Mohon tunggu...
Wistari Gusti Ayu
Wistari Gusti Ayu Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru

Guru adalah profesi yang mulia, saya bangga menjadi guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mendampingi Siswa "Broken Home" di Awal Tahun Ajaran Baru

16 Juli 2019   12:51 Diperbarui: 17 Juli 2019   18:08 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Shutterstock

"Bu... saya mau isi formulir biodata siswa yang ibu bagikan kemarin, tolong bantu saya, saya harus tulis jumlah saudara saya berapa?"

Pertanyaan polos itu terlontar dari bibir mungil gadis kecil di kelas saya. Beberapa tahun lalu saya menjadi wali di kelas VII dan di awal tahun pelajaran siswa harus mengisi biodata untuk kelengkapan administrasi sekolah. Terus terang saya merasa bingung mengapa ada pertanyaan aneh terlontar darinya. Bukankah seharusnya dia tahu jumlah saudaranya.

Saat itu saya menjawab, "Tuliskan saja berapa jumlah adik dan berapa jumlah kakakmu". Dia tetap merasa kebingungan. Saya semakin merasa penasaran, dan merasa ada yang aneh dari anak tersebut. Lalu saya ajak dia berbicara berdua saja.

Saya tanya mengapa dia bingung mengenai jumlah saudaranya, lalu terdengarlah cerita polosnya, bahwa ibunya bercerai dalam keadaan hamil muda, sang ibu kemudian menikah lagi dengan seorang duda, dan lahirlah dia. 

Dari pernikahan pertamanya, sang ibu memiliki 3 anak termasuk dirinya, dan sang ayah tiri memiliki 2 orang anak. Sekarang si gadis kecil tinggal dengan ibu dan ayah tirinya, dua kakak tirinya sudah menikah, dan satu sudah mengurus perceraiannya dan akan tinggal satu rumah dengannya.

https://instagram.com/futarinokizuna_
https://instagram.com/futarinokizuna_
Lalu dia menanyakan kepada saya, "Apakah saudara kandung dan saudara tiri saya tulis juga, Bu, atau saya tulis tidak punya saudara, di rumah karena hanya ada saya". Dia merasa berbeda, berbeda dengan teman lainnya yang dengan lancarnya menuliskan apa yang diminta dalam formulir tersebut.

Tidak sampai disana ceritapun berlanjut, saat saya meminta akta anak tersebut dia tidak bisa memberinya. Menurut ceritanya sebelum mendapat ijazah, sekolahnya di SD pun sudah meminta, tapi orang tuanya susah mengurus akta si anak. Pernikahan ibunya yang kedua ini belum resmi secara hukum, hanya menikah secara agama, karena ibu dan ayah tirinya ini tidak memiliki akta pernikahan, berlanjut lagi kepada si anak, tidak berhak mendapat akta kelahiran. 

Kemudian saya memanggil ayah tiri dari anak tersebut, terus terang saya sangat khawatir, khawatir dengan kebingungan anak ini. Saya tawarkan ke ayahnya, untuk membuatkannya akta atas nama ibu saja. Akhirnya sang ayah tiri menyetujuinya. Padahal dari si anak sendiri sangat berharap sang ayah kandung tercantum dalam aktanya, namun apa boleh dikata, sang ibu telah bercerai sebelum dia lahir.

Dari kesan pertama si anak tersebut saya jadi ingin mendalami kehidupannya, saya mulai mencoba menjadi temannya, agar dia bisa berbagi cerita. Saya melihat dari raut muka sang anak, ada beban dalam hatinya. Yang saya inginkan hanya satu, dia fokus belajar.

Dari 32 siswa di kelas saya, tidak hanya si gadis kecil yang memiliki masalah, ada dua anak lagi mendatangi saya, melihat kedekatan saya dengan si gadis kecil menjadikan saya tempat berkeluh kesahnya, merekapun seolah ingin mengadu, menjadikan saya tempat sandaran mereka. 

Sosok lelaki remaja, yang terlihat sangat matang, namun hatinya ternyata rapuh, dia bercerita ayah dan ibunya bercerai, lalu dia dan sang adik mengikuti ibunya. Saat menjelang Ujian di SD sang ibu menikah lagi dan meninggalkannya bersama sang paman. Sang paman pun kemudian lepas tanggung jawab, tidak mau mengurus sang anak.

Nasib baik baginya, Ibu Kepala Sekolah saat dia di SD memberinya tumpangan, dan mengurusnya agar tidak sampai putus sekolah. Setelah lulus akhirnya dia menghubungi sang ayah yang kini telah memiliki pasangan hidup yang baru, kemudian dia mengikuti ayahnya dan bersekolah di tempat saya.

Cerita berikutnya dari gadis berkulit hitam manis. Entah karena masalah apa, saat kelas 5 SD, dia menceritakan sang ayah mengusir sang ibu di depan matanya, dan terjadilah perceraian. Sang ibu dilarang menemuinya. Kini sang ayah memiliki kekasih dan kini sering kerumahnya, mengurus segala isi rumah, memerintahnya dan mengambil alih segala kegiatan yang dulu dilakukan ibunya. Dia ingin berontak, tidak terima hal ini. Tidak mau kenyataan pahit ini terjadi padanya, bahkan meminta tolong kepada saya agar ibu dan ayahnya rujuk kembali.

Kemudian saya menghubungi ayah sang gadis hitam manis, meminta sang ayah, membiarkan sang gadis berkomunikasi dengan ibunya, walaupun cuma lewat telepon, saya ceritakan pada sang ayah, si anak sering menangis dan mengaku sakit kepala saat mendapat pelajaran. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin sang anak akan menjadi kurang fokus belajar. Saat itu sang ayah kemudian memberi ijin, mendengar cerita saya mengenai anaknya.

Sungguh saya hanya mampu mengelus dada, mendengar kisah-kisah mereka. Entah karena masalah apa yang terjadi kepada orang tua mereka dulu sehingga mereka bercerai dan membuat anak-anak ini mengalami luka batin.

Terkadang saya membiarkan mereka berkeluh kesah, menangis, menceritakan kepada saya, apapun yang ingin mereka rasakan, saya hanya bisa mengelus rambut dan mendekapnya, mendalami kesedihan mereka.

Mungkin itu yang mereka paling butuhkan. Kasih sayang.

Saya hanya bisa menyadarkan mereka, bahwa semua adalah pilihan dan keputusan orang tua mereka, walaupun dalam hati mereka ingin keluarganya utuh lagi. Mereka ingin hidup dengan ayah dan ibu kandungnya menjadi keluarga yang utuh. Itu saja mimpi terbesarnya. Mereka ingin seperti anak lainnya. 

Tapi sekali lagi saya hanya mampu menyadarkan mereka, bahwa semua sudah terjadi, yang harus mereka jalani adalah kenyataan, kenyataan yang memaksa mereka "dewasa lebih awal" mengerti lebih awal bahwa mereka menjalani kehidupan yang pahit di usia yang sangat kecil. Dan bisa saya berikan hanya satu, perhatian, anak-anak seperti ini sangat butuh perhatian, pendampingan, serta cinta yang tulus. 

Itu hanyalah sebagian cerita dari anak-anak yang keluarganya tidak utuh lagi, sebagian lagi akan memendamnya dalam hati karena ada rasa ragu menyampaikan keluh kesahnya juga berbagi kepada orang lain termasuk gurunya sendiri, kebetulan saja tahun itu saya menjadi wali kelas anak-anak tersebut. Mungkin di luar sana masih banyak anak seperti ini yang akhirnya luput dari perhatian dan salah langkah.

Bagi saya guru sangat besar peranannya dalam mendampingi peserta didik yang mengalami masalah broken home ini, komunikasi guru serta orang tua siswa sangat diperlukan untuk keberhasilan peserta didik, agar nantinya anak-anak broken home dapat mengarahkan kegiatannya ke arah yang positif. 

Dan juga harapan saya hal yang terjadi pada dirinya akan dijadikan pelajaran dan pedomanan dalam melangkah, agar suatu saat nanti mereka bisa membangun rumah tangga bahagia dan penuh cinta, tidak mengulang yang pernah terjadi pada orang tua mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun