3.Mesak Soda (Guru Honorer, sejak 1982 hingga sekarang gaji Rp.350.000,-/bulan/dibayar per 3 bulan). (kurang lebih 29 tahun honorer, dengan penghasilan Rp. 350.000,-x12 bulan x 29=Rp.121.800.000,-).
Perjuangan mereka adalah cermin kesungguhan “guru” dalam makna yang sesungguhnya. Ketika dedikasi mereka melampui “batas” tanggungjawab yang seharusnya mereka tanggung. Lalu dimana peran pemerintah?, apakah mereka harus selalu menjadi pihak yang terlambat bertindak? Atau justru diuntungkan dengan begitu banyaknya guru-guru “patriot” yang berjuang dengan bayaran “alakadarnya”?. Ataukah karena dunia pendidikan kita tengah lebih disibukkan dengan “proyek-proyek pendidikan” sehingga proses “memanusiakan manusia” melalui pendidikan ala Paulo Freire terabaikan?. Ratusan hingga ribuan “patriot” pendidikan saat ini tengah menantikan “harapan”, yang pasti tidak saja untuk dirinya, tapi lebih pada harapan “sekolah layak” untuk anak-anak didiknya.
Laiknya sebuah sekuel film, Liyan adalah sekuel dari kisah Laskar Pelangi. Kisah-kisah dalam layar lebar kehidupan yang tak pernah menginjakkan kakinya di bioskop, sehingga tak pernah ketahuan rating dan pemeran utamanya. Dan penghargaan layaknya “piala citra” tak pernah masuk dalam agenda “panggung perfilman kehidupan”.Dan bagaimana dengan kisah yang sama di Nanggroe Aceh kita? [hans-acehdigest]
Satu dua tiga empat---Dorang belajar angka
Lima enam Tujuh Delapan---Dorang masih belum paham apa itu pembangunan
(sepotong kata penutup dalam film pendek swara Liyan)