Hujan masih menyisakan rintiknya di sore itu. Udara lembab dan desir angin terasa dingin, menembus kulit dan pori-pori seorang ibu yang renta di rumah tua.Â
Ia duduk di halaman rumah, menunggui anaknya yang dikabarkan sekarat dan dibawa pulang ke kampung halaman. Kembali ke pangkuannya. Berjuang antara hidup dan mati. Kembali ke gubuk tua, di tempat dimana dulu, ia dilahirkan.Â
Prasto, anak lelakinya itu sedang sekarat. Dikabarkan sakit parah selama sebulan lebih. Berjuang menghindari kematian karena penyakit yang menggerogotinya itu.Â
Pandemi, telah berlalu. Pikir sang Ibu, namun kenapa tiba-tiba anaknya sakit parah? Pikirnya, masih tak habis mengerti. Padahal, anaknya tak pernah terdengar kabar sakit sebelumnya.Â
Sehari sebelum ke kampung halaman, Tuminah, istri Prasto atau menantunya itu menelpon. Prasto sakit parah, setelah kelelahan seharian mengumpulkan teman-temannya.Â
Prasto, yang buruh pabrik itu, mencalonkan diri sebagai ketua serikat pekerja di pabrik itu. Dan Prasto pun terpilih. Ia, berencana memimpin rekan-rekan buruh berunjuk rasa untuk kenaikan upah dan perbaikan nasib para buruh. Rencana untuk satu atau dua bulan mendatang. Â
Kabar itupun terdengar oleh pemilik perusahaan dan membuatnya tidak senang. Bos perusahaan itu tak menghendaki Prasto memimpin demo para buruh. Kemenangan Prasto dalam pemilihan ketua serikat buruh itu, ditujukan justru untuk mengamankan perusahaan.
 "Prasto, berkhianat!" geram bos perusahaan itu.Â
"Betul, ia memanfaatkan kesempatan sebagai ketua serikat buruh" kata bos perusahaan lainnya.
 "Iya, Prasto mengingkari janji, tahu begini kita tidak usah memenangkan dia" sambung bos yang lain.Â