Mohon tunggu...
wiwik kurniaty
wiwik kurniaty Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kearifan Nusantara sebagai Pilar Toleransi

9 Desember 2023   10:17 Diperbarui: 9 Desember 2023   11:02 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak tradisi di Indonesia yang mengedepankan semangat gotong royong dan kebersamaan. Implementasinya tidak mengkotak-kotakkan suku, agama, ras dan golongan tertentu. Sebagai contoh,   kebiasaan masyarakat di Mandailing yang disebut Marslalapari.

Pemilik sawah mengajak tetangga dan kerabat menanam dan memanen padi bersama. Dengan cara ini, kebersamaan dan tanggung jawab komunal terasah. Ditanam bersama, dipanen bersama. Diolah bersama, dinikmati bersama.

Di Jawa ada tradisi sinoman. Saat ada acara kampung, mulai pernikahan hingga kematian, tim sinoman akan jadi pelaksana lapangan tanpa pamrih. Mereka tidak diberi upah. Menjalankan dengan sukarela sebaik mungkin.

Di satu sisi mereka yakin ini merupakan upaya menegakkan norma sosial yang berlaku turun-temurun. Di sisi lain, mereka yakin kalau ini merupakan ajaran agama sebagai bentuk saling membantu pada sesama.

Masih ada banyak tradisi sebagai bentuk kearifan lokal nusantara yang menjadi refleksi toleransi di negeri ini. Semua dijalankan dengan penuh rasa saling mencintai sebagai sesama anak bangsa. Pelajaran semacam ini harus selalu disampaikan melalui banyak kesempatan pada kaum muda.

Nilai-nilai moral dari kearifan lokal yang bersifat universal itu umumnya adalah tentang kebersamaan; rela berkorban; tolong-menolong; kekeluargaan; sosialisasi; kasih sayang; keikhlasan; serta persatuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain di sekitarnya. Jika seseorang ingin orang lain baik padanya, yang bersangkutan harus pula berbuat baik pada lingkungan.

Pemikiran-pemikiran radikal yang punya kecenderungan menggerogoti nilai toleransi di masyarakat harus diberantas. Bibit-bibit teror yang mengatasnamakan agama adalah momok yang bisa jadi masih eksis di sini.

Sejarah membuktikan, masih ada sebagian warga negara Indonesia yang terpapar virus intoleransi. Pada Mei 2018 silam di Surabaya, sekeluarga meledakkan diri untuk menteror orang-orang yang dianggap berbeda. Tentu saja, semua anggota masyarakat yang berpikiran waras tidak ingin hal semacam itu terjadi lagi. Kendati demikian, adanya penyusup yang membawa paham-paham ini di lingkungan sekitar mesti diwaspadai.

Salah satu cara menangkis pengaruh buruk ideologi menyesatkan adalah dengan menyuarakan kearifan lokal yang luhur. Harapannya, orang-orang jadi terus teringat dengan budaya kinasih bangsa ini. Lantas, mengimplementasikan muatan-muatan baiknya dalam kehidupan sehari-hari.

Pekerjaan ini memang tidak mudah mengingat teknologi telah berkembang pesat dan masif. Penyebaran paham-paham yang menyesatkan bisa lebih mudah daripada sebelumnya. Oleh karena itu, para anak bangsa yang peduli pada kearifan lokal yang edukatif mesti pula memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara inovatif. Jangan sampai kalah dengan agen-agen intoleran yang boleh jadi tengah bersiap memprovokasi dan menyerang pola pikir masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun