Mohon tunggu...
Wiwik Prihatin
Wiwik Prihatin Mohon Tunggu... Lainnya - saya suka menulis

saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

The IKEA Effect and DIY: Something is More Valuable when The Result is Your Own

31 Desember 2020   16:20 Diperbarui: 31 Desember 2020   16:48 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                 Sumber : Getty Images

Apa yang terbesit di benak kamu ketika mendengar judul di atas, dan apakah benar sesuatu barang lebih berharga bila hasilnya dari karya mu sendiri. Mari kita temukan jawaban tersebut dalam bahasan topik kali ini yaitu mengenai efek IKEA dan DIY.

Ilmu ekonomi sejatinya bukan hanya mempelajari tentang laba dan rugi tetapi sangat luas cakupannya, seperti membahas ekonomi perilaku yang berkaitan dengan psikologis maupun emosional seseorang dalam hal mengambil keputusan ekonominya.

Ilmu ini seringkali dihubungkan dengan ekonomi normatif dan digunakan untuk menjelaskan mengapa perilaku seseorang dalam maksimisasi utilitas terkadang bersifat irasionalitas atau dapat dikatakan sebagai bias kognitif.

Manusia dinilai cenderung tidak mampu membuat keputusan yang efektif dikarenkan faktor emosional dan mudah beralih perhatiannya oleh faktor eksternal. Secara sederhana, konsep ekonomi perilaku menjelaskan alasan seseorang lebih memilih barang X daripada barang Y. Salah satu yang menerapkan konsep tersebut adalah produk IKEA.

Produk IKEA hadir ketika Ingvar Kamprad mendirikan perusahaan yang bergerak pada bidang furniture pada tahun 1943 di Swedia dengan memperkenalkan sistem Do-It-Yourself (DIY) atau self-service, dimana saat membeli suatu produk dari IKEA, konsumen dapat menggunakan katalog belanja untuk mencatat nomor produk dan bagian rak yang terdapat pada label harga.

Produk yang diinginkan lalu diambil di area secara mandiri, dibayar ke kasir, dan langsung dibawa pulang untuk dirakit. Perakitan produk diserahkan IKEA kepada konsumen yang telah membeli produknya dengan bantuan buku panduan yang terdapat di setiap item produk.

Sistem ini digunakan pada 364 toko IKEA yang tersebar di seluruh dunia. Tentu saja sistem tersebut tidaklah umum dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dalam membeli produk furniture.

Namun ternyata sistem tersebut berhasil diterima bahkan diminati oleh para pengunjung IKEA karena dianggap unik dan menyenangkan serta meningkatkan rasa memiliki terhadap sebuah produk yang mereka beli.

Dari sistem yang dijalankan perusahaan ini maka muncul suatu efek baru dalam ekonomi perilaku yang termasuk sebagai irrasionalitas dan bias kognitif yang dinamakan "IKEA Effect". Efek IKEA pertama kali dikenalkan oleh tiga orang peneliti yaitu Norton, Mochon, dan Ariely (2011) dalam Journal of Consumer Psychology tentang When Labor Leads to Love, hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang menilai sesuatu produk yang di buat sebagian oleh mereka lebih berharga ketimbang produk jadi dan tanpa sadar hal ini secara halus memengaruhi cara konsumen dalam berbelanja.

Mereka juga melakukan suatu percobaan kepada konsumen untuk merakit kotak IKEA, origami, dan lego dimana hasilnya adalah seseorang rela membayar 63% lebih banyak untuk produk yang telah mereka rakit sendiri, dibandingkan produk jadi. Penelitian tersebut juga dilatarbelakangi oleh Leon Festinger (1957) yang menyatakan jika semakin besar usaha yang diberikan untuk menghasilkan sesuatu maka semakin tinggi pembuatnya menilainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun