Dalam narasi panjang tentang kejahatan terhadap perempuan, ada satu babak yang kini semakin sering muncul: fenomena femisida atau pembunuhan terhadap perempuan, semata-mata karena mereka adalah perempuan. Ini adalah puncak gunung es dari seluruh mata rantai kejahatan yang tak pernah usai. Jika kita melihat berita hari ini, kasus-kasus pembunuhan perempuan bukan lagi hal yang mengejutkan, melainkan menjadi berita harian yang berulang, dari Sabang sampai Merauke.
Fenomena ini adalah wujud paling brutal dari apa yang kita sebut sebagai "hulu ke hilir" kejahatan. Kejahatan terhadap perempuan adalah sebuah sungai tanpa muara, mengalir dari hulu yang tak terlihat hingga ke hilir yang menghancurkan. Di hulu, airnya jernih namun mengandung racun. Racun itu adalah stereotip gender yang diwariskan dari generasi ke generasi, keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang harus dilindungi, atau lebih buruk lagi, dikuasai. Di sini, kekerasan belum berbentuk pukulan atau teriakan, melainkan berupa bisikan-bisikan yang meracuni pikiran: "Perempuan tidak perlu sekolah tinggi," "Perempuan harus sabar dan mengalah," atau "Tubuh perempuan adalah milik bersama." Bisikan-bisikan inilah yang menumbuhkan tunas-tunas kebencian dan merendahkan martabat perempuan.
Di hulu, ada pemahaman yang keliru dan berbahaya tentang relasi kuasa. Aliran sungai itu semakin deras di tengah. Racun yang tak terlihat kini menjelma menjadi kekerasan yang nyata. Ada kekerasan dalam rumah tangga yang mengubah rumah, seharusnya tempat paling aman, menjadi medan perang. Ada pelecehan di ruang publik yang membuat perempuan selalu berjalan dengan kepala menunduk dan cemas. Ada eksploitasi di tempat kerja yang menghisap tenaga mereka dengan upah tak layak. Dan ada kekerasan siber yang menjadikan ruang virtual sebagai panggung penghakiman dan perundungan tanpa ampun.
Di sini, kejahatan terhadap perempuan tidak lagi bersifat personal, tetapi menjadi sebuah epidemi yang menyebar di setiap sudut kehidupan, dari gang sempit hingga jalan raya yang ramai. Pelaku, yang seringkali adalah pasangan, mantan pasangan, atau orang terdekat korban, merasa memiliki hak penuh atas hidup perempuan. Ketika hubungan tidak berjalan sesuai keinginan, atau ketika perempuan menolak, berpisah, atau menuntut haknya, dominasi dan rasa kepemilikan itu berubah menjadi amarah yang mematikan. Motif-motif seperti kecemburuan, sakit hati karena perselingkuhan yang dituduhkan, hingga penolakan untuk kembali, adalah manifestasi dari kegagalan pelaku untuk melihat perempuan sebagai individu yang setara, bukan sebagai properti.
Di tengah, kita melihat bagaimana ketidakmampuan masyarakat dalam mengintervensi masalah "privat" ini berujung pada hilangnya nyawa. Banyak kasus femisida bermula dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan dalam pacaran (KDP) yang diabaikan. Lingkungan sekitar, bahkan keluarga, seringkali menganggapnya sebagai "urusan rumah tangga" yang tidak boleh dicampuri. Alhasil, korban kekerasan tidak mendapatkan pertolongan yang mereka butuhkan, dan lingkaran kekerasan itu terus berputar hingga mencapai puncaknya: pembunuhan. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa mayoritas kasus femisida di Indonesia berawal dari kekerasan yang seharusnya bisa dicegah.
Pada akhirnya, sungai itu bermuara di hilir, yang tersisa hanyalah tragedi, meninggalkan jejak kehancuran yang tak terhapuskan. Yang tersisa adalah trauma yang membekas, ketakutan yang mengakar, dan hilangnya kepercayaan diri. Keluarga korban hancur, anak-anak kehilangan ibu, dan masyarakat kehilangan salah satu anggotanya. Penegakan hukum yang seringkali lambat dan kurang memiliki perspektif korban menambah luka. Terkadang, media pun tanpa sadar ikut memperparah keadaan dengan memberitakan secara sensasional tanpa mempertimbangkan martabat korban. Ini menciptakan siklus di mana kejahatan terhadap perempuan terus terjadi, karena budaya impunitas yang merasa bahwa kejahatan ini tidak akan mendapatkan hukuman yang setimpal.
Korban-korban kejahatan ini seringkali terpaksa menanggung beban sendirian, karena masyarakat yang seharusnya menjadi penolong, justru seringkali menghakimi. Mereka dipandang sebagai aib, bukan korban. Dan yang paling menyakitkan, sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir, terkadang justru tumpul. Namun, di tengah semua kehancuran ini, perjuangan tidak pernah berhenti. Perempuan, bersama para sekutunya, terus berupaya membendung aliran sungai kejahatan ini. Mereka membangun tanggul berupa kesadaran, pendidikan, dan advokasi hukum. Meskipun sungai itu masih terus mengalir, setidaknya kini ada harapan bahwa suatu hari, alirannya akan surut dan kita bisa membangun kembali hulu yang lebih adil dan damai bagi semua.
Meningkatnya fenomena femisida adalah pengingat yang mengerikan bahwa perjuangan melawan kejahatan terhadap perempuan masih sangat panjang. Ini bukan hanya tentang menangkap pelaku, tetapi tentang membongkar seluruh sistem yang membiarkan kejahatan ini terjadi. Ini adalah seruan bagi kita semua untuk tidak lagi menutup mata terhadap kekerasan "privat," untuk mulai menganggap setiap pelecehan dan kekerasan sebagai masalah publik, dan untuk menuntut keadilan yang sesungguhnya bagi setiap perempuan yang menjadi korban.
Kejahatan terhadap perempuan adalah luka yang menganga dalam kemanusiaan kita. Setiap kali seorang perempuan menjadi korban, kita semua kehilangan sepotong harapan. Mari kita bersatu, bukan hanya untuk mengutuk, tapi untuk menghentikan. Karena pada akhirnya, kebebasan dan keamanan seorang perempuan adalah kebebasan dan keamanan bagi seluruh peradaban kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI