Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saat Ini Tidak Ada Pemain ke-12, Pertandingan Menjadi Lebih Fair?

8 Juli 2020   20:19 Diperbarui: 9 Juli 2020   05:53 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suporter Sepak bola Berbuat Rusuh (tribunnews.com)

Dalam sebuah kompetisi atau kejuaraan sepak bola seperti dalam Liga Champions Eropa misalnya, dikenal ada pertandingan home and away atau pertandingan kandang dan tandang. Yaitu pertandingan sebanyak dua kali, yang dilakukan di kandang sendiri dan di kandang lawan.

Biasanya tim yang bertindak sebagai tuan rumah (kandang) lebih diunggulkan daripada tim tamu. Mengapa ? Salah satunya karena faktor suporter atau penonton. Sebagaimana namanya, suporter ini memberikan semangat dan dukungan penuh kepada tim kesayangannya yang bertindak sebagai tuan rumah.

Selain sebagai pemberi semangat tim kesayangan, suporter seringkali juga menjadi "terrorist" (peneror) bagi tim lawan. Teriakan-teriakan, yel-yel, kata-kata cemoohan, provokasi, atau intimidasi yang dilontarkan, bahkan tindakan-tindakan cenderung brutal dan membahayakan kadang membuat drop mental bertanding tim lawan.

Sehingga tak jarang tim tamu yang hebat sekali pun ketika bertandang ke markas tim yang memiliki suporter fanatik, kehebatannya berkurang karena pressure dari para suporter tim tuan rumah tadi. Akibatnya tak sedikit tim hebat harus menelan kekalahan dari tim tuan rumah dalam laga tandangnya.

Besarnya pengaruh para suporter menyebabkan tim yang didukungnya di lapangan seolah-olah seperti memiliki jumlah pemain lebih banyak. Oleh karena itu para suporter seringkali dipandang sebagai pemain ke-12 (kedua belas) bagi tim yang didukungnya.

Di Indonesia siapa yang tak mengenal nama Viking, Bonek, Aremania, LA mania, atau The Jakmania ? Mereka adalah kelompok para suporter sepak bola fanatik Persib Bandung, Persebaya Surabaya, Arema Malang, Persela Lamongan, dan Persija Jakarta.

Di Eropa kita familiar dengan nama Interisti, Milanisti, Juventini, Barcelonistas, Madridistas, Liverpudlian/Kopites, Citizen, atau Gala. Mereka kelompok suporter dari Inter Milan, AC Milan, Juventus, Barcelona, Real Madrid, Liverpool, Manchester City, dan Galatasaray.  

Saat ini di era new normal, pertandingan sepak bola di banyak negara Eropa bergeliat kembali melanjutkan sisa kompetisi. Tetapi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Salah satunya pertandingan dilakukan tanpa dihadiri penonton kedua belah tim.

Kita lihat Bundesliga, Serie A, La Liga, atau Premier League, dilangsungkan tanpa dihadiri penonton. Bangku penonton yang biasanya penuh sesak oleh para suporter, sekarang hanya diisi dengan aksesoris warna warni.

Ketiadaan suporter dalam laga liga-liga Eropa di atas praktis membuat pertandingan menjadi sepi. Tidak ada sorak sorai, yel-yel, atau aksi-aksi lain yang menjadi penyemangat tim yang didukung dan membuat drop mental tim lawan. Dengan demikian, pemain ke-12 dalam era new normal ini menjadi tidak ada.  

Dengan tidak adanya pemain ke-12, apakah berarti pertandingan menjadi lebih fair ? Bisa jadi. Harusnya memang para pemain tidak lagi merasa diprovokasi atau diintimidasi oleh para suporter, sehingga mereka lebih lepas bermain mengeluarkan semua skill dan teknik pemainan yang dimilikinya.

Akan tetapi selain para suporter yang biasa disebut sebagai pemain ke-12, sebenarnya ada lagi pihak lain yang juga terkadang disebut pemain ke-12. Dialah wasit sebagai pengadil di lapangan.

Mengapa wasit terkadang juga disebut sebagai pemain ke-12 padahal tidak seperti suporter yang memiliki daya pressure terhadap pemain di lapangan ? Ya, wasit memang tidak memiliki "power" seperti yang dimiliki para suporter. Tetapi jangan lupa, wasit memiliki sesuatu yang justru tidak dimiliki para suporter, yakni kekuasaannya dalam mengambil keputusan di lapangan. 

Seorang wasit yang tidak jujur atau "bisa dibeli" bisa saja dengan kekuasaan yang dimilikinya akan memenangkan tim yang "membeli" dirinya, dengan cara mengatur skor pertandingan misalnya. Kasus seperti ini sudah banyak terjadi dalam pertandingan sepak bola.

Kita ingat salah satu klub elit Italia dan dunia, Juventus pernah terperosok dalam "lubang" Calciopoli. Wasit lah yang dominan dalam Calciopoli itu. Sehingga Juventus dianggap sebagai tim yang selalu diuntungkan atau dimenangkan oleh wasit.

Di Indonesia sendiri beberapa kali terjadi kasus mafia wasit. Banyak wasit terlibat dalam kasus ini. Modusnya dengan kekuasaan yang mereka miliki di lapangan, mereka memberikan keuntungan atau kemenangan kepada tim yang sudah melakukan deal dengan dirinya.

Dengan demikian, walau pun saat ini pertandingan sepakbola pada era new normal di beberapa liga Eropa tidak dihadiri para suporter sebagai pemain ke-12, tidak serta merta pertandingan akan berjalan secara fair.  Hal itu terjadi jika ada pemain ke-12 lain yang ikut bermain di lapangan, yakni wasit sebagai pengadil di lapangan yang tidak adil, yang menyalahgunakan kekuasaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun