Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Tranportasi Publikku Sayang, Transportasi Publikku Malang

20 Juli 2019   22:22 Diperbarui: 25 Juli 2019   12:31 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus TJ jurusan BKT-Pulo Gebang yang ditumpangi penulis mengalami masalah tadi siang (Sabtu, 20 Juli 2019). (Dokumen pribadi)

Hidup di Indonesia memang penuh risiko. Lihat saja transportasi publiknya yang lambat berkembang. Kendaraan-kendaraan yang tak layak dipakai dan beremisi tinggi masih juga lalu lalang. Akhirnya keselamatan penumpang yang tergadai juga.

Nyawa saya pernah hampir terenggut saat naik bus yang terguling karena ketidaktertiban perilaku oknum pengguna jalan raya. Saya tidur sore itu saat bus melaju lalu terbangun dengan kaki dibungkus kayu dan kain. Tak bisa bergerak. 

Konon, kondektur bus meninggal seketika. Tapi untung saya masih bisa menghirup napas sampai hari ini karena 'cuma' kaki saya yang patah. Itu beberapa puluh tahun lalu saat saya masih duduk di kelas 5 SD.

Dari pengalaman buruk itu, saya ingin menghindari bus dan transportasi umum lainnya. Apa daya, saya bukan warga negara yang kaya raya. Mobilitas yang tinggi antarkota membuat saya saat mahasiswa harus naik transportasi umum juga. 

Bus-bus kota yang masih beroperasi sudah mirip rongsokan logam yang bergerak ringkih. Dan herannya entah kenapa bus-bus tua dengan bodi berkarat dan lantai yang berlubang termakan rob di daerah utara Semarang itu masih saja bisa menaiki punggung bukit di Semarang Selatan, kawasan tempat saya kuliah dulu di tahun 2000-an.

Entah lucu atau miris, pernah suatu ketika saya naik angkutan umum di Semarang juga karena kebetulan bus langganan tak kunjung tiba sementara saya sudah ingin sampai kampus tanpa harus kesiangan dan terlambat masuk kelas. Saya duduk di depan, samping sopir angkot. Kendaraan itu sudah tua dan pengemudinya seolah tak kenal gentar.

Saat saya asyik menikmati semilir angin pagi, tiba-tiba sebuah suara aneh diikuti guncangan keras membuat semua penumpang terutama saya kaget setengah hidup. 

Dan dari jendela, saya lihat sebuah ban menggelinding. Ternyata itu ban yang copot dari angkot yang saya tumpangi. Gila! Angkot yang beroda tiga itu pun terpaksa berhenti. 

Ban masih menggelinding sampai jatuh di selokan di sebuah ruas di jalan di tengah kota Semarang. Kami semua turun. Sopir panik, mengejar ban. Saya tak tahu harus berbuat apa dahulu, menertawakan sopir itu atau berebut masuk ke angkot lain yang lewat agar tidak terlambat masuk kuliah.

Kegilaan transportasi publik di tanah air lainnya ialah betapa orang sudah tidak mengindahkan kenyamanan orang lain dan bahkan dirinya sendiri. Saya disuguhi bukti-bukti nyatanya saat harus bolak-balik ke Jakarta dari Semarang. Ini sebelum reformasi kereta api oleh Pak Jonan. 

Tua muda menggelar koran bekas di lantai bawah lalu tidur seperti mayat tak peduli ada orang mau lewat di kereta malam itu. Sempat terpikir saat itu, saya ingin menginjak-injak orang yang dengan egois tidur di bawah sementara saya duduk kaku dengan punggung tegak di bangku keras kereta kelas ekonomi yang toiletnya pesing membikin pening itu. 

Alhamdulillah, sekarang kereta kita sudah makin beradab. Mahal wajar tetapi kualitas layanannya juga lebih jempolan, sehingga saya tidak keberatan.

Begitu saya bekerja dan memutuskan tinggal di wilayah ibukota, saya masih berusaha setia dengan transportasi publik. Tak peduli saya punya uang untuk membeli sepeda motor atau mencicil mobil pun, saya tidak tergiur untuk melakukannya. 

Karena saya masih percaya dengan kata sains bahwa transportasi publik lebih ramah lingkungan dan yang terpenting, ramah kantong bagi saya. 

Memiliki kendaraan pribadi memang menang prestise dan kenyamanan tapi untuk menebusnya, saya mesti merogoh kocek lebih dalam untuk, misalnya biaya servis, biaya pernak-pernik, biaya asuransi mobil (karena di Jakarta, hukum rimbanya mengatakan bahwa bagaimanapun kecelakaan terjadi, pengendara motor selalu benar dan pengemudi mobil selalu salah) dan cicilannya. 

Dan mengingat membludaknya volume kendaraan di Jakarta, saya merasa jengah untuk menjadi bagian dari masalah. Saya ingin menjadi bagian dari solusi, caranya dengan tidak memiliki.

Artinya juga, saya yang tidak memiliki (kendaraan pribadi) ini harus menggunakan transportasi publik. Sebenarnya saya juga dulu pernah mencoba bersepeda ke mana-mana di Jakarta tetapi ternyata tak mungkin. Padahal saya ingin juga mengurangi polusi udara sebagaimana disarankan pak Gubernur Anies. 

Sayangnya jalur pesepeda juga minim sekali. Yang mengerikan saat mendengar berita pesepeda di Thamrin mati mengenaskan ditabrak mobil. Belum lagi kantor-kantor dan tempat publik di sini belum menyediakan ruang penitipan sepeda yang representatif. 

Dan susah untuk bersepeda tanpa harus merusak kesehatan paru-paru saya di jalan Jakarta yang terus dikepuli asap knalpot.

Dengan pertimbangan itu akhirnya ke mana-mana, saya pilih moda transportasi daring yang praktis atau jika untuk menempuh jarak jauh, saya pilih bus Trans Jakarta, MRT atau Kereta Komuter. 

Lebih manusiawi dan kalau saya harus bertemu orang, saya tak akan ditemui dengan muka mengernyit karena kombinasi debu jalanan, bau matahari dan keringat yang menyengat.   

Tapi dasar nasib warga proletar, memilih transportasi publik yang katanya sudah aman (minim pencopet dibandingkan bus Kopaja) dan nyaman (karena berpendingin) juga masih ada problemnya. 

Interval waktu ketibaan armada bus TJ ternyata juga sama dengan bus kota dan angkot biasa. Suka-suka. Kadang kalau saya mujur, turun bus satu, langsung ada bus jurusan selanjutnya yang 'menyambar' saya. Tapi kebanyakan tidak seindah itu. Lebih banyak waktu saya habis duduk atau berdiri menunggu. 

Di Twitter beberapa kali saya kerap melayangkan keluhan lamanya pemberangkatan armada. Tidak ada jawaban yang memuaskan. Solusinya? Berangkatlah sepagi mungkin agar tidak terlambat di tujuan. Kesal karena waktu habis di jalan? Siapa suruh naik transportasi umum yang murah meriah yang disubsidi pemerintah? 

Frustrasi itu lebih kerap muncul meskipun kadang jika memang armada mengantarkan saya dengan durasi yang lebih cepat dari perkiraan, saya juga memberikan puja-puji di Twitter untuk akun PT Trans Jakarta.

Namun, pada suatu siang (Sabtu, 20 Juli 2019) saya lagi-lagi harus mengurut dada dengan mutu transportasi umum kita. Seperti biasa tiap Sabtu saya naik bus TJ jurusan BKT-Pulo Gebang untuk berolahraga senam. Tidak ada firasat apapun saat naik bus TJ ini siang itu. Saya menunggu di halte tak lama (baca: saya memiliki rentang kesabaran menunggu yang baik). 

Dan saya naik ke bus tersebut dengan mulus sekitar pukul 11 siang. Para penumpang juga tertib. Kondektur sopan dan baik dan sopir juga tidak ugal-ugalan (karena saya ingat -- tidak seperti beberapa sopir bus TJ lain yang sembrono -- ia memelankan laju kendaraan tiap melewati sambungan baja di permukaan aspal jalan layang yang membuat kami terhentak dari kursi sedemikian rupa, cukup berbahaya bagi wanita hamil dan mereka yang cedera tulang ekor).

Suasana siang yang terik dan udara di bus yang sejuk (AC-nya lumayan berfungsi baik karena beberapa bus TJ saya amati ada yang AC-nya kurang dingin, entah karena sudah tua atau sekat-sekat di sekeliling pintu-pintunya tidak dirawat dengan baik sehingga udara dingin mudah keluar dari bus) membuat saya terlena dan menutup buku Nh. Dini yang saya baca. 

Yang saya ingat dari bab yang terakhir saya baca ialah saat si pengarang bersyukur anaknya terlewat dari bahaya serpihan kaca yang bisa membuatnya buta atau cedera lebih parah. 

Tulisnya di halaman 115 buku "La Grande Borne": 

"...(b)etapa rapuhnya hidup di alam fana ini. Setiap saat setiap waktu segalanya bisa berubah. Yang ada tiba-tiba menjadi tidak ada. Manusia atau semua makhluk ciptaan Tuhan yang semula sehat, oleh sesuatu kejadian atau sebab, bisa mendadak sakit atau kurang bagus kondisi aslinya. Seberapa pun kecinya, bila itu disebut kecelakaan, pasti merupakan hal yang tidak diinginkan atau diharapkan."

Sebuah pemikiran yang ternyata berlaku untuk dirinya juga karena mendiang wafat akibat kecelakaan di jalan raya juga. Mobil yang ia tumpangi ditabrak oleh truk besar yang kehilangan kendali sehingga melorot di tanjakan. Malang nian penulis kesayanganku ini.

Singkat cerita, saya mengantuk sedemikian rupa sehingga saya tak tahu bus sudah sampai mana. Sekonyong-konyong tiba-tiba saya dikejutkan dengan rem yang mendadak. Para penumpang berebut turun dari dalam bus. 

Saya yang masih setengah sadar juga ikut turun karena menduga ada kecelakaan di depan bus kami. Saya turun dan barulah menyadari bahwa mesin bus kami ini mengeluarkan asap yang mencurigakan. 

Bukan dari knalpot tapi dari bawah lantai. Sialnya, bus kami malah parkir di dekat stasiun pengisian bahan bakar (pom bensin) di dekat Mall Buaran, Jaktim. 

Mulanya asap kecil saja. Kemudian ada beberapa orang mencoba membuka mesin dan memang asapnya tebal putih tak bisa hilang begitu saja. Diambillah tabung pemadam api. Satu tabung kecil ternyata kurang ampuh. 

Asap masih mengepul. Makin tebal, makin membuat panik ibu-ibu yang berjaga di warung dekat pom bensin karena memang ada nyala api yang mengikuti tetesan-tetesan oli dari mesin. 

Yang saya heran, seorang ibu pemilik warung di pinggir jalan itu berteriak histeris tapi begitu ada anaknya yang masih kecil juga ikut teriak histeris, ia menghardiknya, "Hush, diam! Tidak apa-apa!" 

Saya pikir, kenapa ia membolehkan dirinya sendiri untuk teriak membuat panik orang di sekitarnya sementara ia membungkam anaknya yang justru sebenarnya panik dan histeris akibat mulutnya sendiri? Sungguh saya tidak paham. 

Ini seperti kelakuan oknum ibu-ibu yang tidak sabar sampai menyerobot antrean tapi juga menasihati anaknya untuk berperilaku tertib di sekolah.

Sekilas saya ditanyai seorang pria. "Itu kenapa busnya?"

Saya cuma bisa menjawab,"Berasap, pak."

"Kepanasan kali. Nggak pernah diservis," celetuknya.

Bisa juga, batin saya.

Secepat kilat pikiran saya teringat kembali dengan kalimat-kalimat Nh. Dini itu. Kalimat-kalimat yang mengingatkan saya bahwa memang nyawa saya masih dilindungi-Nya. 

Meski susah untuk mengucapkan syukur saya karena telinga pekak dengan teriakan ibu tadi, akhirnya malam ini saya bisa mengucapkannya juga. Ternyata perlu ketenangan untuk bisa bersyukur dengan lebih nikmat. 

Dan tentu, kalau cuma doa, kurang afdol rasanya jadi manusia yang konon bisa membentuk masa depannya sendiri sampai-sampai ingin menggantikan peran Tuhan YME, sebagaimana sabda Noah Hariri di bukunya "Homo Deus". Harusnya ada usaha juga agar kejadian semacam ini bisa dicegah di kemudian hari. 

Atau mungkin insiden ini akan terlupakan begitu saja, dan kehidupan akan berjalan sebagaimana biasa. Toh juga belum ada korban jiwa, kan?

Tapi karena lagi-lagi saya warga proletar Jakarta yang (memilih secara sadar untuk) tidak punya kemewahan berkendaraan pribadi, apa yang saya bisa perbuat kecuali dengan setia menunggu perbaikan mutu pelayanan transportasi publik ini dan menuliskan ini di sini?

Entah dengan Anda, tetapi bagi saya yang sudah memasrahkan mobilitas saya pada transportasi publik dan menuruti imbauan para otoritas untuk menekan polusi dengan naik moda transportasi umum, apakah saya masih harus juga mempertaruhkan keselamatan saya sekali lagi? (*/akhlis.net)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun