Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

A Thousand Miles Away #11 Ribuan Kunang-Kunang Raksasa

29 November 2021   13:28 Diperbarui: 7 Desember 2021   13:28 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
oneimages.wordpres.com

Sahabat Kompasianer-A Thousand Miles Away, adalah catatan ringan yang sedang disiapkan jadi buku, jadi catatannya seperti serial yang sambung menyambung menjadi satu, itulah buku-ku. Tulisan dibawah catatan #10

Kenangan yang bisa kuingat dari lampu "dian kurung atau damar kurung" adalah, ketika musim lampu ini tiba, depan jalan rumahku jadi seperti arena pameran. Para pedagang hilir mudik seperti bergelombang berjalan lewat depan rumah menuju kota. 

Karena jalan kusuma memang jalan utama ke kota, jadi hampir semua pedagang lampion tradisional ini lewat depan rumahku itu. 

Tradisi ini berlangsung selama jelang Hari Raya Idul Fitri. Menurutku unik juga, karena tradisinya mengadopsi tradisi lampion China, padahal untuk memperingati Idul Fitri. Sebuah asimilasi yang hangat, menyejukkan.

Aku dan adikku, biasanya duduk di depan rumah, selepas magrib melihat parade sambil berteriak-teriak setiap kali ada lampu yang berbentuk aneh atau dian kurung yang menurut kami hebat itu. Umumnya lampu berbentuk bintang, segitiga atau kubus, dengan lampu minyak kecil yang dibuat dari botol bekas obat dan diberi sumbu kompor. 

Biasanya Dian atau lampu  hias ini dijual dengan lampu yang telah dinyalakan, sehingga dari kejauhan kita bisa melihat para pedagang ini melintas, dari nyala lampu hias yang warna-warni itu.  Umumnya mereka membawa dagangan tidak bersepeda tetapi dengan memikulnya dengan bilah bambu khusus yang disebut "pikulan". Gelombang para penjual damar kurung yang ribuan jumlahnya, seperti ribuan kunang-kunang berwarna-warni.

Tradisi ini sudah lama sekali, barangkali sudah ada sebelum aku lahir, jadi aku tidak tahu apakah memang ini tradisi asli karesidenan kebumen ataukah asimilasi dengan Etnis Cina yang mendominasi perdagangan di kota, seperti di Jalan Kolopaking. Jika benar begitu, kenapa justru orang Wanayasa yang mahir dan memasarkannya ketika musim lampu lampu tiba?. 

Bentuk dian kurung memang sama dengan lampion, hanya saja bahannya dari kertas dan bambu yang diserut jadi sebesar lidi untuk kerangka. 

Bentuk yang paling populer adalah "  damar kurung" berbentuk komidi putar, dengan deretan gambar yang bisa bergerak dipinggiran kertas paling luar jika terkena hembusan angin. Biasanya berisi potongan kartun berupa wayang, atau bentuk lain yang indah dan ketika tersorot pendar lampu minyak yang ada dibagian tengah akan terlihat sangat indah siluetnya.

Karena dibuatnya agak rumit makanya harganya mahal untuk lampu dian kurung, karena selain lapisan kertasnya banyak, biasanya dibuat hanya oleh orang-orang yang ahli lampu, orang Wanayasa terkenal pandai membuat dian ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun