Perang Rusia-Ukraina merubah konstelasi politik dunia. Bahkan Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20, merasakan langsung imbasnya. Berbeda dari presidensi G2o dua tahun sebelumnya yang hanya fokus pada pemulihan tiap negara dari pandemi, presidensi G20 kali ini, mendapat dua tekanan sekaligus.
Bahkan tema "Recover Together, Recover Stronger" yang pada awalnya merujuk pada pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19, tapi sejak berkecamuk perang Rusia-Ukraina, Â 24 Februari 2022 mendorong Indonesia memainkan peran lebih substansial pada agenda setting bagi pemulihan ekonomi global melalui Presidensi G20.
Termasuk di dalamnya memikirkan transformasi ekonomi digital dan transisi energi. Isu terakhir menjadi isu yang lebih rentan dan kritis. Ketika dunia tengah tertatih dari upaya membersihkan bumi melalui kerangka Nir Zero Emission-Paris Agrement, sejak 2015, harus ditambahkan "pekerjaan rumah" baru, perebutan akses energi.
Dari pusat-pusat energi fosil dunia, seperti halnya Rusia yang kaya dengan pasokan gasnya. Negara-negara konsumen gas tak lagi leluasa meng-order gas, karena implikasi politiknya begitu kental.
Ada kubu secara politik yang terbangun akibat konflik Rusia-Ukraina itu. Kubu pendukung Rusia, pendukung Ukraina dan kelompok-kelompok negara netral. Persoalannya adalah netralitas itu menjadi begitu mahal harganya, karena harus berurusan dengan urusan politik negara yang sedang berkonflik dan kelompok pendukungnya.
Simalakama Tuan Rumah G2o
Ketika Indonesia yang didaulat sebagai tuan rumah Presidensi G20, memutuskan untuk mengundang Rusia, karena negara tersebut adalah anggota tetap, menjadi tidak sesederhana seperti pada presidensi G20 tahun 2020 dan 2021. Ukraina juga berinisiatif untuk hadir sekalipun sebagai pengamat.Â
Persoalannya, ketika Ukraina juga hadir, maka Rusia berniat memboikot pertemuan tersebut, termasuk melalui pola boikot akses negara-negara yang menolak mendukung keputusannya-dengan mengurangi atau memutus pasokan jatah impor gas-nya.
Bagi Indonesia sendiri, tentu saja ini menjadi "buah simalakama", karena tak ada pilihan lain yang ketiga, yaitu bersikap netral.Â
Perseteruan konflik bahkan masuk langsung ke dalam ruang presidensi G20, merubah semua peta krisis di negara-negara yang bergantung pada Rusia sebagai pemasok gas utama dunia.Â