Mohon tunggu...
Wiwik TriErnawati
Wiwik TriErnawati Mohon Tunggu... Pemerhati masalah sosial

Penggerak Literasi

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Puncak Keputusasaan: Saat Sulit Berdamai dengan Keadaan

23 September 2025   19:59 Diperbarui: 23 September 2025   19:59 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: cusomag.com

Setiap dari kita pasti pernah mencapai titik terendah dalam hidup, sebuah jurang keputusasaan yang terasa begitu dalam hingga sulit menemukan jalan keluar. Dalam kesunyian itu, waktu seolah berhenti. Setiap detik terasa membebani, dan masa depan tampak seperti fatamorgana yang takkan pernah tercapai. Namun, alih-alih melawan arus yang ada, bisakah kita berhenti sejenak, mengambil napas, dan berdamai dengan waktu itu sendiri? Para ahli psikologi sepakat bahwa pemahaman dan penerimaan terhadap waktu adalah kunci. Di tengah gejolak dunia yang bergerak begitu cepat---dari tuntutan karier yang tak ada habisnya hingga krisis global yang silih berganti---kemampuan untuk tidak terburu-buru, untuk membiarkan proses penyembuhan berjalan alami, menjadi sebuah keterampilan yang vital. Artikel ini akan mengajak kita menyelami bagaimana berdamai dengan waktu bisa menjadi jembatan untuk keluar dari kegelapan, bukan dengan melupakan luka, melainkan dengan membiarkannya perlahan-lahan sembuh dengan sendirinya.

Ada masa dalam hidup ketika segalanya terasa begitu berat, seolah dunia tidak lagi bersahabat dan waktu hanya berjalan untuk menambah beban di dalam dada. Pada saat-saat itu, kita tidak hanya merasa gagal, tetapi juga merasa ditinggalkan oleh harapan. Semua usaha yang sudah ditempuh seakan tidak memberi hasil, segala doa terasa menggantung di udara, dan rencana-rencana yang dulu disusun dengan penuh semangat runtuh tanpa sisa. Inilah fase yang sering disebut sebagai puncak keputusasaan---titik paling gelap dalam perjalanan manusia, di mana yang tersisa hanyalah rasa lelah yang mendalam dan keyakinan bahwa berdamai dengan keadaan adalah sesuatu yang mustahil.

Keputusasaan sejatinya tidak pernah datang secara tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, dimulai dari kegagalan-kegagalan kecil yang awalnya bisa ditoleransi, lalu menjadi luka yang semakin membesar karena tidak pernah disembuhkan. Ketika seseorang kehilangan sesuatu yang dicintai, ketika perjuangan panjang tidak berbuah hasil, atau ketika kenyataan yang datang justru berlawanan dengan harapan, maka lahirlah perasaan marah dan kecewa yang semakin hari semakin mengakar. Lama-kelamaan, hati yang menolak kenyataan ini merasa semakin terasing, hingga pada akhirnya menyeret diri ke titik di mana hidup tidak lagi memiliki arah yang jelas. Puncak keputusasaan adalah saat di mana seseorang bukan hanya tidak tahu harus melangkah ke mana, tetapi juga tidak ingin lagi melangkah sama sekali.

Pada kondisi ini, kehidupan sehari-hari berubah menjadi rutinitas kosong. Seseorang bisa tetap bangun di pagi hari, pergi bekerja atau beraktivitas, tetapi semua dilakukan tanpa jiwa, tanpa makna. Wajah bisa saja tersenyum, tetapi di dalam hati ada kehampaan yang terus berbisik: "Untuk apa semua ini dilakukan?" Saat malam tiba, kesunyian justru menjadi musuh, karena di dalam diam, pikiran berputar tanpa henti, mengulang kegagalan, kehilangan, dan rasa sakit yang pernah dialami. Tidur menjadi pelarian, tetapi sering kali justru sulit dicapai, karena hati yang gundah tidak pernah benar-benar damai. Pada titik inilah keputusasaan menjelma menjadi beban batin yang tidak terlihat, tetapi begitu nyata dampaknya.

Yang paling menyakitkan dari puncak keputusasaan adalah pertarungan dengan diri sendiri. Pikiran berusaha meyakinkan bahwa masih ada harapan, tetapi hati menolak untuk percaya. Diri ingin bangkit, tetapi rasa lelah seakan menahan setiap langkah. Ada suara kecil yang berkata "bertahanlah," tetapi suara lain yang lebih nyaring berbisik "menyerahlah, karena semua ini sia-sia." Pertarungan batin ini melelahkan, bahkan lebih melelahkan daripada masalah dari luar. Sebab pada akhirnya, musuh terbesar dalam hidup bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri yang tidak mampu menerima kenyataan.

Sulit berdamai dengan keadaan berarti sulit menerima bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan. Kita ingin segalanya berjalan baik, tetapi kenyataan sering kali justru memberi sebaliknya. Kita ingin dicintai, tetapi justru dikhianati. Kita ingin berhasil, tetapi justru jatuh berkali-kali. Semua keinginan yang bertabrakan dengan kenyataan menimbulkan luka, dan semakin kita menolak, semakin dalam luka itu tertancap. Hati yang terus bertanya "mengapa harus aku?" hanya akan semakin tenggelam dalam rasa marah dan kecewa, karena tidak ada jawaban pasti yang bisa benar-benar menenangkan. Pada akhirnya, penolakan itu menjelma menjadi penjara batin yang membuat seseorang sulit bernapas.

Jika dibiarkan, keputusasaan bisa menjadi racun yang melumpuhkan. Ia membuat hidup kehilangan warna, menghapus makna dari setiap pengalaman, dan menutup mata dari hal-hal kecil yang sebenarnya bisa menjadi sumber kekuatan. Lebih jauh lagi, keputusasaan dapat mendorong seseorang mengambil keputusan-keputusan yang menyakiti diri sendiri, karena merasa tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Inilah bahaya paling besar: ketika seseorang berhenti percaya bahwa hidup masih layak dijalani.

Namun, meski puncak keputusasaan adalah fase paling gelap dalam hidup, ia juga bisa menjadi pintu menuju kesadaran baru. Kegelapan sering kali memaksa kita untuk menatap diri sendiri dengan lebih jujur. Dalam kondisi hancur, kita akhirnya menyadari betapa rapuhnya diri sebagai manusia, sekaligus betapa besar ketergantungan kita pada harapan. Kesadaran ini, meski menyakitkan, bisa menjadi awal dari perjalanan baru---perjalanan menuju penerimaan. Berdamai dengan keadaan bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk menerima sesuatu yang tidak bisa diubah, dan belajar hidup dengan luka yang ada tanpa terus-menerus melawannya.

Penerimaan bukan berarti berhenti berusaha. Justru sebaliknya, ia adalah fondasi untuk melangkah kembali. Dengan menerima kenyataan, kita berhenti membuang energi untuk melawan hal-hal yang memang di luar kendali. Kita bisa mengalihkan perhatian pada hal-hal yang masih bisa diubah, sekecil apa pun itu. Dari sinilah perlahan-lahan muncul kembali semangat hidup. Mungkin tidak sebesar dulu, mungkin tidak sekuat yang pernah ada, tetapi cukup untuk membuat kita tetap berjalan. Penerimaan membuat hati yang tadinya penuh luka mulai merasakan ruang lega, meski kecil, untuk bernapas.

Pada akhirnya, puncak keputusasaan bukanlah akhir, melainkan bagian dari perjalanan. Ia adalah fase yang harus dilalui, sama seperti kegembiraan dan keberhasilan. Hidup tidak pernah sepenuhnya tentang menang atau kalah, tentang bahagia atau menderita, melainkan tentang bagaimana kita mampu bertahan menghadapi perubahan. Justru dalam keputusasaan, kita sering kali menemukan arti dari kesabaran, kekuatan dari keterbatasan, dan kebijaksanaan dari penderitaan. Luka yang dulu terasa menghancurkan, pada waktunya bisa menjadi bekal untuk memahami orang lain, untuk lebih menghargai hal-hal kecil, dan untuk menyadari bahwa hidup, dengan segala pahit getirnya, tetap layak dijalani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun