Mengunjungi Kampung Adat Baduy Luar, merupakan impian saya yang suka "ngebolang". Alhamdulillah, perjalanan ke Baduy Luar bisa dilakukan pada liburan kali ini. Bersama dua adik dan seorang anak, kami melakukan perjalanan ke Baduy yang eksotis.
Kami memulai perjalanan dari kota Tangerang, sekitar pukul tujuh pagi. Gerimis menemani perjalanan kami. Masuk tol dari Kebon Nanas dan keluar di exit tol Rangkas Bitung. Setelah keluar tol, kami mengikuti petunjuk jalan menuju Wisata Baduy. Tujuan kami adalah Terminal Ciboleger. Ciboleger merupakan sebuah kampung yang berbatasan dengan kampung Baduy Luar.Â
Disana sudah ada Aa Arif yang akan menemani kami menyelusuri perkampungan suku Baduy Luar. Sampai di Ciboleger waktu menunjukkan pukul sebelas. Sebelum sampai Ciboleger, kami mampir di sebuah mesjid yang terbuat dari kayu yang dinamakan Mesjid At-Taubah. Mesjid yang bagus, namun sayang beberapa sarana kurang mendukung. Saat kami berkunjung, air tidak mengalir, hanya tersedia di torn. Dari area mesjid, kita bisa menikmati pemandangan pegunungan Kendeng, tempat perkampungan suku Baduy berada.
Di Terminal Ciboleger, saya sempatkan masuk sebuah warung. Disitu ada beberapa anak suku Baduy Dalam dengan ciri berbaju putih dan memakai ikat kepala putih, sedang duduk-duduk berdesakan disatu bangku.
"Bade Kamana?", tanya saya membuka percakapan dengan bahasa sunda minimal.
"Bade ulin", salah satu anak menjawab tanpa ekspresi.Â
"Bu...Buatin saya es teh manis ya...", saya meminta kepada ibu penjaga warung berhidung mancung. Cantik.
"Baik Neng", Jawabnya.
Sambil menunggu minuman datang, saya tawarkan minuman kemasan kepada anak-anak tersebut. Awalnya mereka menggeleng, namun Ibu pemilik warung membantu meminta mereka menerima tawaran saya. Akhirnya mereka bersedia menerima minuman yang saya tawarkan. Menurut keterangan Ibu pemilik warung, mereka datang ke Ciboleger sambil membawa duren atau madu. Setelah barang yang dibawa dibeli, biasanya mereka beristirahat, setelah itu baru mereka pulang.Â
Kami menuju rumah uwaknya Aa Arif tempat kami menginap selama di Ciboleger. Setelah Sholat dzuhur dan makan siang, kami bersiap menuju Kampung wisata Baduy Luar.
 Kami kembali ke terminal,disalah satu sisi terminal, terdapat pintu masuk menuju perkampungan Baduy Luar. Ditandai dengan gapura. Setelah melewati gapura, ada jalan kecil yang diapit toko-toko dengan dagangan yang beragam. Ada toko sembako, warung nasi, atau toko sovenir, juga tempat parkir motor dan sepeda. Menurut Aa Arif, motor dan sepeda tersebut adalah kepunyaan warga suku Baduy Luar yang dititipkan. Kalau menurut adat, mereka tidak diperbolehkan memiliki benda-benda tersebut.
Setelah melewati perkampungan yang cukup ramai, kami sampai dipintu masuk. Semua pengunjung wajib melakukan registrasi dan membayar tiket.Â
Akhirnya kami bisa menjelajah perkampungan Baduy Luar. Jalan berbatu naik turun tak menyurutkan rasa penasaran untuk sampai kampung terakhir yaitu kampung Gajeboh. Di ujung kampung Gajeboh ada jembatan bambu. Setelah meniti jembatan, pengunjung biasanya akan beristirahat, menikmati suasana kampung yang damai. Lama kami berjalan hampir 40 menit. Bagi pengunjung yang akan menuju Baduy Dalam, harus melanjutkan perjalanan sekitar 4 kilo meter dengan "trek" yang lebih ekstrim.Â
Selama perjalanan meniti jalan berbatu, kami melewati beberapa kampung. Ciri khas rumahnya berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu, berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia. Sangat sederhana. Beberapa rumah memajang hasil tenunan dan kerajinan lainnya. Beberapa perempuan tekun membuat kain dengan alat tenun, atau memintal benang.Sementara yang laki-laki terlihat memikul duren dari hutan dan dibawa keluar kampung. Ada juga pemandangan orang yang mencari kayu bakar. Kayu bakar digunakan untuk memasak.
Kebanyakan perempuan suku Baduy luar yang saya temui berparas cantik, berkulit putih. Beberapa memakai kalung emas yang cukup terlihat karena berukuran cukup besar. Anak-anak kecilnya juga menggemaskan. Anak-anak laki-laki terlihat bermain bola di tanah yang cukup luas.
Kami juga mendapati lumbung padi yang disebut Leuit, di beberapa tempat. Dari penjelasan Aa Arif, orang Baduy juga membeli beras di luar kampung. Beras hasil panen disimpan, dan digunakan pada saat upacara Seba. Sawah orang Baduy berupa huma/ladang. Melewati sawah terlihat padi berukuran besar yang hidup di tanah tak berair. Berbeda dengan sawah yang kita kenal.
Ayam kampung yang berkeliaran menjadi ciri khas kampung yang kami lewati. Ayam merupakan makanan mewah yang hanya terhidang pada saat-saat tertentu, misalnya: upacara perkawinan atau kelahiran.Â
Itulah perjalanan liburan kami ke perkampungan Baduy Luar. Banyak hikmah yang bisa diperoleh dari perjalanan ini. Warga Baduy secara umum merupakan orang yang memegang teguh adat istiadat. Kampung yang bersih menunjukkan jika mereka sangat peduli dan cinta terhadap alam. Alam memberikan semuanya kepada warga Baduy, namun meereka tidak menghabiskan semaunya. Sungguh sebuah harmoni yang indah. Mereka orang-orang sederhana yang jauh dari sifat serakah. Semoga kearifan yang mereka miliki secara turun temurun tetap terjaga. Menjadi pengingat kami, yang berlabel orang modern tapi jauh dari sifat arif terhadap lingkungan.
Selamat Liburan.
Â