Mohon tunggu...
Wiwik TriErnawati
Wiwik TriErnawati Mohon Tunggu... Pemerhati masalah sosial

Penggerak Literasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jarak yang Tak Terlihat: Dikotomi Sekolah Negeri dan Swasta dalam Arena Persiapan TKA

16 Oktober 2025   08:45 Diperbarui: 16 Oktober 2025   08:45 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kabar Madura

Pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA)  yang akan dilaksanakan pada  tanggal 3-4 Nopember 2025 dan 5-6 Nopember 2025 seharusnya menjadi ajang yang memberikan kesetaraan bagi seluruh siswa di Indonesia. Seharusnya panggung Tes Kemampuan Akademik (TKA) menjadi arena meritokrasi, tempat setiap siswa, terlepas dari latar belakang sosial dan status sekolahnya, dapat membuktikan kapasitasnya secara setara. Namun, di balik narasi kesetaraan itu, terkuaklah jurang pemisah yang semakin dalam: sebuah dikotomi struktural antara sekolah negeri dan swasta yang secara fundamental memengaruhi kualitas persiapan TKA, efektivitas penempaan murid, dan akhirnya, peluang mereka untuk meraih kursi di perguruan tinggi unggulan. Ketidakadilan ini bukan hanya terlihat dari perbedaan biaya SPP yang fantastis, melainkan terselip dalam detail-detail krusial, mulai dari ketersediaan satu unit komputer per siswa, intensitas sesi try out mingguan, hingga akses terhadap coach psikologis, yang secara kolektif menciptakan dua kelas pejuang TKA dengan modal bertarung yang sangat timpang. Opini ini berpendapat bahwa selama kita mengabaikan disparitas dalam pembiayaan, fasilitas, dan strategi persiapan, TKA akan terus berfungsi sebagai cermin yang memantulkan ketidakadilan struktural, alih-alih sebagai alat ukur kemampuan yang objektif. Opini ini juga  menegaskan bahwa ketidaksetaraan dalam pembiayaan, fasilitas, dan strategi penempaan murid telah menciptakan dua kelas pejuang TKA yang tidak seimbang, di mana akses terhadap keunggulan akademik seringkali ditentukan oleh kemampuan finansial institusi, bukan semata-mata potensi atau kerja keras siswa.

Biaya: Membeli Keunggulan vs. Mengandalkan Subsidi

Dikotomi yang paling mencolok terletak pada sektor pembiayaan persiapan TKA. Di Sekolah Negeri, persiapan TKA, secara ideal, terintegrasi penuh dalam kurikulum dan didanai oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Sekolah dilarang memungut biaya tambahan untuk hal yang seharusnya menjadi bagian dari kewajiban pendidikan. Namun, keterbatasan dana BOS seringkali hanya mampu menutupi kebutuhan standar, seperti pengadaan materi ajar, pelatihan guru, dan satu atau dua kali simulasi mandiri. Sementara itu, di arena Sekolah Swasta, terutama yang berlabel unggulan, persiapan TKA adalah sebuah industri yang terbiayai mahal. Dengan dana SPP dan uang pangkal yang signifikan, sekolah swasta mampu menghadirkan paket lengkap: kelas tambahan berjam-jam, modul eksklusif yang diperbarui setiap tahun, kolaborasi dengan lembaga bimbingan belajar terkemuka, hingga sesi coaching psikologis untuk manajemen stres. Para siswa swasta ini, secara efektif, membeli lingkungan belajar yang hampir menjamin keunggulan komparatif, sementara siswa negeri harus puas dengan sumber daya yang terbatas.

Fasilitas: Jaminan Infrastruktur vs. Keterbatasan Anggaran

Perbedaan biaya ini berkorelasi langsung dengan pemenuhan fasilitas, yang krusial untuk TKA berbasis komputer (CBT). Meskipun pemerintah telah mewajibkan semua sekolah untuk memfasilitasi TKA, realitas infrastruktur tetap timpang. Banyak Sekolah Negeri, khususnya di daerah, masih berjuang dengan jumlah komputer yang minim, rasio komputer-siswa yang timpang, atau kualitas jaringan internet yang tidak stabil, membuat sesi simulasi massal menjadi tantangan logistik yang nyata. Sebaliknya, Sekolah Swasta unggulan nyaris tanpa cela dalam hal ini. Mereka memiliki laboratorium komputer dengan spesifikasi tinggi, bandwidth internet yang mumpuni, dan bahkan sistem backup daya untuk memastikan tidak ada gangguan selama simulasi atau pelaksanaan tes. Ketersediaan fasilitas yang terjamin ini tidak hanya memuluskan proses ujian, tetapi juga membangun kepercayaan diri dan keakraban mental siswa terhadap format tes digital.

Kemampuan Murid: Penempaan Terfokus vs. Heterogenitas Sumber Daya

Pada akhirnya, segala perbedaan ini bermuara pada kesiapan dan kemampuan murid. Sekolah Swasta, yang seringkali menjalankan seleksi masuk ketat, telah menghimpun murid dengan kemampuan akademik awal yang tinggi. Ditambah dengan fasilitas dan intensitas program persiapan TKA yang terfokus dan didukung biaya tak terbatas, penempaan kemampuan mereka cenderung lebih terpersonalisasi dan agresif. Mereka tidak hanya belajar, tetapi dilatih untuk menguasai strategi ujian secara spesifik. Di sisi lain, Sekolah Negeri, yang menampung spektrum siswa yang jauh lebih heterogen (terutama pasca sistem zonasi), harus berusaha keras untuk mengangkat seluruh murid dengan sumber daya yang serba terbatas. Guru-guru di sekolah negeri harus bekerja ekstra keras untuk menjembatani kesenjangan internal sembari bersaing dengan sekolah swasta yang memiliki modal tak terbatas.

Opini saya, fenomena ini adalah kegagalan sistemis untuk menjamin equal opportunity. Selama pemerintah tidak melakukan intervensi radikal untuk menyuntikkan dana spesifik yang cukup besar untuk peningkatan fasilitas teknologi, pelatihan guru intensif, dan pengadaan modul setara kualitas swasta bagi seluruh sekolah negeri, TKA akan terus melanggengkan siklus di mana keunggulan akademik menjadi komoditas yang dapat dibeli, bukan hasil murni dari bakat dan kerja keras yang merata. Untuk benar-benar mewujudkan keadilan pendidikan, jaminan kesetaraan fasilitas dan kualitas persiapan TKA di sekolah negeri harus menjadi prioritas nasional.

Singkatnya, TKA, yang seharusnya menjadi alat untuk mengevaluasi mutu pendidikan secara adil, justru menjadi cermin yang memperlihatkan kesenjangan sosial-ekonomi yang bersembunyi di balik dikotomi sekolah negeri dan swasta. Jika pemerintah ingin TKA benar-benar berfungsi sebagai tolok ukur yang setara, maka intervensi tidak cukup hanya pada penyelenggaraan tesnya yang digratiskan, melainkan harus berfokus pada pemerataan total sumber daya dan kualitas persiapan di semua jenjang sekolah negeri, sehingga setiap siswa, tanpa memandang status sekolahnya, memiliki akses yang sama terhadap jalur kesuksesan akademik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun