskriminasi terhadap homoseksual, PRT dan kaum-kaum marginal dan minoritas lainnya.

Mengapa menggunakan istilah KEKERASAN BERBASIS GENDER?
Penggunaan istilah KBG atau Gender Based Violence (GBV) ini dimaksudkan untuk menggambarkan sifat alami kekerasan dan memberikan kesan bahwa untuk menunjukkan kekerasan perlu merujuk persoalan gender yang menyebabkan dan mendukung terjadinya kekerasan.
KBG ini sendiri seringkali disebut juga sebagai kekerasan terhadap perempuan. Karena pada kebanyakan kasus, KBG dititikberatkan pada obyek perempuan sebagai korban akibat dari ketidak seimbangan posisi tawar atau kekuasaan perempuan jika dibandingkan kaum lelaki serta konstruksi peran yang telah mendarah daging pada budaya kita yang masih patriarki.

Budaya   patriarki   yang   sudah    berabad-abad   lamanya    mengakar    pada masyarakat dunia ini sudah terserap dalam hampir seluruh ruang kehidupan umat manusia di antaranyaHukum, adat, norma sosial, ilmu pengetahuan, filsafat, sistem pemerintahan, bahkan agama sekalipun. Nilai-nilai dari budaya patriarki yang mendominasi ini sudah dimapankan menjadi sistem yang mendunia dan bisa jadi merupakan ideologi yang paling banyak pengikutnya.

Marx mendefinisikan ideologi sebagai kesadaran palsu. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat dan bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat. Hal ini membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu tampak natural dan diterima sebagai kebenaran.

Melihat kondisi real masyarakat kita jelaslah bahwa laki-laki adalah kelompok dominan yang mengontrol kelompok lainnya, kaum perempuan. Dominasi laki-laki terhadap perempuan sudah terbentuk secara sedemikian sistematisnya dan sudah berurat berakar dalam kehidupan kita.   Hal ini jelas terlihat karena sejauh ini laki-lakilah yang menentukan  semua standar dalam kehidupan kita. Standar baik dan buruk, benar dan salah, ilmiah-tidak ilmiah, rasional atau irasional, cantik- tidak cantik.  Semua hal yang sesungguhnya masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Budaya ini selalu meletakkan perempuan pada posisi lebih rendah dan hina.
Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, cakupan KBG juga sangat luas, diantaranya eksploitasi seksual, pengabaian hak-hak reproduksi perempuan, traffiking, penularan HIV/AIDS terhadap istri, sunat perempuan dan sebagainya juga dikategorikan KBG.
Meski menggaris bawahi judul diatas sebagai sebuah bentuk kekerasan yang artinya sesuatu yang berhubungan dengan fisik, KBG tak selalu identik demikian. KBG dapat bersifat tersamar dan simbolik seperti eksploitasi media dan pornografi, namun juga konkrit dan nyata seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Intimidasi terhadap istri, ejekan, makian, sindiran dll.
Contoh konkritnya, ketika seorang istri tak diperbolehkan bekerja oleh suami, namun dalam keseharian, suami kerap meremehkan posisi istri. Disini pihak perempuan sudah bisa dikatakan mengalami KBG, meski secara fisik tak terluka.

Ditinjau dari perspektif hukum, pemerintah telah berupaya melindungi kaum perempuan dengan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination for All Form of Discrimination Against Women) melalui UU Nomor 7 tahun 1984 yang menyatakan: “Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.

Rekomendasi Umum ini juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan, atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderataan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya.
KDRT adalah jenis KBG yg mengalami kenaikan signifikan dari tahun ke tahun, meski pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai pergeseran dari KDRT sebagai masalah hukum privat ke hukum publik, namun dalam realisasinya terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan, meski jelas-jelas KDRT merupakan pelanggaran HAM, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Hal ini dikarenakan belum efektif atau kurangnya sosialisasi UU tersebut kepada tiap elemen masyarakat, bukan hanya kepada perempuan.

Efek yang terjadi akibat ketimpangan gender adalah melorotnya kualitas hidup perempuan.Di masa sekarang ini, KBG sudah terjadi pada semua lini kehidupan, tak hanya dalam rumah tangga, tetapi juga di masyarakat, termasuk yang ada kaitannya dengan pengelolaan SDA demi memenuhi kebutuhan pangan karena KBG sangat melekat pada konteks hubungan kultural, sosio ekonomi dan kekuasaan politik.

Di kancah politik, KBG juga makin lazim terdengar. Banyak caleg perempuan yang diintimidasi internal partai untuk menurut pada aturan partai yang kerap adalah akal-akalan laki-laki belaka. Belum lagi akal-akalan lain, misalnya mengkoar-koarkan tentang kesetaraan gender dalam penempatan perempuan di parlemen, toh buktinya secara kasat mata jelas nampak buktinya bahwa perempuan masih saja dijadikan pemanis dalam kancah perpolitikan karena kesetaraan yang mereka -laki-laki- gaungkan hanya sebuah tong kosong yang nyaring bunyinya.
Perempuan hanya dijadikan sebagai alat untuk menarik dukungan.

Hal tersebut terlihat dengan melimpahnya caleg perempuan yang dilamar, baik partai besar maupun partai burem. Namun tetap saja kiprah perempuan di parlemen terganjal, apalagi dengan adanya revisi terbatas UU No 10 tahun 2008 tentang PEMILU anggota DPR, DPD, dan DPRD yang merugikan perempuan, meski usulan revisi tersebut dianggap tidak kompatibel dengan pasal-pasal lain dalam Pemilu.

Dewasa ini solidaritas perempuan terhadap masalah KBG cenderung meningkat, baik dari sisi kelembagaan maupun praktisnya. Ini menunjukkan kesadaran perempuan untuk membela hak-hak sesamanya juga semakin meningkat, namun sekali lagi, KBG bukan hanya pekerjaan rumah bagi perempuan, di masa mendatang, baik pemerintah dan non pemerintah diharapkan dapat bersama-sama menggarap pekerjaan rumah ini untuk menekan kekerasan berbasis gender dan mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan gender.

Rujukan :

Tety. 2009.Kekerasan Terhadap Perempuan; Tema Hari Perempuan SeduniaDiterbitkan : 8 Maret 2007 - : www.Rnw.Ni.id

Anonym. 2009. Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat.http:www.kompas.com

Alvi. 2009. Kekerasan terhadap perempuan. Http:www.cosmicsoulmate.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun