[caption id="attachment_85174" align="alignleft" width="300" caption="Anakku yg Penasaran - Dok. Pribadi"][/caption]
Entah sebab apa, tiba-tiba saya teringat kantor yang terpaksa saya tinggalkan, tempat dimana 43% umur saya pernah tertambat. Banyak peristiwa berlintasan hingga agak lama terkunci oleh kenangan sebuah group musik keroncong di kantor itu yang pernah memengaruhi saya. Konon kemunculan Orkes Keroncong BCD itu atas dasar kesuntukan anggotanya ketika bertugas di lapangan dalam proyek kilang Batara Complex Development, di Jambi (2005). Saya salut dengan teman-teman yang masih tergolong muda itu yang berusaha menyukai musik keroncong, meski tidak sefanatik saya. Selama site visit ke Jambi, saya sempat menyaksikan mereka berlatih sekaligus ikut menghibur diri.
Setelah proyek selesai, group itu tetap eksis di home office di Jakarta. Saya sering melihat mereka berlatih. Mereka tampil di setiap malam kesenian yang diadakan kantor kami. Cukup unik dan menarik perhatian karena berbeda dengan group musik anak muda lainnya, apalagi sering mendapat kehormatan mengiringi beberapa manager dan direksi tampil menyanyi bersama.
Kekurangan dari group itu adalah tidak adanya pemain flute. Padahal flute adalah alat musik penting untuk sebuah musik keroncong. Sehingga setiap kali tampil di panggung, harus menyewa pemain profesional dari luar kantor. Karena: keinginan bergabung, kurang berbakat sebagai penyanyi dan merasa bisa meniup seruling bambu, maka saya ingin mengisi kekurangan itu. Tentu saja saya harus memiliki flute dan bisa memainkannya terlebih dahulu.
Sebetulnya memilikii flute adalah angan-angan saya sejak lama, namun setiap kali melihat harganya, pudar pula angan-angan itu. Saya ikut teman-teman group itu ke toko alat musik langganan mereka. Tak satupun dari kami yang tahu cara memainkannya, sehingga agak kebingungan saat harus memilih flute dari beberapa merek dan macamnya itu. Kebetulan ada pembeli lain, ia mencoba-cobanya. Jadilah saya latah membeli seperti yang dibelinya, yang harganya masih terjangkau kantong saya.
Pada mulanya bingung juga bagaimana cara memainkannya. Lubang dengan penutupnya itu lebih banyak dari jumlah jari-jari tangan dan sungguh tidak ada mirip-miripnya dengan seruling bambu. Sudah saya cari di beberapa toko buku, tetap saja tidak menemukan buku pedoman memainkan flute, kebanyakan hanya untuk gitar dan piano. Tidak kurang akal, saya mencari di internet dan menemukan juga.
Memainkan flute juga tidak segampang seruling bambu. Mulut harus diletakkan sedemikian rupa di sisi lubang tiup, sambil kesepuluh jari aktif membuka dan menutup lubang lainnya sesuai bagiannya masing-masing. Alat musik ini memang diskriminatif. Meski (maaf) Hee Ah Lee yang berjari empat piawai dan dikagumi dunia dalam memainkan piano, tentu akan merasa terhina dan dilecehkan jika diminta memainkan flute di atas pentas. O ya, selain diskriminatif, juga egois. Flute kurang nyaman dipakai bergantian, karena setiap memainkannya, liur sebagai hasil kondensasi dari akumulasi tiupan bisa mengalir dan mengucur (anak-anak saya suka penasaran ikut mencoba, hasilnya cuma menambahi liur saja, hehehe...). Saya perlu rajin membersihkannya (jangan-jangan saya saja yang salah cara meniupnya).
Memainkan flute membutuhkan pengaturan nafas dan dalam kondisi sehat(hidung tidak mampet). Barangkali karena tanpa bimbingan, saya selalu terengah-engah kurang bisa mengatur nafas. Paru-paru serasa kehabisan udara dan perlu mengambil jeda beberapa waktu sebelum memulainya lagi. Baru bisa memainkan satu nada dasar standar, saya memberanikan diri ikut latihan, yang rupanya sebagai yang pertama dan terakhir kalinya.
[caption id="attachment_85211" align="alignleft" width="300" caption="Kantor Kenangan - Dok.Pribadi"]

Berhubung petinggi kantor yang menjadi bos group ini resign, keberadaan group keroncong itu pun layaknya anak ayam kehilangan induknya, makin jarang saja latihan. Keinginan saya yang menggebu-gebu untuk menjadi pemain musik keroncong pun surut. Mulai jarang memainkan flute, apalagi ditambah kemalasan merangkai tiga bagian flute setiap kali akan dipakai, juga sesudahnya harus mencopot dan membersihkan satu persatu bagian itu untuk disimpan kembali di tempatnya.
Karena masih belajar dan jauh dari piawai memainkan flute itulah, maka setiap kali mendengar musik keroncong (juga musik apa saja yang menggunakan flute), saya jadi tertarik suara flute-nya. Saya mengagumi improvisasi pemain flute dan biola yang saling mengisi dengan harmonis, sesuatu yang sulit saya tiru, sehingga membuat saya makin menikmati saja musik itu. Sama seperti menonton sepak bola, akan lebih menikmati jika setidak-tidaknya pernah bermain bola. Atau seperti pengakuan seseorangberikut ini.
Seseorang itu adalah pengunjung pameran batik yang baru-baru ini diadakan di Jakarta, pameran yang juga menyediakan stand untuk praktek membuat batik. Ia terkesan ketika mencoba menggunakan canting untuk membatik, karena ternyata harus telaten dan cukup njlimet, tidak semudah yang dibayangkannya. Selanjutnya ia merasa makin mencintai dan menghargai batik. Harga batik yang semula dikiranya terlalu mahal, disadari kemudian memang sepadan dengan jerih payah pembuatannya.
Saya baru sadar untungnya PERNAH. Ya, hanya sekedar pernah melakukan sesuatu yang belum ada hasilnya, sudah cukup membuat seseorang LEBIH mecintai dan menghargai sesuatu itu, apalagi jika ahli. Ooh, saya jadi tahu sebabnya mengapa saya tiba-tiba teringat kantor yang masih saya cintai itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI