Menyalakan kembang api atau petasan di malam takbiran barangkali hal yang biasa dilakukan banyak orang, dilakukan masyarakat di banyak tempat. Baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Akan tetapi menyalakan "bedil lodong" atau tepatnya "meriam lodong" di malam takbiran mungkin tidak banyak orang yang melakukannya. Hal itu hanya dilakukan masyarakat di beberapa tempat tertentu saja. Salah satunya di kecamatan Bojongpicung, Cianjur, Jawa Barat.
"Bedil lodong" mengacu kepada mainan bedil-bedilan yang biasa dimainkan oleh anak-anak, remaja, sampai dewasa, yang terbuat dari bambu. Fungsi dari mainan itu adalah untuk diambil suaranya.
Satu ruas bambu yang cukup besar dipotong, kemudian dilubangi di tempat tertentu. Agar bedil lodong menghasilkan suara layanknya bedil (senapan), dimasukan karbit dalam wadah plus sedikit air. Kemudian disulut dengan api. Bedil lodong pun mengeluarkan suara yang cukup keras.
Itu "bedil lodong" yang default. "Bedil lodong" yang sudah mengalami transformasi tidak lagi terbuat dari bambu, tapi dari pohon lain yang lebih besar, yakni pohon kawung (aren).
Untuk bisa dijadikan "bedil lodong", pohon kawung (aren) dilubangi dan diambil bagian dalamnya. Yang disisakan hanya kulit bagian luar dengan ketebalan sekira 5 cm. Pohon kawung (aren) pun jadi seperti tong yang panjang.
"Bedil lodong" yang terbuat dari pohon kawung (aren), karena ukurannya yang besar dan panjang, tentu tidak bisa ditenteng seperti "bedil lodong" yang terbuat dari bambu. Untuk menyalakannya di tanam di dalam tanah. Dengan demikian tidak cocok lagi disebut sebagai "bedil lodong", tapi "meriam lodong".
Nah "meriam lodong" itu yang biasa dinyalakan oleh masayarat yang ada di kampung Babakan Soka dan kampung Bojongpicung. Mereka menyalakannya di setiap malam takbiran.
Tentu saja "meriam lodong" menghasilkan suara yang keras dan menggelegar, memekakkan telinga. Kaca-kaca rumah yang ada di sekitar lokasi "meriam lodong" pun bergetar keras. Bahkan tahun lalu pernah ada orang yang pingsan akibat suara "meriam lodong".