layar.id
(Sebuah Renungan untuk Hari Bumi)
MESKIPUN film jenius karya James Cameron’s cuma fiksi, namun sesungguhnya merefleksikan bagaimana pertarungan manusia, hutan, tambang dan kepentingan orang terhadap kekayaan. Sebuah dialog yang menyentuh dalam sebuah episode film Avatar, antara Jake Sully dengan Hometree, pohon agung yang menjadi ibu bagi kehidupan suku Na’vi di dunia Avatar, yang menceritakan bahwa bumi pada masanya telah kehilangan seluruh pepohonannya karena peperangan dan tata kelola yang salah.
Film Avatar, The Na’vi Quest, produksi Century Fox Film Corporation pada 2009, ditulis dan disutradarai oleh James Cameron’s. Menggambarkan bumi dalam versi yang berbeda. Sebuah bumi rusak, dimana kota-kota yang kelabu dengan dinding kaca telah membentang hingga mencapai cakrawala dan menjulang tinggi di langit. Kecuali yang tersisa di ‘dunia Avatar’. Dan realitas itu mereflesikan bagaimana bumi kita kelak, jika kita tak mengelolanya dengan baik dan benar.
Dalam cara yang lebih dramatis, Alan Weisman menuliskannya dalam Dunia Tanpa Manusia (The World Without Us) yang mencoba menjelaskan dengan mencengangkan tentang apa yang terjadi pada bumi bila manusia tak ada lagi, dan tak pernah mau belajar dari masa lalunya, katanya; “Sesungguhnya, kita tidak tahu. Setiap teori akan dimentahkan oleh sikap keras kepala kita, yang membuat kita enggan menerima bahwa situasi terburuk mungkin sungguh akan terjadi. Kita mungkin terkecoh oleh naluri-naluri bertahan hidup kita, yang telah terlatih selama ribuan tahun untuk membantu kita menyangkal, menolak, atau mengabaikan tanda-tanda kiamat supaya kita tidak mati ketakutan.
‘Homo homoni lupus’ Barangkali benar bahwa kita memang homo homoni lupus, makhluk penyukai kekerasan dan menjadi serigala bagi manusia lainnya. Buktinya, kita selalu mempertahankan “kepentingan” diri sendiri melampui kepentingan orang lain. Kita memahami dengan sangat fasih dan haqul yaqin bahwa merusak hutan dan tambang berbahaya. Namun, dalam kenyataannya kita melakukan hal yang terlarang itu seperti ritual dengan dalih sebagai bagian dari survival, bertahan hidup dan pembangunan.
Dunia fiksi Avatar mencoba menggiring kita pada sebuah situasi dan kondisi, dimana kepentingan duniawi bermain dan mengabaikan kelestarian lingkungan. Setiap fragmen menggambarkan kekuasaan besar mencoba mengambil alih hak-hak ulayat terhadap hutan, karena kepentingan akan batuan mineral dari sebuah bulan dari planet Polyphemus yang disebut Pandora yang bernama Unobtanium, di bumi mineral ini berharga 35 juta dollar per ons. Dan demi kepentingan itu, 20.000 orang dari suku dan klan yang hidup dalam hutan di Pandora akan dikorbankan setelah seluruh cara bernegosiasi gagal. Realitas itu sama persis dengan kehidupan kita hari ini.
Hutan Aceh dipenuhi tidak saja oleh hutan tropis yang hijau namun juga timbunan mineral uranium, biji besi, minyak dan emas yang menjadi rebutan. Dalam kasus Lautan Hindia, Gayo, Alas, dan Selat Malaka (Ladia Galaska) menggambarkan adanya pertarungan dua kepentingan, membuka isolasi dan upaya menjaga hutan tetap lestari. Proyek mercusuar sepanjang 480 kilometer itu dimaksudkan untuk menghubungkan pantai Barat dan Timur Aceh. Ruas jalan itu dibagi dalam tiga jalur, yakni ruas jalan Jeuram Beutong Ateuh Takengon, ruas Takengon Isei-Isei Blangkejeren dan Blangkejeren-Pinding Lokop Peurelak. Meskipun hakekatnya tak ada yang setuju adanya daerah terisolir, namun setidaknya ada kebijakan menjaga lingkungan yang sepadan dan seiring jalan dengan pembukaan isolasi daerah terpencil itu.
Kekhawatiran akan adanya “permainan” dalam memanfaatkan ruas jalan baru yang melalui jalur Kawasan Ekosistem Leuser, sangat wajar telah memunculkan ketakutan rusaknya hutan hijau Leuser. Sehingga dalam sisa perjuangannya NGO lingkungan yang menjadi pihak penggugat keberadaan ruas jalan baru Ladia Galaska itu masih berusaha untuk “mengawal” keberlanjutan membangun jalan pembuka isolasi itu. Salah satu solusinya dengan penyusunan konsep Kajian Perlindungan Hidup Strategis (KLHS), yang dipayungi UU Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, agar menjadi instrumen untuk mencegah terjadinya kesalahan investasi dan menjamin perlindungan lingkungan dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Inti sebenarnya adalah bahwa sesungguhnya tidak ada niatan dari NGO lingkungan untuk mengganjal laju pembangunan Aceh dengan menghalangi isolasi daerah dalam balutan Proyek pembangunan jalan tersebut. Namun karena dalam relitasnya jalur ruas jalan baru itu melalui Kawasan Ekosistem Leuser yang menjadi warisan utama Aceh dan dunia. Maka wajar jika kekhawatiran itu muncul. Dalam bagian episode terakhir film Avatar, Jack Sully mencoba menjadi perantara bagi kemungkinan dialog antara suku Na’vi dan manusia langit (sebutan untuk manusia bumi), namun ketika hal itu tak terpenuhi justru manusia menjadi inisiator yang merampas hak ulayat suku Na’vi. Dan realitas itulah yang sesungguhnya banyak terjadi. Ketika kasus lingkungan berbenturan antara kepentingan penguasa dan petualang bisnis dengan hak rakyat, maka negosiasi dibangun namun seringkali tidak pada koridor win-win solution, sehingga memunculkan berbagai konflik horizontal dan vertikal, dan ketika “perlawanan” dari rakyat muncul, ditanggapi sebagai perlawanan rakyat terhadap pemerintah dan pembangunan.
Tak usah jauh, kita bisa berkaca pada kasus di Aceh Jaya terkait alih fungsi hutan gambut Rawa Tripa bagi pembukaan lahan sawit, dengan proses land clearing. Ketika muncul gugatan karena adanya ketimpangan tentang kedalaman gambut yang menyalahi aturan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pengeluaran izin yang menyalahi prosedur dan tata cara land clearing yang “brutal” dengan membakar lahan, menimbulkan berbagai konflik baru karena merugikan rakyat banyak. Kenyataannya kasus itu tak mudah dihentikan. Kasusnya baru berakhir, namun ketika Rawa Tripa hampir menuju ambang kepunahan, termasuk musnahnya primata dan berbagai spesies yang selama ini menghidupi banyak jiwa yang hidup di sekitar Rawa Tripa.