Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Persaudaraan Islam-Kristen: Belajar dari Budaya Maluku Masa Lampau

7 Juli 2020   14:15 Diperbarui: 7 Juli 2020   22:02 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Persaudaraan, Sumber : https://docplayer.info/

Jadi, budaya masa lampau Maluku, sebenarnya, menempatkan budaya lokal itu terus hidup, sehingga dalam sebutan lokal, relasi Islam Kristen itu sebagai Salam dan Sarani yang menyatu dalam pelukan budaya lokal. Identitas orang Maluku yang sejati. Salam-Sarani, adalah penyebutan relasi Islam dan Kristen yang khas Maluku, karena keduanya adalah berasal dari budaya leluhur Maluku yang sama.

Saya memahami itu dari cara pandang terhadap budaya masa lampau. Bahkan dengan sangat otentik, dapat ditunjukkan dari artefak-artefak peninggalan budaya leluhur. Ada masjid kuno, di Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Ciri arsitektur masa sejarah Islam, namun dibangun juga untuk memberi simbol bagi saudaranya yang Kristen. 

Pada Abad 16-17M,  di tempat itu hidup Kerajaan Hatuhamarima namanya, terdiri dari lima kampung. Empat kampung memeluk Islam (Pelau, Rohomoni, Kabau dan Kailolo) dan satu kampung memeluk Kristen (Hulaliu). Bangun arsitektur kunonya, menunjukkan dua bangunan masjid yang menyatu. 

Bangunan yang lebih besar, sebagai simbol empat kampung Islam dan bangunan yang lebih kecil, simbol satu kampung Kristen. Itu salah satu contoh saja, bahwa budaya masa lampau Maluku, menempatkan persaudaraan Islam dan Kristen, sebagai bagian dari budaya lokalnya. 

Dari catatan lain, misalnya peneliti Bartel, seorang antropolog Jerman, jauh sebelunya, di tahun 1970an, sudah menuliskan ungkapan persaudaraan orang Islam dan Orang Kristen Maluku, dengan kalimat yang sangat indah "Salam dan Serani, Pegang tangan-tangan ramai-ramai". 

Dalam terjemahan bebas, pantun tersebut berarti "Muslim dan Kristen, berpegangan tangan, bergembira ria", atau "Selama Muslim dan Kristen terikat bersama, hidup jadi sangat menyenangkan".

Pengetahuan dan pengalaman yang saya peroleh ini, membuat saya semakin yakin, bahwa budaya asli Orang Maluku, budaya leluhurnya, adalah budaya yang terus tumbuh, menjadi tradisi yang mengakar, diwariskan dari generasi ke generasi untuk membangun peradaban dalam identitas budaya yang menempatkan persaudaraan dalam ruh kebudayaan itu. 

Hal ini membuat saya semakin menunduukan kepala, merenung, bahwa akar budaya yang kuat, sesungguhnya adalah sumbu yang menghidupkan, menjadi ruh dari Identitas Kemalukuan yang bersaudara dalam bingkai kepelbagaian.

Baiklah...mungkin saya hanya contoh kecil saja, orang yang memetik pelajaran dan pengalaman berharga ini. Pengalaman menjumpai fenomena kebudayaan yang indah dari masa lalu. 

Tapi, saya bukan hanya memetik pelajaran dari masa lampau. Tapi sekaligus menjumpai pengalaman secara langsung pada saat ini. Saya belajar dan banyak memetik pengalaman di Maluku. Dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, dari desa ke desa, yang pernah saya kunjungi. 

Peradaban Maluku kini, yang saya jumpai, tampak sekali ruang budaya yang terus menghidupkan akar budaya leluhur, tanpa kehilangan momentum peradaban zaman yang terus berkembang. Justru, proses yang sedemikian itu, mata dan hati saya melihat, kemajuan peradaban masyarakat Maluku, akan terus relevan mengikuti perkembangan zaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun