Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memilih Sekolah Berasrama Ramah Anak, Bagaimana Menilainya?

17 September 2022   20:40 Diperbarui: 6 Oktober 2022   14:54 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar-kamar asrama putra -marsudirinibogor

Kami baru saja masuk ke gerbang pesantren ketika seorang ibu keluar dari sebuah mini van dengan muka marah. Ia berteriak di depan kantor pengasuhan. Kami yang tak tahu masalah berusaha menjadi pendengar yang baik. Ia berteriak marah, karena merasa anaknya mengalami kekerasan di sekolahnya. Selidik punya selidik, ternyata masalahnya hanya kesalahpahaman biasa. Kami pikir awalnya bullying atau telah terjadi tindak kekerasan senior kepada junior.

santri-mengaji6-906365242323566f04fd2531ec3c5a6c-600x400-633120894addee407c6eb592.jpg
santri-mengaji6-906365242323566f04fd2531ec3c5a6c-600x400-633120894addee407c6eb592.jpg
ilustrasi gambar-santri -idntimes

od-2-6325cd1808a8b508f83f27a3.jpg
od-2-6325cd1808a8b508f83f27a3.jpg

ilustrasi gambar-ruang kelas pesantren oemar -oemardiyan

ilustrasi gambar-pesantren oemar diyan yang asri-oemardiyan
ilustrasi gambar-pesantren oemar diyan yang asri-oemardiyan

Gara-gara kedua orang yang bermasalah memiliki dua buah sandal baru yang merek dan warnanya sama. Ketika keluar dari ruang kelas, salah seorang diantara mereka salah mengambil sandal tersebut, padahal si pemilik sedang berada di dekat sandal tersebut. Maka terjadilah sedikit keributan dengan saling sikut dan tangkis. Salah satunya terkena pukulan di wajah dan menjadi sedikit biru karenanya.

Tentu saja ini akan menjadi masalah besar jika memang benar-benar kasus kekerasan senior-junior, ternyata bukan. Karena putera kami berada di sekolah berasrama (boarding school) yang sama dengan mereka dan masih teman sekelasnya.

Awalnya kami sempat kuatir, jika kasus seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Tapi menurut anak kami sendiri, ternyata itu hanya kejadian insidental dan langka.

Kekerasan Itu Horor di Sekolah Berasrama

Sekitar tahun 2019, pernah terjadi kekerasan antara senior dan junior di sebuah sekolah berasrama semi militer. Kasusnya bermula ketika seorang kakak senior meminjam uang kepada juniornya. Namun si junior tak bisa memberikan pinjaman karena uang tersebut di pinjam oleh temannya.

Lantas si senior menagih kepada temannya itu, agar mengembalikan karena ia akan meminjamnya, tapi karena tak kunjung dilunasi, akhirnya terjadilah pemaksaan. Selama dua hari berturut-turut korban dipukul oleh seniornya, hingga akhirnya sakit dan tak masuk kelas. Teman-temannya menduga ia hanya sakit biasa, maka tak berinisiatif membawanya ke klinik.

Tapi siang itu, korban tiba-tiba menghilang dari asramanya. Bersamaan dengan hilangnya korban, siswa senior juga meminta izin pulang kampung. Tapi beberapa jam kemudian, salah seorang temannya menemukan korban di belakang sekolah telah meninggal dunia. Maka gegerlah sekolah berasrama tersebut. Tapi  si pelaku dengan mudah terdeteksi, dan selanjutnya menjadi tersangka.

Meski kasus itu baru pertama kali terjadi, namuan menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah sebagai pemilik sekolah berasrama tersebut. Banyak faktor yang diabaikan di balik kejadian tersebut, sehingga menjadi pembelajaran dan catatan bagi para pengelola sekolah berasrama.

3-faktor-pendorong-632c00d808a8b55e6c0aac12.jpg
3-faktor-pendorong-632c00d808a8b55e6c0aac12.jpg
ilustrasi gambar-whistleblower -integrityindonesia

Kejadian itu menjadi fakta "horor" bagi sekolah berasrama.

Tiga Poin Penting

Masalah pengawasan, senioritas, dan penanganan kasus kekerasan sering menjadi faktor penyebab utama terjadinya kasus. Meskipun di sekolah berasrama memiliki petugas yang bertanggungjawab mengawasi anak didik atau junior di bawahnya, namun dalam beberapa kasus, justru para senior atau pengawas yang menjadi pelaku tindak kekerasan.

Pemilik sekolah berasrama, maupun kepala sekolahnya biasanya mengetahui ada masalah ketika telah menjadi kasus besar. Kasus-kasus kecil yang hanya menyebabkan luka biasa sering diabaikan. Bahkan kekerasan yang menyebabkan siswa junior sakit dan mengalami kekerasan yang fatal juga sering luput dari pengawasan pihak sekolah.

Senioritas masih tetap menjadi momok menakutkan di sekolah berasrama, apalagi jika "kekerasan" melalui plonco atau pengenalan sekolah dilegitimasi oleh pihak sekolah. Dengan tujuan agar siswa mengenal dan patuh dengan aturan sekolah. 

Namun ukuran-ukuran kekerasan menjadi sangat relatif tergantung seperti apa "ukuran kekerasannya". Misalnya keharusan push up hingga puluhan kali atau pemukulan ringan masih dianggap biasa. Padahal dalam kasus yang terjadi, tidak semua anak memiliki stamina atau memiliki riwayat penyakit yang sama, sehingga tidak bisa diperlakukan sama atau diabaikan keluhannya.

Akibatnya sangat fatal, karena anak yang hanya diperintahkan berlari mengelilingi lapangan satu kali saja bisa berakibat sesak nafas dan bisa menjadi korban, sekalipun sekolahnya berbasis semi militer.

Penanganan kasus kekerasan antara senior dan junior yang tanggung dan tidak berhati-hati, juga menjadi problem tersendiri. Ketika junior di kerasi oleh seniornya dan kemudian dimediasi oleh pihak sekolah, teryata justru menjadi awal kekerasan baru yang dialami junior karena telah melaporkan kepada pengawas sekolah.

Sehingga menjadi pembelajaran bagi siswa lainnya yang mendapat kekerasan lainnya, jika melapor justru akan mendapat ancaman yang lebih fatal. Ini sering menjadi ancaman baru yang lebih mematikan. Dalam beberapa kasus, kematian menjadi endingnya. Jika korban tidak mengambil tindakan kematian sendiri, maka ia menjadi korban kekerasan yang lebih fatal dari pelakunya.

Sehingga pihak sekolah berasrama, harus melakukan pengawasan dan kontrol terus menerus, baik melalui pengawasan secara langsung maupun mendapatkan informasi dari siswa lainnya.

Beruntung di sekolah atau pesantren di anak kami bersekolah saat ini, tidak pernah terjadi kekerasan dalam ketiga kategori tersebut. Beberapa baliho dan papan pengumuman di pojok-pojok sekolah diletakkan sebagai peringatan. Bahkan dengan huruf kapital ukuran besar "Bullying dan kekerasan di pesantren HARAM! dilakukan". Ini sebagai manifestasi dari komitmen pengelola pesantren untuk menindak tegas siapapun santri atau siswa yang kedapatan melakukan kekerasan terhadap siswa lainnya.

Tindakan keras, tidak hanya berupa penyelesaian masalah dengan melibatkan orang tua pelaku, namun juga tindakan tegas mengeluarkan dari sekolah, agar tidak menjadi persoalan laten yang berulang. 

Penyelesaian kasus, mediasi kasus yang tuntas dan tegas menjadi salah satu solusi menjaga kredibiltas sekolah berasrama, agar tidak menjadi ruang yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Segala kemungkinan itu harus dilakukan dan menjadi komitmen bersama, bahkan banyak sekolah berasrama menambahkan fasilitas CCTV sebagai solusi pengawasan para siswanya. Bahkan kepedulian antar siswa menjadi "whistle blower" atas sebuah kejadian kekerasan harus dijaga kerahasiaanya. Sehingga setiap kali terjadi kasus, akan diselesaikan dengan cepat, plus komitmen pengawasan yang ketat. 

Tiga catatan track record ini, Masalah pengawasan, senioritas, dan penanganan kasus kekerasan bisa menjadi rekomendasi boarding school yang aman untuk anak-anak kita. 

referensi; 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun