Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Fatal Error" Karena Tak Paham Sikon

16 Agustus 2016   19:35 Diperbarui: 17 Agustus 2016   00:19 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Dirman memimpin perang gerilya (Foto: jurukunci.net)

Dalam sebuah film layar lebar Indonesia berlatar belakang Perang Kemerdekaan tahun 1947, muncul sebuah adegan pertempuran yang seru. Saat para tentara Republik berada dalam keadaan santai di markas mereka pada malam hari, mendadak tentara Belanda menyerbu. Kontak senjata berskala besar pun terjadi, dan puluhan nyawa berjatuhan. Pada akhirnya, tentara Republik berhasil memukul mundur pasukan penyerbu.

Adegan itu sepintas terlihat wajar ada dalam sebuah film perang. Ya namanya film perang, apa yang hadir jika bukan serentetan pertempuran bersenjatakan pistol, senapan, granat, dan sesekali bantuan tembakan artileri dari jarak jauh atau pemboman dari udara? Namun khusus untuk satu scene itu, perang yang sepertinya terlihat normal jadi sangat tak masuk akal. Mengapa? Karena pada perang antara tahun 1946 hingga 1949, Belanda tak mungkin menyerbu pada malam hari.

Kenapa pula Belanda mustahil ngajak perang tentara Republik Indonesia selepas magrib? Karena situasinya memang tidak memungkinkan. Fakta ini baru bisa diketahui, dirasakan, dan diimajinasikan bila kita sebagai penulis fiksi telah mempelajari dengan cermat dan saksama gambaran situasi menyeluruh dari era revolusi fisik zaman itu.

Situasi dan kondisi keseluruhan merupakan salah satu hal terpokok yang harus kita pegang kuat sebelum mulai menuliskan cerita, sebab itu menentukan segalanya. Satu ketidaktahuan—bahkan yang terkecil sekalipun—bisa berakibat fatal seperti contoh di atas. Ini berkaitan dengan banyak hal. Sejak dari kultur, adat, kebiasaan, prosedural, sistem politik, hingga struktur kemasyarakatan dan dogma kemiliteran yang berhubungan dengan tempat dan waktu tertentu.

Pemahaman mengenai sikon dasar sangat menentukan akurasi kepenulisan, bahkan kadang menentukan jalannya cerita dan juga tema. Nah, sekadar sebagai contoh, kita akan lanjutkan diskusi kita mengenai bagaimana penyerbuan tentara Belanda pada malam hari bisa menjadi sebuah fatal error. Caranya tentu dengan menyelidiki kembali bagaimana situasi global yang ada pada era revolusi fisik tahun 1940-an itu di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, setelah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda “minta balikan” dengan datang untuk menguasai kembali tanah Hindia. Mereka melakukan dua kali operasi militer berskala besar, yaitu tahun 1947 dan 1948. Pada kesempatan kedua, mereka menginvasi ibukota Republik Indonesia, yaitu Yogyakarta, pada 18 Desember 1948.

Hasilnya sukses. Jogja jatuh ke tangan Belanda. Presiden dan wakil presiden ditangkap. Sedang panglima tentara Republik, Jenderal Soedirman, berhasil melarikan diri dan memimpin perlawanan militer secara gerilya. Belanda terus menduduki Jogja hingga PBB memerintahkan mereka pergi dari sana tanggal 29 Juni 1949 (peristiwa Jogja Kembali), sebelum kemudian terpaksa harus mengakui eksistensi negara Indonesia pada 27 Desember tahun yang sama.

Apakah pada periode itu Belanda menguasai seluruh wilayah bekas koloni Hindia mereka, yang menyatakan diri menjadi negara baru bernama Indonesia? Tentu tidak. Kekuasaan Belanda terpusat hanya pada wilayah inti perkotaan, semisal seluruh area kota Jogja sekarang ini. Kawasan luar kota, apalagi di tingkat desa dan dusun pedalaman, masih di bawah kontrol tentara Republik.

Maka demikianlah gambaran keadaan perang antara Belanda melawan Indonesia ketika itu. Mereka berkuasa di kota, kita ada di desa-desa dan basically area mana pun yang tidak berada di dalam kota. Dalam situasi di mana sedang tidak ada operasi militer berskala masif (seperti invasi tanggal 18 Desember 1948 dan invasi tentara Republik pada 1 Maret 1949), kedua pihak sama-sama bersiaga di wilayah kekuasaan masing-masing. Saling menunggu.

Belanda menguasai kota dengan sistem benteng dan pangkalan seperti pada umumnya militer di wilayah kota. Serupa dengan pada zaman sekarang ini kita punya markas-markas setingkat kodam, kodim, atau koramil. Pada titik-titik strategis keluar-masuk ditempatkan posko-posko penjagaan yang bertugas mengamati siapapun yang masuk dan keluar wilayah kota. Mereka aman sentausa sejauh mereka masih ada di kota. Bebas hang out dan ngebir anytime they want.

Sebaliknya, tentara Republik berkuasa di area-area luar kota dengan sistem mobile, alias selalu berpindah dan bergiliran melakukan rotasi, mirip yang dilakukan Panglima Besar Soedirman dalam pelariannya. Tak ada markas besar (headquarter) permanen berhubung ini perang gerilya. Komandan-komandan militer mengatur strategi perang gerilyanya dari rumah-rumah penduduk dan terus berpindah tiap jangka waktu tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun