Hmmm... Hanya mampu menikmati senyuman kecil meski rasa hati terasa berat. Saya hampir saja putus asa. Hampir saja meluapkan segala kemarahan dan kekesalan, tapi sekali lagi di sini saya dituntun untuk sabar, hati pun menuntun saya untuk mengalah dan berpikir bijak meski segala hal sudah terengkuh oleh keegoisan sebuah lingkungan.
Sebuah lingkungan ternyata sangat berpengaruh. Saya mungkin bisa saja egois dengan keadaan yang ada, tapi saya hidup bermasyarakat, saya hidup bersosial jadi mau tidak mau saya pun harus bersinggungan dengan orang lain untuk bersosialisasi.
Saya tarik sebuah contoh, seorang teman baik saya (sebut saja namanya Astrid), dia memiliki kepribadian yang baik, bagaimana jatuh bangunnya saya meniti karir baik ada pekerjaan atau tidak, baik ada masalah atau tidak, baik orang lain menganggap saya atau tidak dia selalu menjalin komunikasi dengan saya. Dia benar-benar seorang teman bagi saya, karena bagi Astrid yang namanya teman ya teman dan seorang teman yang baik dia tidak melihat bagaimana temannya tapi bagaimana tetap bisa menjalin pertemanan itu dan tetap bisa berpegangan tangan serta canda tawa. Kalau teman ada masalah ya dibantu selagi mampu, jika tidak ya kasih solusi atau masukan supaya teman yang memili suatu masalah tetap konsisten, optimis dan menyelesaikan masalahnya dengan baik.
Lain Astrid, lain pula Riana (sebutan teman saya yang lain), seorang teman yang usianya seharusnya lebih dewasa dari saya memiliki emosi yang sangat tinggi. Egois, dan gengsi. Karena perihal masalah gengsi atas sebuah lingkungan kerja dan pertemanan Riana marah dengan saya. Bukan sekedar marah biasa, tapi marah yang luar biasa sampai ada kalimat kasar untuk saya yang menyebut saya d*ng*. Baik tidak masalah bagi saya, karena bagi saya lain orang lain watak dan pemikiran juga sifat. Saya biarkan semua itu berlalu, bahkan dengan apa yang ada saya tetap menghampirinya untuk meminta maaf, mencium pipi kanan-pipi kirinya dan memeluknya dan lepas komunikasi seteah itu. Namun mungkin tanpa adanya saya dia memiliki beberapa kendala dan memikirkan kebersamaan saya dan dia selama berteman, tiba-tiba Riana menghubungi saya untuk menanyakan kabar saya, selebihnya seperti biasa meminta bantuan saya atas kendala-kendalanya.
Saya pribadi sebenarnya bukan orang yang ada dan memiliki segala hal, namun jika saya memiliki kesanggupan saya pasti membantu hal itu meski bukan materi. Sampai akhirnya pada detik ini pun Riana tetap menghubungi saya untuk meminta bantuan meski hanya sekedar curhat. Lalu Riana pun mengatakan sesuatu kepada saya, "Kita kerja bareng yuk?" saya tidak mengiyakan atau pun menolak, tapi di sini saya membuat keputusan saya tetap menjalin pertemanan dengan Riana, tetap berhubungan baik dengan dia tapi dalam hal yang berbeda, yaitu lebih baik saya saat ini tidak bersinggungan langsung dengan dia, tapi tetap menjalin komunikasi dengan dia dan tetap memberikan bantuan-bantuan yang dia kehendaki selama saya mampu karena bagi saya hidup adalah untuk melayani dan berbagi kasih.
Lalu ada juga Ratih (bukan nama yang sebenarnya juga), Ratih memiliki sifat yang baik dan cuek. Teman curhat saya juga meski kebanyakan perihal masalah pasangan hidup hehehe... Maklum saya dan Ratih seumuran, usia kami hanya terpaut satu bulan setengah. Saya lebih tua satu bulan setengah dengannya. Kita memiliki pandangan hidup yang hampir keseluruhannya sama, sama-sama suka makan tapi susah gendut dan suka resah sendiri kalau tidak ada kabar dari orang-orang yang kita cintai.
Nah, antara Astrid, Riana dan Ratih sebenarnya kenal nama karena semuanya pernah bekerja dalam satu kerjaan termasuk saya. Kemarin sore, saat saya jalan dengan Ratih tiba-tiba Astrid menyusul. Saya terkaget karena ponsel saya sebenarnya tidak aktif karena charger-nya tertinggal di mobil teman lusa kemarin saat saya dan teman-teman berwisata kuliner di kota Bogor.
"Aku ke sini untuk menemuimu." kata Astrid, "Aku kirim pesan ke kamu banyak sekali."
"HP-ku mati lagi tadi sempat hidup sebentar karena pinjam kabel USB dari orang." kata saya.
"Gak apa-apa nich aku di sini?" Astrid bertanya karena takut mengganggu kebersamaan saya dengan Ratih.
"Ya enggaklah, santai aja. Ratih masih perjalanan ke sini." kata saya.
Saat Ratih sudah sampai, meski saya tahu antara Astrid dan ratih kenal nama saya tetap memperkenalkan keduanya biar lebih akrab lagi. Setelah itu kami bertiga makan. Setelah selesai makan kami bertiga bercerita-cerita, saya beberapa kali meninggalkan keduanya biar keduanya bisa menjalain keakraban tanpa campur tangan saya dan saat saya kembali saya meminta keduanya untuk mengantar saya beli kabel USB agar saya bisa mengisi baterai ponsel saya.
"Yang murah aja, yang dua puluhan ribu. Tadi gue lihat di situ harganya lima puluh ribuan." kata saya.
"Ya udah hayokkk... Ikut gue, di bawah ada harga dua puluh ribuan." kata Ratih yang lebih tahu mal Ambasador dari pada saya apalagi Astrid.
Setelah mengikuti Ratih saya pun mendapat kabel USB, saya senang "Jangan lupa besok ambilin casan gue ya?" saya meminta tolong lagi pada Ratih sebelum kita bertiga melanjutkan perjalanan mengelilingi mal Ambasador untuk menemani Astrid dan Ratih berbelanja kosmetik hingga keduanya kompak melakukan pijat di tempat pijat PRIMA (Maaf saya menyebutkan nama tempat pijat karena siapa tahu, menjadi hal yang bermanfaat).
"Sumpah bener kata Tante Nik, pijatnya enak banget." kata Ratih, "Serius lu gak pijet?"
"Enggak. Gue nunggu aja." jawab saya yang memang selalu enggan kalau dipijat apalagi yang memijat adalah laki-laki.
"Astrid mana?" tanya Ratih.
"Tuh, lanjut pijet kaki."
Ratih yang selesai membayar uang jasa pijatnya kemudian duduk di samping saya dan bercengkrama dengan saya. Dia menyampaikan beberpa hal, yaitu seperti biasa perihal pacarnya, gratis menginap di hotel yang dia jual ke salah satu teman untuk bulan madu yang kemudian digunakan dia untuk membeli tiket pesawat ke bali, wisata di Bali yang ingin dia kunjungi saat akhir bulan nanti dan kostum yang akan dia pakai untuk resepsi pernikahan teman kita nanti.
"Baguskan Nik kebayanya?" tanya Ratih sembari memperlihatkan foto kebaya dari dalam ponselnya.
"Iya bagus, warna favorit gue ituh." kata saya.
"Kan temanya emang pink sama abu-abu." kata Ratih, "Lu udah ada belum?"
"Tahu dech, gue belum ada dress. Pinjem aja kali ya?" kata saya.
"Ya udin pinjem aja. Gue aja pinjem dari pacarnya abang gue."
"Lu pinjem Desi?"
"Iye."
Saya ketawa yang kemudian diikuti Ratih. Lalu karena menunggu Astrid terlalu lama dan Kakak Ratih sudah datang untuk menghampirinya, Ratih akhirnya pamit terlebih dulu.
"Lu masih nunggu Astrid-kan?" tanya Ratih.
"Iya, gue sama dia mau ke ATM... Mau minta uang ongkos dia gue untuk pulang."
"Seriusan lu?"
"Seriusan karena duit gue dipakai dulu untuk pijet." saya sembari ketawa kecil.
"Ya udin kalo gitu gue duluan ya? Pamitin Astrid tar, kapan mau jalan lagi kabarin ya?"
"Besokkan kita ketemu lagi?"
"Maksudnya kita bertiga kapan jalan lagi."
"Ocre."
Setengah jam kemudian Astrid selesai dipijat dan ternyata dia masih ada uang di tas yang kemudian langsung diberikan kepada saya, tapi dengan begitu dia tetap ke ATM lalu berjalan ke ITC sebentar sembari bercengkrama kecil seperti biasa lalu dia pun meminta bantuan supaya saya memesankan ojek dari aplikasi di ponsel saya. Kebetulan selama menunggu dia pijat saya numpang isi baterai ponsel saya pun langsung menyanggupi untuk memesan ojek online untuknya. Sebelum dia naik ojek saya menunggunya dan itu memang kebiasaan saya. Astrid berucap, "Hari ini aku seneng banget..."
Saya pribadi tersenyum melihatnya lalu melanjutkan perjalanan pulang saya namun terkena macet di ruas jalan tol sehingga jam 23.44 saya baru turun dari bus dan langsung terlelap tidur sesampainya di dalam kamar.
Begitulah kepribadian-kepribadian orang di lingkungan saya. Sebenarnya masih banyak lagi kepribadian-kepribadian yang lain, tapi karena terlalu sulit untuk dijelaskan, terlalu bertele-tele dan yang lain jadi yang bisa sedikit saya jabarkan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H